Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menghadapi Konflik Pasutri Secara Dewasa

28 Maret 2015   13:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:52 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Cahyadi Takariawan

Jogja Family Center (JFC) / Rumah Keluarga Indonesia (RKI)

[caption id="attachment_406136" align="aligncenter" width="240" caption="ilustrasi : www.ikub.al"][/caption]

**********************

Bahan Pengajian

untuk Majelis Taklim Samara, Pleret, Bantul, DIY

Sabtu, 28 Maret 2015



************************

Dalam kehidupan berumah tangga, hubungan antara suami dan istri mengalami fluktuasi yang sangat dinamis. Terkadang berada dalam suasana yang sangat nyaman dan menyenangkan, namun ada kalanya berada dalam suasana yang seram dan menegangkan. Kadang berada dalam suasana yang tenang dan damai, namun ada kalanya berada dalam suasana yang panas dan menyakitkan. Itulah dinamika hidup berumah tangga, selalu dipenuhi dengan aneka rasa.

Untuk itu, suami dan istri harus bersama-sama memiliki sikap dewasa dan positif dalam menghadapi setiap persoalan dalam kehidupan, termasuk di dalam menghadapi konflik antara suami dengan istri. Ada tiga sikap dewasa dalam menghadapi klonflik pasangan suami istri, yang harus sama-sama dipegangi oleh kedua belah pihak.

1. Memahami Bahwa Konflik Pasti Terjadi

Kita sering mendengar ungkapan "You cannot not to be in conflict".Bahwa konflik dalam sebuah hubungan antarmanusia adalah sesuatu yang wajar dan biasa saja. Marc Feitelberg, seorang psikolog menyatakan, dalam sebuah hubungan antarmanusia, semakin erat hubungan satu orang dengan orang lainnya, semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik di antara mereka. Marc menjelaskan, konflik atau pertengkaran dalam sebuah hubungan adalah suatu hal yang natural, wajar dan bahkan menyehatkan. Sayangnya kita tidak diajari bagaimana mengatasi beda pendapat itu, “Maka kita harus mempelajarinya," ungkap Marc.

Marc memberikan cara bertengkar yang sehat, yakni pertengkaran yang bisa menghasilkan solusi akhir paling melegakan kedua belah pihak atau biasa dikenal sebagai win - win solution. Hendaknya kedua belah pihak memaparkan semua masalah, kemudian berusaha menegosiasikan keinginan masing-masing. Dengan cara ini mereka telah bertengkar lebih baik.

Dalam konteks yang luas, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu hubungan, kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.

Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Yang menjadi persoalan bukanlah bagaimana menghindari konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan kelompok. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam kehidupan keluarga, sosial dan organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangunkelompok.

2. Memahami Terjadinya Tiga Level Konflik

Sangat banyak alasan bagi suami dan isteri untuk terus berkonflik. Mereka berasal dari tradisi keluarga yang berbeda, mereka memiliki kebiasaan, pemikiran, kesenangan, perasaan yang tidak sama. Bahkan sering dikatakan, planet asal merekapun berbeda. Yang satu dari Mars, satu lagi dari Venus. Jika setiap satu perbedaan memunculkan satu konflik, maka setiap hari mereka akan selalu berada dalam ketegangan situasi yang tidak produktif.

Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan rumah tangga, memang selalu ada konflik dengan segala tingkatannya. Tidak ada keluarga tanpa konflik, yang membedakan adalah cara mereka menikmati, mengelola dan keluar dari konflik tersebut. Dengan demikian, tidak perlu berlebihan dalam memandang terjadinya konflik. Justru yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengubah konflik menjadi cinta yang menyala dalam keluarga.

Konflik tidaklah terjadi secara tiba-tiba, namun ada proses dan tingkatannya. Secara teoritis, konflik terjadi dalam tiga level.

Level atau tingkatan pertama konflik adalah the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Ada beberapa ketidakcocokan antara suami dengan isteri, tetapi ketidakcocokan itu tidak tampak atau tidak muncul dalam ucapan, sikap, dan tindakan. Ini adalah sebentuk ketidaknyamanan hubungan yang tidak diekspresikan, namun lebih banyak dipendam dalam hati dan pikiran. Suami dan isteri sama-sama merasakan ada sesuatu yang mengganjal, namun tidak diungkapkan.

Tingkatan kedua adalah the perceived / experienced conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini sudah sama-sama diketahui, dialami atau sudah tampak di permukaan. Suami dan isteri sudah sama-sama mengalami perbedaan yang muncul dalam bentuk percekcokan, pertengkaran atau perlawanan. Pemicu konflik bisa jadi karena perbedaan pendapat antara suami dan isteri, perbedaan harapan, keinginan, atau karena adanya tindakan yang tidak menyenangkan. Konflik bisa terjadi dalam bentuk kalimat yang diucapkan atau sikap yang ditampakkan.

Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada tingkatan ini, konflik sudah berubah menjadi tindakan fisik, seperti pukulan, tendangan, tamparan, atau tindakan lain yang bersifat fisik. Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan atau senjata (blow or weapon). Dalam kehidupan rumah tangga, banyak terjadi pertengkaran suami dan isteri yang melibatkan aktivitas fisik dan “senjata”, seperti menggunakan alat pemukul, memecah piring, melempar gelas, merusak perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Memahami tingkatan konflik ini akan sangat membantu bagi suami dan isteri untuk bisa menentukan sikap yang tepat pada saat menghadapinya. Hendaknya suami dan isteri tidak membiarkan konflik berkembang dari tingkatan pertama menuju tingkatan kedua dan ketiga. Deteksi dini adanya konflik di tingkatan pertama sangat diperlukan agar bisa segera mencari jalan keluar dan tidak membiarkannya berlarut-larut atau berlama-lama.

[caption id="attachment_406137" align="aligncenter" width="350" caption="ilustrasi : www.clipartof.com"]

1427588301374537769
1427588301374537769
[/caption]

3. Meyakini Bahwa Semua Konflik Bisa Diselesaikan

Yakinlah bahwa semua konflik antara suami dan istri bisa diselesaikan, selama mereka berdua mau menyelesaikannya. Yang membuat konflik pasutri menjadi tegang, memanas dan akhirnya tidak bisa diselesaikan adalah sikap salah satu pihak atau kedua belah pihak yang tidak bersedia untuk berubah demi menyelesaikan masalah. Jika kedua belah pihak bersedia berubah sesuai kesepakatan yang dibuat bersama, sesungguhnya tidak akan ada konflik yang tidak bisa diselesaikan.

Saat suami dan isteri mulai merasakan ketegangan hubungan, sesungguhnya tanda-tandanya sangat banyak dan mudah dikenali. Misalnya komunikasi tidak lancar. Isteri tidak bisa atau tidak berani berbicara dengan suami. Takut menyinggung, takut dimarahi, takut tidak ditanggapi. Suami tidak nyaman berbicara dengan isteri. Takut tidak nyambung, takut salah paham, takut direspon dengan berlebihan. Akhirnya saling memilih untuk diam, namun memendam perasaan yang tidak nyaman.

Bisa juga suami dan isteri berada dalam suasana sensitif yang berlebihan. Kata-kata kecil yang diucapkan suami atau isteri, mudah memunculkan emosi dan kemarahan pasangan, walaupun tidak diekspresikan. Komunikasi sering tidak nyaman, karena mudah salah paham dan berlebihan memahami kalimat yang diucapkan pasangan. Seakan-akan pasangan tengah menyindir atau mengejek dirinya.

Inilah gejala suami dan isteri sudah memasuki gelanggang konflik pada tingkat yang pertama. Ada suasana tidak nyaman, suasana ketidakcocokan antara suami dan isteri, namun hanya dipendam di dalam hati. Tidak ditampakkan, tidak diekspresikan. Masing-masih memendam rasa yang tidak mengenakkan kepada pasangan.

Jika gejala konflik tingkat pertama ini sudah dirasakan, segeralah mencari jalan keluar. Jangan biarkan perasaan tidak nyaman kepada pasangan ini bercokol dan bertahan berlama-lama dalam jiwa. Itu akan sangat menyakitkan dan menyiksa hati serta perasaan. Bahkan dikhawatirkan lama-lama akan menggerogoti cinta yang sudah ditanam dalam dada. Segeralah keluar dari zona tidak nyaman ini, agar tidak membahayakan keharmonisan hubungan anda bersama pasangan tercinta.

Cari waktu dan suasana yang tepat. Ajak pasangan anda berbicara, dalam suasana jiwa yang bening, pikiran yang jernih dan hati yang tidak diliputi emosi. Sampaikan permintaan maaf anda kepada pasangan, karena menyimpan perasaan yang tidak nyaman kepadanya. Jika perasaan itu berupa praduga tertentu kepada pasangan, konfirmasikan hal itu kepadanya. Ingat, jangan menyalahkan pasangan. Obrolan ini hanyalah untuk menyalurkan ganjalan yang selama ini mengendap di hati. Bukan forum untuk menghakimi, atau saling menyalahkan di antara suami dan isteri.

Bahkan lebih bagus lagi jika menggunakan canda agar suasana lebih cair dan nyaman bagi semua. Ada banyak kelucuan yang selama ini disimpan dalam kehidupan berumah tangga, yang bisa diungkapkan agar suasana menjadi santai dan tidak tegang. Dalam kenyamanan suasana, saling tertawa, saling menampakkan canda, perlahan-lahan kebekuan hubungan akan tercairkan. Berbagai hal yang mengganjal bisa dikeluarkan dan disalurkan, sehingga hati tidak lagi menyimpan sesuatu yang mengganjal dan tidak mengenakkan dari pasangan.

Jangan biarkan konflik tahap pertama ini berkembang dalam jiwa, karena lama-lama akan meningkat menuju konflik tahap kedua dan ketiga, yang akan semakin sulit untuk menyelesaikannya. Mumpung belum membesar, mumpung belum terlanjur, segera keluar pada tahap pertama ini.

Bahan Bacaan :

Cahyadi Takariawan, Wonderful Couple, Menjadi Pasangan Paling Bahagia, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2015

Darlene Powell Hopson, Derek S. Hopson, Menuju Keluarga Kompak, Kaifa, Bandung, 2002

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun