“Nek golek bojo iku ojo sing ayu ayu, soale ayu iku ora awet. Nek isih enom ayu, suk nek wis tuwo ilang ayune. Mulane goleko bojo sing elek wae, soale wong elek iku awet. Ngantek tuwek pancet uelek terus”.
Itu adalah untaian nasihat kocak Kyai favorit saya, KH. Anwar Zahid, muballigh kondang dari Jawa Timur yang terkenal sangat lucu dan kocak, namun isinya sangat tepat mengena. Para lelaki lajang hendaknya memperhatikan nasihat tersebut, walau terkesan gurau dan canda, namun ada banyak makna yang penting diperhatikan oleh para lelaki lajang dalam memilih calon istri. Kecantikan istri bisa memberikan kesengsaraan bagi suami dan keluarga, jika tidak dibarengi dengan kebaikan akhlaq dan kepribadian.
Jangan memilih istri hanya karena kecantikan wajahnya atau keelokan tubuhnya atau kebeningan penampilannya. Itu semua hanyalah hal-hal yang sifatnya lahiriyah atau fisik. Semestinya lebih mementingkan kualitas kecantikan hati, sehingga mendapatkan istri salihah yang menenteramkan jiwa. Pilihlah calon istri yang salihah, syukur kalau cantik dan menarik. Namun jangan sedih jika kecantikannya “hanya” standar umum saja, atau bahkan di bawah standar yang anda tetapkan, karena ada pertimbangan lain yang jauh lebih mendasar dan lebih penting.
Pada postingan sebelumnya, telah saya sampaikan beberapa “panduan” dalam memilih calon istri. Dalam kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang kriteria kecantikan, yang dalam hadits Nabi saw disebutkan masuk menjadi satu dari empat alasan dinikahinya wanita. Adalah sangat wajar lelaki ingin menikahi wanita yang menurutnya cantik, dengan sejuta alasan yang terkandung di sebaliknya. Laki-laki memang makhluk visual, yang sangat mudah tergoda oleh kecantikan dan keelokan wanita, mudah tergoda oleh kebeningan wajah yang dilihatnya.
Selain itu, ada alasan lain yang harus diperhatikan oleh kaum laki-laki jika menghendaki istri yang “terlalu cantik”. Dua kisah di zaman Nabi Saw berikut, menjadi pelajaran sangat berharga. Saya ingin melihat kisah mulia berikut ini dalam sudut pandang laki-laki, dan berusaha mengambil hikmahnya dalam konteks yang kekinian.
Kisah Pertama
Kisah Habibah binti Sahl, isteri Tsabit bin Qais, menjadi contoh bagaimana urusan “kesepadanan penampilan” patut diperhatikan dalam memilih calon pasangan. Ia seorang wanita salihah yang hidup di zaman Nabi Saw, dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang lelaki salih. Saat menjalani proses menuju pernikahan, semua diurus oleh sang ayah. Habibah belum mengenal, bahkan belum pernah melihat calon suaminya. Sampai saat akad nikah terjadi pun, Habibah tidak bertemu dengan sang suami. Ia demikian percaya dengan ayahnya, bahwa sang ayah mencarikan jodoh yang sepadan (kufu) dengan dirinya.
Namun ternyata, lelaki salih pilihan sang ayah ini sangat jauh dari harapannya. Bukan soal kualitas agama, bukan soal akhlaq atau moral. Namun soal penampilan. Sangat kaget Habibah saat pertama kali bertemu dan melihat suami yang telah resmi menikahinya. Maka ia menghadap Nabi Saw dan mengadukan kondisinya secara vulgar.
“Kalau bukan karena takut kepada Allah ketika dia masuk, niscaya kuludahi mukanya”, ujar Habibah binti Sahl mengomentari suaminya.
“Ya Rasulallah, aku mempunyai wajah yang cantik sebagaimana engkau lihat, sedang Tsabit adalah seorang laki-laki yang buruk rupanya”.
