Semenjak hari itu, ya, semenjak hari itu, Bunga memperlakukan Bapaknya seperti pembantu. Disuruh suruh, diperintah sesuai keinginannya. Mengepel lantai bagian rumah Bunga. Membersihkan toilet Bunga. Menyiapkan teh panas dan sarapan sesuai selera bunga. Lalu untuk apakah Bunga membeli sebilah clurit? Inilah kisah berikutnya.
Setiap kali sang Bapak menolak permintaan Bunga, segera clurit dikeluarkan dari kamar untuk mengancam. ”Bapak atau aku yang mati”, demikian ancam Bunga. Selalu. Terpaksa sang Bapak selalu menuruti kemauan anaknya. Menyapu kamar, mengepel lantai, membuatkan teh, kopi, sarapan, makan malam, mencuci baju kotor, dan berbagai pekerjaan lainnya. Karena jika tidak dilakukan, berarti harus duel melawan anaknya yang bersenjata clurit.
Ternyata semua perbuatan Bunga itu adalah bentuk balas dendam atas perlakuan bapaknya selama ini. Kekerasan fisik dan psikis yang dilakukan sanga bapak sejak Bunga masih kecil menjelma menjadi trauma. Kini Bunga tak ubahnya bak monster yang menakutkan bagi ayahnya. Seakan mendapat inspirasi dari film atau cerita drama, Bunga telah
Tidak Perlu Ada Yang Terluka
Pertanyaannya, mengapa harus ada yang terluka? Bukankah sang Bapak harusnya mencintai Bunga, dan Bunga sudah semestinya mencintai sang Bapak?
Saat sang Bapak ditanya kenapa ia tega memukul Bunga semenjak masih kecil? Sang Bapak menjawab, karena itu merupakan bentuk kasih sayangnya kepada anak, agar anak bisa disiplin dan baik dalam kehidupan. Kenapa sang Bapak membentak Bunga sejak kecil ? Agar anak hormat kepada orang tua, agar anak menuruti orang tua, agar anak tidak manja, agar anak disiplin dalam hidupnya. Itu semua rasanya alasan yang mulia.
Ya, jika memang mencintai, mengapa harus melukai? Dan lihatlah hasilnya, apakah cara yang digunakan sang Bapak untuk mendidik dan mendisiplinkan anak memberikan hasil seperti yang diharapkan? Ternyata tidak. Bahkan berkebalikan sama sekali. Bunga tidak tumbuh menjadi anak yang taat dan patuh kepada orang tuanya, justru menjadi pemberontak. Bunga tidak menjadi anak yang penuh cinta dan kasih sayang, justru menjadi anak yang penuh benci, dendam dan kemarahan.
Lihatlah, ternyata mencintai tidak berada pada tempat yang sama dengan melukai. Mencintai memiliki cara dan seni tersendiri. Melukai bukanlah bagian dari cara maupun seni mencintai. Mengapa harus ada yang terluka, jika landasannya adalah cinta? Ternyata, kesalahan terletak pada cara mengekspresikan cinta yang tidak pada tempatnya. Ekspresi cinta yang represif dan kasar. Ekspresi yang berlebihan dan tidak menggunakan perasaan.
Tidak patut orang tua berlaku keras dan kasar kepada anak-anaknya. Mereka adalah jiwa baru yang masih polos dan bersih, semestinya dijaga dan dirawat dengan penuh cinta kasih. Bentakan, pukulan, tendangan, dan aneka perlakuan kasar lainnya, hanya akan menimbulkan dendam dan trauma. Anak-anak bisa hidup dalam kungkungan ketakutan, kecemasan, kengerian dan ketidakceriaan. Bagaimana potensinya akan bisa tumbuh berkembang jika diperlakukan dengan cara semena-mena?
Hentikan semua bentuk kekerasan terhadap anak-anak. Hentikan berlaku zhalim kepada mereka. Penuhi hak-hak anak dengan sebaik-baiknya. Berikan kasih sayang dengan cara yang bijak dan benar. Mereka adalah masa depan bangsa, negara bahkan peradaban dunia.