Perjalanan sejak dari pengantin baru yang masih muda usia dan culun, lalu menjadi ayah dan ibu, lalu mendidik dan membesarkan anak-anak hingga dewasa, kemudian menjadi mertua, akhirnya menjadi kakek dan nenek, kemudian menjadi sendirian karena ditinggal pasangan, hingga akhirnya dirinya pun menghadap Tuhan. Perhatikan, betapa seluruh rentang waktu tersebut selalu berbeda situasi dan kondisinya. Maka mestinya berbeda pula materi pembelajarannya. Satu fase berganti ke fase berikutnya, dan mestinya segera belajar untuk menghadapi fase yang tengah dihadapi. Tidak ada waktu untuk berhenti belajar, berhenti memahami, berhenti mengerti, karena waktu terus berlalu. Kondisi terus berganti.
Begitulah hidup berumah tangga, harus selalu ada pembinaan, pengingatan, penyegaran dan pengarahan. Tidak pernah ada habisnya. Sayangnya, program ini tidak ada yang menjalankannya dengan sistematis dan terprogram. Kursus Calon Pengantin saja tidak bisa berjalan, masih ditambah dengan tidak ada perhatian terhadap pembinaan hidup berumah tangga. Pemerintah belum mampu memberikan program pendidikan berkelanjutan dalam keluarga, maka semestinya semua pihak saling bekerja sama untuk mewujudkan ketahanan keluarga.
Pembinaan hidup berumah tangga ini merupakan porsi terbesar pembentuk ketahanan keluarga, yang seharusnya dilakukan dengan terprogram dan terstruktur. Dikatakan porsi terbesar, karena memang yang paling utama adalah melakukan pembinaan. Kegiatan konseling yang dilakukan ketika terjadi konflik suami dan istri misalnya, hanyalah bagian yang kecil dalam pembentukan ketahanan keluarga. Bagian terbesarnya adalah pembinaan hoidup berumah tangga. Pada dasarnya manusia selalu memerlukan pembinaan, pengingatan, pencerahan dan penguatan, termasuk dalam kehidupan berumah tangga.
Belajar Dimana ?
Untuk menjadi direktur perusahaan saja, ada sekolah dan pendidikan lanjutnya. Lulus S-1 Manajemen, bisa lanjut S-2 dan S-3. Bisa mengambil spesialisasi Manajemen Perusahaan. Untuk menjadi dokter, ada kuliah serta pendidikan lanjutnya. Sejak masuk Fakultas Kedokteran, kemudian bisa lanjut S-2 dan S-3, atau bisa meneruskan ke jenjang Spesialisasi. Untuk menjadi apoteker, ada pendidikan S-1, dilanjutkan profesi, lalu bisa meneruskan S-2 dan S-3. Untuk menjadi jendral TNI, ada sekolah dan pendidikan lanjutnya. Tiap akan kenaikan pangkat, selalu ada pendidikan yang menyertainya.
Ternyata menjadi suami, menjadi istri, menjadi ayah, menjadi ibu, menjadi mertua, menjadi kakek, menjadi nenek, tidak ada pendidikan yang terprogram. Tidak ada Sekolah Suami, Akademi Istri Salihah, Sekolah Orang Tua, Akademi Mertua, atau Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga, dan Universitas Kehidupan. Itu hanya sekolah, akademi dan sekolah tinggi dalam angan-angan. Semacam cita-cita dan impian, namun sulit diwujudkan.
Nah, kalaupun tidak ada sekolah dan kampus formal untuk belajar hidup berumah tangga, paling tidak ada modul dan kurikulum yang bisa membuat semua kalangan masyarakat belajar mandiri. Bisa diselingi dengan program Pelatihan, Seminar, Workshop, Pengajian dan yang semacam itu, untuk saling berbagi pengalaman dan saling memberikan pembelajaran satu dengan yang lain. Tidak perlu menunggu STIMaRT (Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Rumah Tangga) untuk bisa belajar tentang manajemen rumah tangga. Yang diperlukan adalah modul dan kurikulum pembelajaran mandiri.
Lagi-lagi, ini menjadi kewajiban semua pihak ---baik pemerintah maupun komponen masyarakat--- untuk mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H