“Wahai Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit selama-lamanya. Aku pernah menyingkap kemah, maka aku melihat dia sedang bersiap-siap, ternyata dia sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya dan sangat buruk wajahnya”, tambah Habibah.
Dengan pengaduan tersebut, Habibah dikabulkan permohonan cerainya oleh Nabi Saw. Sekali lagi, bukan karena akhlaq atau perangai Tsabit yang buruk, bukan karena kekerasan dalam rumah tangga. Tak ada perbuatan zhalim Tsabit dalam kisah di atas. Yang ada adalah ketidakcocokan Habibah terhadap bentuk fisik Tsabit yang digambarkan sebagai, “sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya”. Kekhawatiran Habibah adalah perasaan tidak bisa menerima kondisi fisik suami tersebut berkembang menjadi pembangkangan, sehingga bernilai kekufuran.
Pelajaran bagi kaum laki-laki adalah, hendaknya memilih istri yang bisa menerima kondisi dirinya, baik secara fisik maupun nonfisik. Karena wanita super cantik ---yang hidup di zaman sekarang--- akan banyak lelaki yang menyukainya, mengejarnya, dan menghendaki untuk memilikinya. Wanita ini memiliki banyak pembanding, dari ribuan lelaki yang memuja dan mengharapkan ia menjadi istri. Karena itu, saat menjumpai hal yang tidak sesuai dengan harapan dalam kehidupan rumah tangga, ia bisa cepat merasakan kesengsaraan. Di saat seperti itu, ia mudah membandingkan suaminya dengan sekian banyak laki-laki yang hingga kini masih berharap kepada dirinya.
Dalam sudut pandang laki-laki, hal ini bisa diambil hikmah dalam konteks bab “tahu diri”. Karena pada diri para laki-laki lajang memang ada dua bab dalam memilih calon istri. Pertama adalah bab “percaya diri” yang harus ada pada diri laki-laki lajang untuk meminang wanita pujaan hati. Namun harus ada bab kedua yaitu “tahu diri”, yang membuat harapannya lebih dirasionalisasi. Jika mengharapkan wanita yang “terlalu cantik”, yang tidak sebanding atau setara dengan kondisi dirinya, dikhawatirkan ada “ketidakmenerimaan” dari pihak wanita yang disebabkan karena kondisi fisik.
Dalam kisah legenda kita mengenal kisah Roro Jonggrang yang dipaksa menikah dengan Bandung Bondowoso. Tentu Roro Jonggrang tidak happy, karena dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak dikehendakinya. Demikian kisah pula Roro Mendut yang dinikah oleh Tumenggung Wiroguno namun tidak happy. Kisah Siti Nurbaya yang dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih juga menghiasai khazanah kisah kehidupan percintaan di tanah air. Namun bukan hanya di zaman Roro Jonggrang atau Siti Nurbaya, ternyata di zaman cyber saat ini masih ada lelaki yang menggunakan bahkan menghalalkan segala cara demi mendapatkan seorang wanita untuk menjadi istrinya.
Seorang wanita muda dan cantik mengadu di ruang konseling. Ia melarikan diri dari rumah karena dipaksa orang tuanya menikah dengan seorang pengusaha kaya raya, sementara ia sudah memiliki kekasih seorang pemuda tampan dan baik hati. Wanita ini tidak mau menikah walau calon suami pilihan orang tuanya sangat kaya raya dan terpandang di masyarakat. Dengan pengaruh hadiah dan bantuan ekonomi yang besar kepada orang tua si wanita, maka pengusaha ini mendapatkan dukungan penuh dari orang tua si wanita untuk menikahi anak gadisnya. Tapi, anak gadis ini tidak tergoda oleh kemilau harta benda.
Dilihat dari sudut pandang lelaki, ada hal yang sangat tidak elok dilakukan. Bahwa ia menggunakan harta kekayaan untuk memaksakan kehendak menikahi wanita melalui orang tuanya. Kalaupun seandainya ia berhasil menikahi wanita tersebut, ia hanya akan mendapatkan fisiknya saja, dan tidak mendapatkan hatinya. Lalu dimana letak bahagianya hidup berumah tangga? Pelajaran penting dari sudut laki-laki adalah, jangan mudah terpesona dan tergoda oleh kecantikan wanita. Secantik apapun ia, jika tidak bisa menerima anda sepenuh hati, justru hanya akan menyakitkan anda sepanjang hidup berumah tangga nantinya.
