[caption id="attachment_415934" align="aligncenter" width="600" caption="ilustrasi : www.ultraupdates.com"][/caption]
Suami dan istri adalah dua makhluk yang tidak sama, yang satu dengan lainnya harus saling melengkapi. Kedua belah pihak harus saling mengerti dan memahami, bahwa mereka adalah makhluk unik yang berbeda dalam banyak sifat serta karakter. Tidak bisa menuntut pasangan agar semua sifatnya sama seperti dirinya. Ini adalah tuntutan yang tidak realistis dan tidak mungkin bisa dipenuhi.
Sejak dari penciptaannya, laki-laki dan perempuan memang sudah memiliki konstruksi otak yang tidak sama, konstruksi perasaan dan jalan pikiran yang berbeda. Potensi yang paling banyak digunakan juga menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Untuk itu, yang bisa dilakukan adalah berusaha saling mengerti dan memahami, agar tidak menuntut keseragaman atau kesamaan dalam sifat dan karakter.
Cara Menghadapi Masalah
Menurut John Gray, salah satu perbedaan laki-laki dan perempuan adalah dalam hal cara menghadapi masalah. Hendaknya suami dan istri harus mengetahui perbedaan ini agar mereka bisa saling mengerti dan menyesuaikan diri dengan karakter pasangan saat menghadapi masalah. Kadang suami merasa tersinggung terhadap sikap istri yang dianggap melecehkan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah. Padahal istri tidak memiliki maksud untuk melecehkan atau menghina suami, namun ungkapan istri ternyata dipahami secara berbeda oleh suami.
Sebaliknya, kadang istri merasa tersinggung atas sikap suami yang dianggap tidak peduli dan tidak mengerti tentang beban masalah yang dirasakan sangat berat. Padahal suami tidak memiliki maksud untuk menyinggung perasaan istri, namun ungkapan suami ternyata dipahami secara berbeda oleh istri. Hal seperti ini terjadi karena saling tidak mengerti perbedaan umum laki-laki dan perempuan saat menghadapi masalah.
Perhatikan perbedaan umum antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri), ketika mereka menghadapi masalah berat dalam kehidupannya.
1.Laki-laki Perlu Pengakuan Kemampuan
Laki-laki menganggap penting keahlian, maka ketika menghadapi masalah dalam kehidupannya, mereka tidak memerlukan pernyataan ‘ikut bela sungkawa’ atau ‘turut berduka cita’ dari istrinya. Hal itu justru bisa dianggap sebagai sikap yang melecehkan dirinya. Misalnya ungkapan seperti ini, “Aku ikut bersedih atas masalah yang engkau hadapi. Itu memang masalah yang sangat berat. Aku tidak tahu bagaimana engkau harus menghadapinya.” Pernyataan seperti ini cenderung dianggap sebagai hal yang terlalu cengeng bagi suami.
Yang diperlukan oleh suami saat dirinya menghadapi masalah yang berat bukanlah hiburan, namun pengakuan istri bahwa masalah yang berat itu pasti akan bisa dihadapi oleh suami dengan baik. Tidak penting bagi istri untuk mengungkapkan ‘kesedihan’ atas masalah yang dihadapi suami. Lebih penting bagi istri untuk meneguhkan dengan pernyataan bahwa ia yakin masalah itu akan menjadi ringan dan kecil untuk dilalui oleh suami, dan ‘membiarkan’ suaminya berusaha menyelesaikan masalah dengan cara yang ia inginkan.
“Aku yakin masalah ini akan bisa Abang lalui dengan baik. Abang sudah biasa menghadapi masalah seperti itu. Walaupun itu tampak berat, pasti itu akan menjadi ringan bagi Abang. Aku yakin Abang bisa.”
Kalimat itu menunjukkan pengakuan dan kepercayaan dari istri atas kemampuan atau keahlian suami dalam menghadapi masalah. Dengan diberikan kepercayaan dan pengakuan itu, maka suami akan merasa lebih nyaman untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang dikehendakinya.
Itulah sebabnya, suami cenderung bersikap diam dan menutup diri ketika menghadapi masalah. Ia tidak ingin tampak lemah di hadapan istri, maka ia mencoba menyelesaikan masalah yang dihadapi tanpa melibatkan istri.
