“Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Suami saya sudah tidak bisa diajak berbicara. Apapun yang saya lakukan jadi salah”, keluh seorang istri di ruang konseling. Ia mengeluhkan sikap suaminya akhir-akhir ini.
“Saya berpikir untuk bercerai saja. Saya sudah lelah dengan sikap dan perilakunya yang tidak mau berubah,” ungkap seorang suami di ruang konseling. Ia tengah jengkel dengan sikap istrinya.
Begitulah keluhan yang sering dijumpai para konselor di ruang konseling. Banyak pasangan suami istri merasa sudah buntu, tidak mengerti jalan keluar dari masalah yang tengah mereka hadapi. Akhirnya tidak jarang yang memilih untuk menempuh jalan pintas dengan bercerai. Di saat situasi darurat dalam keluarga telah terjadi, mereka tidak memiliki kesepakatan tentang tindakan pengamanan dan penyelamatan yang harus dilakukan. Akhirnya masing-masing memilih jalannya sendiri, yang kian menjauhkan satu dengan yang lain.
Untuk mewujudkan kebahagiaan dan keharmonisan keluarga, ada banyak aspek yang sangat penting dan signifikan untuk mendapatkan perhatian. Pada tiga postingan terdahulu, berturut-turut telah saya sampaikan tentang tentang aspek persiapan menjelang pernikahan (lihat Sertifikat Layak Menikah, Perlukah?), aspek pembinaan hidup berumah tangga (lihat Adakah "Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga"?), serta aspek pemberdayaan keluarga (lihat Tidak Cukup Kata Cinta, Keluarga Butuh Biaya). Pada kesempatan kali ini akan saya sampaikan tentang aspek pencegahan.
Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati
Dalam dunia kesehatan, berlaku idiom “lebih baik mencegah daripada mengobati”, demikian pula dalam konteks kebahagiaan keluarga secara umum dan luas. Keluarga harus diberi kemampuan untuk melakukan pencegahan dari berbagai permasalahan. Sesungguhnya keluarga tidak perlu terjebak atau terjatuh ke dalam persoalan yang rumit dan membahayakan, selama mereka sudah memiliki kemampuan pencegahan yang baik.
Sepanjang kurang lebih 16 tahun pengalaman menjadi konselor keluarga di Jogja Family Center (JFC), hampir semua persoalan hidup berumah tangga bermula dari hal-hal kecil dan sederhana. Seperti membiarkan persoalan-persoalan kecil menumpuk, akhirnya membesar tanpa bisa dikendalikan. Bermula dari komunikasi yang tidak nyaman, tidak saling terbuka satu dengan yang lain, lebih suka menutup diri, lebih percaya kepada orang lain daripada pasangan sendiri, hingga merembet kepada persoalan yang lebih besar. Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit, demikian kata pepatah mengatakan.
Kami menyebut kondisi ini sebagai “fenomena gunung pasir”. Mengapa gunung pasir? Karena itulah yang saya lihat setiap hari di Yogyakarta. Begitu saya membuka jendela rumah, langsung tampak Gunung Merapi. Usai erupsi besar tahun 2010, masyarakat sekitar Merapi mendapat limpahan berkah berupa pasir yang berkualitas bagus untuk bahan bangunan. Kini pasir itu ditumpuk di berbagai tempat, dari kejauhan tampak seperti gunung yang sangat tinggi. Namun begitu kita dekati, lalu kita ambil dengan tangan kita, ternyata hanyalah tumpukan butir-butir pasir yang sangat kecil dan halus.
Demikian juga persoalan hidup berumah tangga. Pasangan suami istri yang dilanda persoalan besar dan rumit, pada dasarnya adalah tumpukan dari butir-butir persoalan kecil yang dibiarkan menumpuk. Tidak ada upaya mencegah agar tidak terjadi penumpukan, justru yang sering terjadi adalah gejala pembiaran. Masalah demi masalah dibiarkan, konflik demi konflik dibiarkan, akhirnya muncul tumpukan permasalahan yang menjadi berat. Tidak selalu karena adanya partikel masalah yang besar, namun lebih karena bertumpuknya partikel-partikel masalah kecil.
Sama seperti fenomena gunung pasir. Jika kita melihat dari segi satuan butir pasir, hanyalah partikel yang kecil dan ringan. Namun jangan pernah menyepelekan, karena jika partikel kecil dan ringan itu ditumpuk hingga menggunung, niscaya akan menjadi gunung masalah yang siap meledak sewaktu-waktu. Tergantung ada pemicu atau tidak, dan sepanjang apa sumbu ledaknya. Jika ada faktor pemicu, dan termasuk tipe sumbu pendek, maka akan sangat mudah meledak.
Konflik atau pertengkaran antara suami dan istri, atau antara orang tua dengan anak, tidak akan terjadi dan membesar begitu saja. Semua ada prosesnya, ada tahap dan levelnya. Yang sering terjadi adalah membiarkan saja gejala awal munculnya konflik, hingga akhirnya berubah level dan sampai puncak ledakan yang tak terelakkan. Jika mereka mengenal gejala konflik, sesungguhnya bisa melakukan pencegahan sejak dini, agar konflik tidak berkembang dan meluas. Konflik segera bisa diakhiri dengan damai dan aman.