Pilihlah wanita bersahaja yang bisa menerima anda dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri anda. Mungkin nilai kecantikannya hanya di angka 55 atau 60 dari nilai maksimal 100 yang anda harapkan, namun kebaikan hatinya lebih penting untuk memberikan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup berumah tangga.
Ini kisah tentang lelaki yang mencemburui dan mengkhawatirkan kondisi istrinya di zaman Nabi Saw. Seorang laki-laki datang menghadap Nabi saw mengadukan kondisi isterinya.
"Sesungguhnya isteriku tidak menolak jamahan orang", ujarnya.
"Ceraikan saja", jawab Nabi Saw.
"Saya khawatir hati saya tidak sanggup berpisah," jawabnya.
"Kalau begitu peliharalah ia," jawab Nabi Saw. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An Nasa'i.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan komentar atas hadits tersebut, bahwa ungkapan "isteriku tidak menolak jamahan orang", maksudnya adalah perilaku wanita tersebut yang seakan-akan tidak menampik laki-laki yang datang. Bukan berarti bahwa si wanita telah melakukan tindakan mesum atau asusila, sebab tidak mungkin Nabi saw membiarkan ada sahabatnya berperilaku seperti itu, dengan mengatakan "Kalau begitu peliharalah ia". Jika wanita tersebut ahli maksiat tidak mungkin Nabi menyuruh sahabat untuk memeliharanya.
Bisa jadi wanita tersebut memiliki wajah yang cantik menarik, kepribadian yang ramah, supel, mudah bergaul, murah senyum sehingga setiap laki-laki yang bertemu dan berinteraksi dengannya merasa “diberi dan mendapat kesempatan”. Kondisi ini mengkhawatirkan sang suami, sehingga demi ketenangan rumah tangga Nabi saw menganjurkan agar bercerai saja. Akan tetapi karena sang suami amat mencintai isterinya, ia juga khawatir bahwa dengan bercerai hatinya masih tertambat kuat pada wanita tersebut.
Rasa cinta sang suami itu sudah pasti, dan tampak dari kekhawatiran dia bahwa hatinya tidak sanggup berpisah. Sedangkan penyimpangan wanita tersebut belumlah pasti, karena baru merupakan kekhawatiran suami saja. Oleh karenanya sesuatu yang sudah pasti harus ditetapkan, dan tidak boleh dikesampingkan oleh sesuatu yang masih meragukan. Ia tidak menceraikan sang istri, namun memilih untuk menjaga dan melindunginya. Ia sedemikian khawatir istrinya akan jatuh ke pelukan lelaki lain. Padahal setting waktu itu sangat berbeda dengan zaman cyber saat ini.
Cobalah anda bayangkan kondisi sang suami dalam hadits di atas. Anggaplah isterinya sedemikian cantik, bahkan menarik banyak orang. Satu sisi sang suami merasakan kecintaan yang besar kepada sang isteri, akan tetapi di sisi lain ia khawatir akan gangguan laki-laki akan mempengaruhi isterinya. Mungkin ia merasa kesulitan untuk menjaga dan melindungi sang istri. Apalagi jika hal itu terjadi di zaman sekarang. Kecantikan sang istri yang disebar melalui Fesbuk atau Instagram, semakin menimbulkan daya tari bagi banyak laki-laki untuk mengerubutinya.
Diantara pelajaran dari kisah ini adalah, semakin cantik dan menarik seorang wanita, akan semakin banyak pula lelaki yang tertarik dan menghendakinya. Bahkan ketika wanita ini sudah berstatus sebagai istri yang sah, masih banyak lelaki yang mengharapkan bisa memilikinya. Ada “falsafah” laki-laki nekat seperti yang ditulis di belakang bak truk, “Kutunggu jandamu”. Bisa dibayangkan betapa sulit menjaga dan merawat istri yang dikejar banyak lelaki. Ini bisa menjadi penyakit tersendiri bagi suami, karena istrinya memiliki banyak fans setia, yang menunggu kabar kapan menjanda.
