Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jangan Kentut di Depan Suami

12 April 2015   06:47 Diperbarui: 4 April 2017   18:23 8413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14288054471418600594

[caption id="attachment_409468" align="aligncenter" width="624" caption="Pasangan Cerai (Shutterstock)"][/caption]

Apa yang terjadi jika istri kentut di hadapan suami? Hati-hati, perbuatan itu bisa membuat konflik berkepanjangan dalam kehidupan berumah tangga yang menyebabkan terjadinya perceraian. Hah, cerai? Hanya karena soal yang sangat sepele dan sederhana itu? Benar. Ini bukan cerita rekayasa atau fiktif, namun kejadian nyata. Hal-hal kecil memang bisa berbuntut panjang.

Peristiwa itu terjadi di Pengadilan Agama Balikpapan belum lama ini. Seorang suami tega menceraikan istrinya hanya karena sang istri sering kentut.  Suami merasa tidak nyaman dan mengaku tidak kuat dengan kondisi istri seperti itu. Karena istri sering kentut itulah yang memicu perselisihan dan pertengkaran di antara mereka berdua. Konflik tidak berhasil mereka selesaikan, akhirnya keduanya membawa perkara itu ke Pengadilan Agama.

Di Pekanbaru, pernah terjadi kasus serupa. Suami dan istri yang bertengkar hebat dan tidak bisa mereka selesaikan hanya karena tuduh menuduh soal kentut. Pasangan suami istri Ben (35 tahun) dan Yoh (30 tahun) yang tinggal di Pekanbaru harus mengalami keguncangan rumah tangga karena dipicu oleh masalah sederhana dan sangat sepele. Pada September 2012 lalu, Ben tengah berada di teras rumahnya, tiba-tiba ia mencium bau yang tidak enak, seperti bau kentut. Ben langsung menuduh Yoh yang menjadi sumber bau itu.

Merasa tidak buang angin, Yoh langsung membantah tuduhan sang suami. Namun Ben terus menuduh, bahkan memarahi dan memaki Yoh. Bukan hanya sekedar menuduh, puncak dari kemarahan Ben membuatnya menampar Yoh dan kakinya mulai bergerak seperti hendak menendang. Yoh sangat sedih dan menangis. Ia tidak terima dengan perlakuan suami yang kasar dan emosional itu. Pertengkaran meledak dan tidak terhindarkan lagi. Yoh melaporkan Ben kepada polisi dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Bulan April 2013 lalu Pengadilan Negeri Pekanbaru memutuskan Ben bersalah melanggar Pasal 44 Ayat (4) UU No 23/2004 tentang Penghapusan KDRT, dengan vonis dua bulan penjara dengan masa percobaan selama enam bulan. Hukuman itu lebih rendah daripada tuntutan jaksa yang menuntut hukuman tiga bulan penjara. Ben menyatakan menerima putusan itu, namun Yoh merasa tidak puas. Ia minta agar hakim memproses perceraian mereka. Hakim tidak menerima permintaan Yoh karena Pengadilan Negeri tidak melayani permohonan perceraian.

Apa Masalah Sesungguhnya?

Memang ada perilaku manusia yang berbeda dalam melakukan tiga aktivitas berikut: buang air besar, buang air kecil dan buang angin. Untuk buang air besar dan buang air kecil, pada umumnya orang akan melakukan di toilet atau di tempat yang tertutup. Namun untuk buang angin, orang biasa melakukannya sembarangan. Di sembarang tempat dan di sembarang waktu. Jarang orang sengaja ke toilet hanya untuk buang angin. Termasuk dalam kehidupan berumah tangga antara suami dan istri.

Apakah kentut menjadi masalah utama dalam kehidupan berumah tangga mereka? Sepertinya tidak. Ada persoalan lain yang lebih mendasar dibandingkan dengan urusan buang angin itu. Persoalan lebih kepada belum adanya saling pengertian di antara suami dan istri dan belum ketemunya chemistry dalam komunikasi antara suami istri. Karena faktor itu, maka akhirnya mudah terjadi pertengkaran yang dipicu hanya oleh karena masalah sederhana dan tidak penting.

