Untuk itu setiap keluarga hendaknya memiliki “Pintu Darurat Keluarga” (PDK) di mana mereka sudah mengerti akan melakukan tindakan apa jika suatu ketika mereka berada dalam situasi darurat. PDK dimaksudkan agar suami dan istri mengerti apa yang harus mereka lakukan saat konflik, namun sudah terumuskan jauh sebelum adanya konflik. Sediakan terlebih dahulu pintu daruratnya, sebelum terjadi persoalan keluarga yang memberatkan. Dengan demikian, bisa meminimalisasi peluang terjadinya masalah, sekaligus sudah mengerti apa yang harus dilakukan saat kondisi darurat keluarga benar-benar terjadi.
Prinsip PDK sama dengan pintu darurat pada pesawat terbang. Saat kita naik pesawat, selalu ada peragaan dan petunjuk dari pramugari mengenai berbagai sisi keselamatan penerbangan. Salah satunya diberitahukan tentang pintu-pintu darurat. Pramugari mengatakan, “Pesawat ini dilengkapi dengan sepuluh pintu darurat, Empat di bagian depan, dua di bagian tengah, dan empat di bagian belakang. Pada saat terjadi kondisi darurat, lampu petunjuk akan menyala yang menuntun anda ke pintu darurat terdekat... bla bla bla...”
Pintu darurat dan cara mencapainya, cara membuka dan menggunakannya, semua sudah lengkap dijelaskan. Sementara itu pilot dan co pilot ---suami dan istri, dalam kehidupan berumah tangga--- berusaha untuk menerbangkan pesawat dengan senyaman mungkin, yang menjamin penumpang sampai tujuan bukan hanya dengan selamat, namun juga dengan tenang, damai dan bahagia. Di saat terjadi kondisi darurat, maka semua anggota keluarga sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk penyelamatan. Ini membuat kondisi darurat cepat teratasi dan tidak berlarut-larut.
Ini bermanfaat untuk mencegah munculnya kondisi darurat yang berkelanjutan apalagi permanen. Lebih detail tentang PDK, silakan dilihat selengkapnya di PDK, "PIntu Darurat Keluarga" . Pada dasarnya, pembuatan PDK dalam setiap keluarga merupakan salah satu upaya pencegahan, agar keluarga tidak perlu terjatuh ke dalam permasalahan yang berat.
Keluar Dari Konflik Sejak Mengenali Gejalanya
Keluarga juga perlu dibekali dengan kemampuan dan ketrampilan mengelola konflik yang pasti datang dalam kehidupan. Hendaknya suami dan istri bisa memahami sisi-sisi perbedaan kejiwaan dan karakter antara suami dan istri, mampu meredam konflik, mengerti cara keluar dari konflik, serta memahami cara menghindari pertengkaran berkelanjutan dalam kehidupan rumah tangga. Ketrampilan mengelola konflik ini masuk kategori aspek pencegahan, karena sesungguhnya konflik bisa dicegah dengan prinsip “keluar dari konflik pada level pertama”. Artinya, begitu merasa ada gejala konflik, langsung melakukan tindakan pencegahan sehingga tidak membesar dan tidak masuk ke level berikutnya yang lebih besar dan lebih membahayakan.
Tidak perlu menunggu konflik menjadi sekam yang diam-diam siap membakar seluruh bangunan kehidupan berumah tangga. Karena sejak masuk level pertama konflik yang berupa the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Belum tampak pada permukaan. Suami dan istri bisa merasakan gejalanya, berupa ketidaknyamanan perasaan, tidak nyaman komunikasi, tidak bisa saling berbicara, dan lain sebagainya. Segera keluar dari level pertama ini. Lebih detail tentang teori menghadapi konflik, bisa dilihat di Menghadapi Konflik Pasutri Secara Dewasa.
Program bimbingan bisa dilakukan untuk upaya pencegahan agar tidak perlu terjadi persoalan berat yang bisa merusak kebahagiaan yang mengancam keutuhan keluarga. Prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati, hendaknya benar-benar dipahami dan diterapkan oleh semua keluarga, agar tidak perlu menghadap konselor atau psikolog. Semua bisa diselesaikan secara adat di rumah tangga masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H