Istri yang baik akhlaqnya serta bisa menjaga diri, sebagaimana dalam kisah di atas, sudah menimbulkan “penderitaan” tersendiri bagi suami. Apalagi jika istri memang tidak baik akhlaqnya, bertipe penggoda, senang dipuja laki-laki, tentu akan semakin menyengsarakan suami. Mungkin banyak lelaki merasa bangga dan makin prestige karena memiliki istri yang “sangat super cantik banget”, namun di saat yang sama ia juga berpotensi mudah terkena stroke atau sakit jantung karena terlalu banyak lelaki menggoda sang istri.
Kecantikan yang tidak didasari kebaikan agama, tidak akan membawa ketenangan dan ketentreraman dalam keluarga. Justru potensial menimbulkan bencana. Maka salihah adalah kriteria utama, adapun kecantikan tubuh dan kebeningan penampilan, adalah tambahan saja. Tidak akan berkurang kebahagiaan keluarga, jika tambahan itu tidak didapatkan. Jika hanya memiliki nilai tambah saja, namun tidak memiliki kualifikasi yang mendasar, akan membuat kesengsaraan keluarga.
Agar bisa mendapatkan keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah, Nabi saw telah memberikan penjelasan dalam menentukan pilihan calon istri:
“Barangsiapa menikahi perempuan hanya karena kemuliaannya, Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kehinaan. Barangsiapa menikahi seorang perempuan hanya karena hartanya, Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kefakiran. Barangsiapa menikahi perempuan hanya karena keturunannya, Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kerendahan. Barangsiapa menikahi seorang perempuan karena ingin menjaga pandangan mata, memelihara kemaluan dari perbuatan zina, atau menyambung tali persaudaraan, maka Allah akan mencurahkan keberkatan kepada keduanya” (riwayat Thabrani).
Memilih isteri jangan hanya karena kemuliaan status sosial, kekayaan atau keturunannya saja. Akan tetapi hendaklah memiliki orientasi yang kuat dalam memilih berdasarkan kebaikan agama. Seorang ulama' bernama Aksam bin Shaifi pernah menasihati kaumnya, "Wahai Bani Tamim, janganlah sekali-kali kalian tergiur dan terpesona kecantikan wanita, sehingga membuat kalian lupa diri dan tidak menyelidiki siapa, dari mana asalnya, dan sebagainya. Karena perkawinan seperti itu mudah meruntuhkan kehormatan".
Abul Aswan Ad Duali berkata kepada putranya, "Wahai anakku, aku telah berbuat baik kepadamu semenjak kalian kecil hingga dewasa, bahkan semenjak kalian belum lahir".
"Bagaimana cara ayah berbuat baik kepada kami sebelum kami lahir ?"
"Ayah telah memilihkan untuk kalian seorang wanita terbaik di antara sekian banyak wanita, seorang ibu yang pengasih dan pendidik yang baik untuk anak-anaknya".
Kisah dialog di atas menggambarkan betapa orientasi memilih wanita berdasarkan kebaikan agama, akan membawa keberkahan yang amat banyak. Salah satunya adalah kemampuan membina anak-anak dan menyayangi keluarga dengan baik. Itu adalah kriteria yang sangat fundamental yang akan memberikan kebahagiaan dan keharmonisan hidup berumah tangga hingga akhir usia. Ingat, menikah bukan hanya untuk bersenang-senang saja. Hidup berumah tangga akan melewati masa yang panjang dalam kehidupan, maka hendaklah tepat memilih pasangan.
Jangan sampai memilih istri hanya terjebak kecantikan dan kemolekan tubuh, hingga mengabaikan hal-hal yang lebih mendasar. Cantik, bisa memberi kebahagiaan, sekaligus kesengsaraan.
Bandung 3 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H