2.Perempuan Perlu Empati dan Pengertian
Berbeda dengan laki-laki, ketika perempuan menghadapi masalah berat dalam hidupnya, ia memerlukan pengakuan, empati dan pengertian dari suami atas beratnya masalah tersebut. Istri memerlukan semacam ‘bela sungkawa’, dan merasa suami tidak peduli terhadap masalahnya apabila ia tidak memberikan pengakuan atas beratnya masalah yang dihadapi istri. Ungkapan berikut tidak disenangi oleh istri, karena dianggap suami tidak peduli dan tidak memahaminya:
“Itu masalah kecil, jangan ribut hanya karena masalah kecil seperti itu.”
“Jangan cengeng, masalah kamu itu sederhana banget. Mudah diselesaikan.”
Yang diperlukan oleh istri adalah pengakuan dan pengertian dari suami atas beratnya beban masalah yang tengah dihadapi, bukan pengakuan atas kemampuan atau keahlian istri dalam menghadapi masalah itu. Sebaiknya suami menghibur istri dengan ungkapan yang memberikan empati dan pengakuan:
“Aku mengerti beratnya masalahmu. Memang akan sangat sedih jika menghadapi masalah seperti yang engkau alami saat ini.”
“Aku bisa memahami apa yang engkau rasakan saat ini. Sungguh berat masalah yang engkau hadapi. Aku jadi merasa sangat sedih bahwa engkau harus berhadapan dengan masalah pelik seperti ini.”
Bagi perempuan, salah satu cara meringankan beban masalah adalah dengan cara menceritakan masalah tersebut kepada orang lain. Maka hendaknya para suami bersedia menyediakan waktu dan perhatian untuk mendengarkan dan menampung berbagai keluh kesah serta curhat istri. Dengan mendengarkan dan merespon secara empati semua curhat istri, maka hal itu telah membuat ringan perasaan istri sehingga masalah terasa telah terkuragi bebannya. Respon empati suami adalah dengan menyatakan betapa ia mengerti beratnya masalah tersebut.
Berikutnya, yang diperlukan oleh istri adalah upaya mencari solusi dan penyelesaian atas masalah yang dihadapi bersama suami. Ia ingin mendapat penguatan dari suami untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, dan suami tidak ‘melarikan diri’ atau ‘meninggalkan ia sendirian’ saat berusaha mencari penyelesaian masalah. Istri menghendaki kebersamaan, bukan pengakuan keahlian. Maka istri merasa nyaman apabila ada empati dan kebersamaan suami dalam menghadapi masalahnya.
Menuju Kebersamaan bersama Pasangan
Dengan mengerti perbedaan umum antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan berarti suami dan istri harus ‘menyerah’ sesuai dengan karakter umum itu. Kedua belah pihak perlu merumuskan sikap yang bisa membuat nyaman keduanya. Misalnya, ketika suami sedang menghadapi masalah, kendati ada kecenderungan untuk menarik diri dan bersikap diam, namun jangan terlarut dalam diamnya yang bisa membuat justru tidak mampu menyelesaikan masalah itu.
Dari pihak istri, jangan memaksakan untuk melakukan intervensi kepada suami dalam upaya membantu menyelesaikan masalah suami, jika memang itu tidak dikehendaki suami. Cukuplah suami mendapatkan dukungan kepercayaan dari istri agar suami merasa nyaman dalam menyelesaikan problem yang dihadapinya. Jika istri terlalu masuk untuk mencampuri urusan suami, justru membuatnya tidak nyaman.
Demikian pula ketika istri tengah menghadapi masalah, hendaknya bersikap tenang dan proposional. Kendati ia sangat ingin menceritakan semua hal kepada suami, namun jangan memaksakan suami ketika suasana dan waktunya tidak tepat. Pandai-pandailah melihat kondisi dan situasi, agar suami bisa memahami persoalan yang dicurhatkan dengan baik. Ketepatan dalam pemilihan waktu serta suasana saat menyampaikan cerita kepada suami akan sangat menentukan respon dan sikap suami terhadap masalah yang diungkapkan istri.
Pada dasarnya, hendaknya suami dan istri saling mengerti, memahami dan menyesuaikan diri dalam interaksi. Agar keduanya bisa saling mengisi, saling memberi, saling menguatkan dalam kebaikan. Perbedaan karakter dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut bisa disikapi dengan tepat oleh kedua belah pihak sehingga bisa saling mengerti dan memahami, hingga akhirnya bisa saling membantu dalam meringankan beban dan menyelesaikan permasalahan.
Bahan Bacaan :
John Gray. 2000. Mars and Venus Together Forever, Mars dan Venus Bersatu Selamanya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H