Jika suami dan istri sudah berada dalam situasi saling mengerti dan memahami, ditambah lagi sudah menemukan chemistry dalam komunikasi, akan membuat mereka berdua mudah untuk mendudukkan masalah secara tepat dan proporsional. Pada contoh kasus di Balikpapan di atas, suami dan istri bisa membahas persoalan itu secara baik-baik dan bijak. Apakah kondisi istri yang sering buang angin itu karena ada penyakit atau karena faktor psikologis atau karena faktor makanan, dan lain sebagainya. Mereka bisa melakukan konsultasi ke dokter untuk membantu menyelesaikan persoalan istri yang sering buang angin tersebut.

Suami tidak hanya marah dan menuduh, namun harus aktif mencarikan solusi untuk mengatasi persoalan istri. Bisa dibayangkan sang istri pun tidak nyaman dengan kondisi itu. Maka tidak bijak jika hanya menuntut dan menyalahkan sang istri, tanpa berusaha mencari solusi. Jika mereka konsultasi kepada dokter, maka akan muncul rekomendasi dalam rangka menyembuhkan atau mengatasi kondisi tersebut. Dengan demikian tidak perlu terjadi pertengkaran hanya karena masalah yang sederhana.

Pada contoh kasus di Pekanbaru, situasi yang terjadi adalah ketidaknyamanan dalam berkomunikasi antara suami dan istri. Mungkin selama ini sudah ada berbagai peristiwa sebelumnya yang menumpuk, sehingga menjadi beban berat yang siap meledak. Begitu ada faktor pemicu, maka akhirnya ledakan itu benar-benar terjadi. Suami dan istri bertengkar hebat hanya karena suami menuduh istri buang angin, dan istri yang dituduh membantah karena memang merasa tidak buang angin pada saat itu.

Sikap suami yang memaksakan tuduhan dan sampai ke tingkat melakukan tamparan kepada istri, menandakan bahwa pola komunikasi dan interaksi mereka selama ini belum bagus. Mereka belum berada dalam situasi yang saling mengerti dan memahami, belum pula menemukan chemistry dalam komunikasi. Dampaknya mudah tersulut emosi, mudah salah paham, dan akhirnya meledak menjadi pertengkaran rutin di antara mereka berdua. Padahal jika dipikir, untuk apa harus tuduh menuduh soal sederhana seperti itu? Seakan-akan itu masalah yang sedemikan besar dan berat.

Bagaimana Seharusnya?

Solusinya ada dua. Pertama, saling mengerti dan memahami di antara suami dan istri. Dengan saling mengerti dan saling memahami, masing-masing akan lebih toleran dengan kondisi pasangan. Keduanya akan saling menerima dengan penuh pengertian, sehingga tidak muncul tuntutan yang berlebihan di luar kemampuan pasangan. Keduanya berusaha saling melengkapi dan memberikan dukungan terbaik untuk memperbaiki kondisi diri dan pasangan. Keduanya saling berproses menuju kondisi yang lebih baik seperti yang diharapkan pasangan.

Kedua, temukan chemistry dalam komunikasi. Suami dan istri harus menemukan pola komunikasi dan interaksi yang pas dan nyaman untuk mereka berdua. Mereka berdua harus berusaha untuk saling mendekat, sehingga mengerti gaya komunikasi dan interaksi yang disenangi oleh pasangan. Chemistry ini harus ditemukan supaya tidak mudah salah paham dan muncul kemarahan setiap berkomunikasi. Suasana saling tuduh, saling bantah dan  saling marah ini terjadi karena belum menemukan chemistry dalam komunikasi dan interaksi.

Jika suami dan istri sudah berada dalam suasana saling mengerti dan memahami, juga sudah menemukan chemistry dalam komunikasi dan interaksi, maka kentut bukan lagi persoalan. Walaupun di hadapan pasangan.....

Selamat pagi sahabat semua, selamat beraktivitas. Salam Kompasiana.

Bahan Bacaan :

http://regional.kompas.com/read/2013/04/12/14521736/Jangan.Marahi.Istri.Hanya.karena.maaf.Bau.Kentut

http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/133079-sering-kentut-suami-ceraikan-istri.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun