Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pernikahan Sederhana Membuat Langgeng dan Bahagia

18 April 2016   07:21 Diperbarui: 18 April 2016   10:56 2934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: fashionexprez.com"][/caption]Dalam kehidupan kita saat ini, sangat banyak dijumpai pesta pernikahan yang mewah dan mahal, bahkan kadang tampak berlebih-lebihan. Ada yang melakukannya atas dasar kemampuan, karena memang berasal dari keluarga kaya, namun ada pula yang melakukan semata-mata karena gengsi atau memenuhi standar kelayakan terkait dengan adat dan status sosial di tengah masyarakat.

Sampai dengan hari ini, di beberapa daerah saya masih sering mendengar banyaknya pemuda yang terpaksa menunda menikah karena mahalnya biaya “adat” dalam pernikahan.

Kadang seorang lelaki telah bersusah payah mengumpulkan uang untuk biaya pernikahan. Namun karena mahal dan rumitnya proses pernikahan berdasarkan adat setempat, terpaksa pernikahan belum bisa dilaksanakan karena uang yang dimiliki belum mencukupi untuk memenuhi semua tuntutan adat tersebut.

Di beberapa daerah bahkan masih ada adat yang memberikan tarif harga tertentu untuk laki-laki atau untuk perempuan, berdasarkan kriteria tertentu yang berlaku secara turun temurun. Misalnya, berdasarkan status sosial orang tuanya, atau berdasarkan jenjang pendidikannya.

Prosesi dan persyaratan adat yang menyulitkan seperti ini, sesungguhnya tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, dan terlebih lagi tidak sesuai dengan semangat ajaran agama. Dalam ajaran agama Islam, pernikahan itu dibuat simpel dan sederhana.

Kendati ada prosesi dan syarat, namun semua tidak ada yang menyulitkan. Pada dasarnya, agama menghendaki agar pernikahan bisa terjadi dengan sakral dan bertanggung jawab, namun mudah dan sederhana dalam pelaksanaan.

Mempermudah Mahar

Salah satu contoh ajaran agama yang mempermudah pelaksanaan pernikahan adalah dalam urusan mahar atau maskawin. Ajaran agama menghendaki agar mahar tidak sampai menjadi beban dan membuat kesulitan dalam penunaiannya. Mahar hendaknya diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya. Nabi saw telah bersabda, “Sungguh sebaik-baik kaum perempuan adalah yang paling ringan tuntutan maharnya” (HR. Ibnu Hibban). Beliau juga pernah bersabda, "Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan".

Hal ini menunjukkan, agama tidak menginginkan adanya kesulitan dalam proses pernikahan. Umar bin Khathab pernah berpesan, “Janganlah berlebihan dalam memberikan mahar kepada perempuan, sebab Rasulullah saw menikah dan menikahkan putrinya tidak lebih dari mahar empat ratus dirham. Seandainya meninggikan nilai mahar ada manfaat bagi kemuliaan perempuan di dunia atau menambah ketakwaannya, tentu Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali melakukannya”.

Beberapa riwayat menunjukkan, bahwa Nabi Saw memberikan mahar sebesar empat ribu dirham atau senilai dengan empat ratus dinar kepada istri beliau (Riwayat An-Nasa’i). Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa mahar Nabi saw kepada istrinya adalah lima ratus dirham (Riwayat Muslim). Di zaman itu, ada sahabat Nabi yang memberikan mahar kepada istrinya senilai seratus ribu dirham (Riwayat Abu Dawud). Ada contoh lain, mahar berupa emas sebesar biji kurma (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Nabi Saw juga pernah menikahkan seorang lelaki fakir yang tidak memiliki harta, dengan mahar berupa hafalan Al Qur’an (Riwayat Bukhari dan Muslim). Ketika Ali menikah dengan Fatimah, maharnya baju besi yang biasa digunakan untuk berperang (Riwayat Nasa’i). Seorang perempuan dari Banu Fazarah dinikahi seorang lelaki dengan mahar sepasang alas kaki (Riwayat At-Tirmidzi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun