Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suami-istri Malas Membahas Masalah, Mengapa?

5 Desember 2014   17:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:59 11302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_380765" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi : www.pinterest.com"][/caption]

Kami di Jogja Family Center (JFC) sering menyampaikan bahwa masalah hidup berumah tangga itu sering kali merupakan tumpukan dari masalah-masalah kecil yang dibiarkan tanpa ada penyelesaian. Akumulasi dari masalah-masalah kecil yang bertumpuk ini akan menjadi gunung masalah, yang apabila dibiarkan dalam waktu lama akan bisa menjadi ledakan yang membahayakan.

Itulah yang sering kami sebut sebagai “fenomena gunung pasir”. Jika Anda melihat di sekitar lereng Merapi banyak masyarakat menumpuk pasir untuk bahan bangunan, kelihatan sebagai gunung yang sangat besar dan tinggi. Namun jika Anda datangi dan Anda ambil dengan tangan Anda, ternyata hanyalah kumpulan dari butir-butir pasir yang sangat kecil. Demikian pula dengan permasalahan hidup berumah tangga.

Walaupun masalah-masalah itu sebenarnya sepele dan sederhana, apabila dibiarkan bertumpuk-tumpuk tanpa diselesaikan, akan menjadi gunung masalah yang besar dan tinggi, seperti fenomena gunung pasir tadi. Untuk itu, jangan pernah membiarkan masalah menjadi bertumpuk. Uraikan satu per satu, selesaikan sedikit demi sedikit, agar tidak menumpuk menjadi gunung persoalan.

Namun  sayangnya, upaya untuk menyelesaikan masalah keluarga ini kadang terhalang oleh sikap suami atau istri yang malas berkomunikasi. Saat suami atau istri merasa perlu untuk bertemu berdua membahas persoalan keluarga, ditanggapi dengan dingin dan cuek oleh pasangannya. Suami atau istri demikian semangat dan antusias untuk membahas persoalan keluarga agar bisa mendapatkan solusinya, namun tidak ditanggapi dengan baik oleh pasangan.

10 Sebab Kemalasan Membahas Masalah

Sikap malas berkomunikasi untuk membahas dan menyelesaikan masalah keluarga ini tentu ada sebabnya. Sebagai pasangan suami dan istri, mereka telah berinteraksi dan berkomunikasi sepanjang waktu dalam kehidupan berumah tangga. Masing-masing sudah mengenali kebiasaan yang dimiliki oleh pasangan. Beberapa kondisi komunikasi mereka pada waktu sebelumnya sudah cukup menjadi catatan bagi masing-masing tentang sikap dan gaya komunikasi pasangan.

Ada beberapa sebab mengapa suami atau istri malas membahas permasalahan keluarga dengan pasangan.

1.Belum menemukan chemistry kesejiwaan

Sudah sering kami sampaikan, bahwa untuk bisa nyaman berkomunikasi antara suami dan istri itu diperlukan sebuah rumus kimia tertentu (chemistry) yang bisa menciptakan kesejiwaan di antara mereka berdua. Jika suami dan istri masih menjadi dua pihak yang berbeda, belum satu jiwa, belum menjadi soulmate, maka wajar jika terdapat gap atau kendala dalam berkomunikasi dengan pasangan. Suasana ini menjadi pemicu malas dalam berkomunikasi dengan pasangan.

Chemistry ini harus ditemukan terlebih dahulu oleh suami dan istri. Mereka berdua dengan tekun menyelami jiwa pasangan, setiap hari, agar bisa menemukan posisi yang tepat bagi masing-masing untuk menjadi belahan jiwa bagi yang lain. Jika chemistry kesejiwaan ini sudah ditemukan, suami dan istri akan sangat mudah dan lancar berkomunikasi. Chemistry ini pula yang menjamin minimnya salah paham dalam komunikasi antara suami dan istri.

Pasangan suami-istri yang belum menemukan chemistry kesejiwaan cenderung malas untuk membahas permasalahan keluarga bersama pasangan, karena merasa sia-sia. Bahkan sudah ada stigma “walau mau dibahas seperti apa saja, tidak akan selesai juga”. Menurut suami, “Ini pekerjaan sia-sia, tidak akan menyelesaikan apa-apa.” Menurut istri, “Ini semua karena dia.”

Temukan dulu chemistry kesejiwaan ini agar bisa nyaman dan selalu nyambung dalam berkomunikasi. Dengan demikian akan mudah membahas dan mencari penyelesaian setiap masalah keluarga.

2.Omongan yang tidak jelas

Kadang ketika istri ingin menyampaikan suatu hal kepada suami, tidak bisa membahasakan dengan jelas, sehingga pembicaraannya terkesan melingkar-lingkar dan bertele-tele. Suami merasa capek menunggu inti dari pembicaraan sang istri yang terlalu panjang dan tidak segera bisa dipahami maksudnya. Akhirnya suami malas mendengarkan dan malas diajak membicarakan masalah keluarga.

“Kamu tidak pernah jelas dalam menyampaikan masalah keluarga. Malas aku membicarakan hal yang tidak pernah jelas,” ungkap suami. Jelas saja, istrinya menjadi bertambah sedih, marah, dan tersinggung dengan ucapan seperti itu.

Rata-rata suami menyukai pembicaraan to the point, sementara kaum perempuan sulit berbicara to the point. Sisi ini dipengaruhi oleh konstruksi otak laki-laki dan perempuan yang memang berbeda dari ‘sono’nya. Para istri harus belajar meringkas pembicaraan saat ingin membahas masalah keluarga dengan suami, sebaliknya suami harus belajar sabar mendengarkan cara bertutur istri yang selalu bercabang dan berkembang.

3.Mendominasi pembicaraan

Ketika suami dan istri duduk berdua membahas masalah keluarga, berikan waktu yang seimbang untuk masing-masing menyampaikan pendapatnya. Jika suami atau istri terlalu mendominasi pembicaraan, tidak akan terjadi dialog yang sehat, karena berlangsung searah. Satunya mendominasi pembicaraan dan satunya hanya diam mendengarkan. Pihak yang diam akan menjadi pihak yang tertekan.

“Tidak ada gunanya aku bicara. Dia selalu mendominasi pembicaraan. Kalau saya bicara pasti tidak akan didengarkannya,” demikian pikiran suami atau istri jika pasangannya selalu mendominasi pembicaraan.

Untuk itu jangan memonopoli pembicaraan ketika sedang melakukan pembahasan masalah keluarga bersama pasangan. Ketika suami atau istri merasa tidak pernah memiliki kesempatan untuk berbicara, sikap inilah yang membuatnya semakin diam dan menganggap omongan itu seperti angin lalu.

4.Komunikasi yang kasar

Kata-kata kasar yang sering diungkapkan saat mengobrol dengan pasangan membuat suasana pembicaraan menjadi tidak nyaman. Demikian pula gaya dan sikap yang kasar dalam berkomunikasi, menyebabkan pasangan menjadi malas untuk melakukan komunikasi. Akhirnya semua masalah keluarga hanya didiamkan dan dibiarkan saja, karena merasa tidak nyaman untuk mengajak pasangan membahas jalan keluarnya.

“Bang, hari ini anak kita bermasalah lagi di sekolah...,” ungkap istri setelah suami pulang ke rumah.

“Brengsek! Berapa kali sudah aku katakan, urusan anak itu urusan kamu! Kalau ia bermasalah, berarti kamu yang bermasalah, tahu? Jangan bawa-bawa masalah anak kepada aku!” jawab suami dengan ketus dan kasar.

Gaya komunikasi seperti itu tidak sehat. Sejak dari cara pandang terhadap masalah, pemilihan kosakata, sampai kepada intonasi dan bahasa tubuh menyebabkan pasangan menjadi takut dan malas untuk mengobrol lagi.

Jika suami atau istri memiliki kebiasaan mengatakan kata-kata kasar, menyakitkan perasaan, meremehkan, menghina, dan mengintimidasi, maka pasangan akan memilih bersikap defensif dan malas mendengarkan pembicaraannya. Selain itu, gaya komunikasi yang kasar akan cenderung menimbulkan trauma berkepanjangan yang menyebabkan pasangan menjadi tertekan. Hal ini memperparah masalah dalam keluarga, dan bukan menyelesaikannya.

5.Mendramatisir suasana

Saat membicarakan masalah keluarga, lakukan dengan tenang, pikiran jernih dan niat yang tulus untuk mendapatkan penyelesaian masalah. Kadang istri terbawa emosi saat menceritakan masalah, sehingga air matanya tumpah ruah di sepanjang pembicaraan dengan suami. Setiap menceritakan masalah, selalu disertai dengan tangisan. Bagi banyak kalangan suami, hal ini dianggap sebagai mendramatisir suasana.

“Aku gak mau lagi bicara dengan kamu. Bisa gak kamu bicara tanpa menangis? Apakah menangis bisa menyelesaikan masalah keluarga kita?” ungkap suami. Ungkapan seperti ini juga menyebabkan istri semakin bersedih dan semakin serius tangisnya.

Cobalah untuk menenangkan diri saat memulai berkomunikasi dengan pasangan. Jangan terbawa emosi. Jika perlu, sebelum terjadi pembicaraan buat dulu catatan poin-poin penting dan alur pembicaraan yang diinginkan bersama pasangan. Dengan demikian pembicaraan akan lebih lancar, tidak ada bagian penting yang terlewatkan, serta tidak ada kesan mendramatisir suasana.

6.Tuduhan ekstrem

Kadang suami atau istri cenderung menggunakan kata-kata tuduhan yang ekstrem dalam mengungkapkan permasalahan. Kebiasaan menggunakan kata-kata ekstrem seperti "selalu", "tidak pernah" atau "terus-menerus" menyebabkan pasangan malas untuk melakukan percakapan karena merasa diserang dan dituduh. Padahal kata-kata itu tidak sesuai dengan realitas yang ada. Perhatikan betapa ekstrem tuduhan-tuduhan seperti ini:

“Kamu dari dulu selalu mengulang kebiasaan yang salah....”

“Dari dulu kamu tidak pernah mendengarkan pendapatku...”

“Kamu terus menerus menuduhku dari dulu...”

Realitas yang sesungguhnya terjadi tidaklah seperti yang dituduhkan. Misalnya, tidak mungkin seorang suami atau istri “selalu mengulang kebiasaan yang salah”. Padahal kenyataannya, kesalahan yang diulang itu bisa dihitung dengan jari, bukan selalu. Demikian juga, tidak mungkin seorang suami atau istri “tidak pernah mendengarkan pendapat” pasangan. Pasti ada juga pendapat yang didengar dan dilaksanakan oleh pasangan.

Tuduhan yang ekstrem seperti itu cenderung menyebabkan pasangan merasa terintimidasi dan membuatnya malas berkomunikasi.

7.Awalan yang tidak tepat

Permulaan sangat menentukan pembahasan berikutnya. Jika mengawali secara salah, bisa merusak suasana pembahasan secara keseluruhan. Pembicaraan sudah gagal dari awalnya, karena suami dan istri memulai dengan awalan yang tidak tepat. Awalan yang tidak tepat itu misalnya kalimat tuduhan atau vonis kepada pasangan, yang disampaikan sejak awal pembicaraan. Dengan tuduhan itu, suasana pembicaraan mirip persidangan gugatan, sehingga membuat sekat perasaan pasangan.

Contoh awalan yang berupa tuduhan kepada pasangan adalah sebagai berikut:

“Semua ini karena kesalahan yang kamu lakukan. Jika kamu tidak melakukan kesalahan, pertemuan seperti ini tidak perlu terjadi.”

“Gara-gara kamu selingkuh, semua menjadi berantakan seperti ini. Semua karena kesalahan kamu.”

Contoh awalan lain yang tidak tepat adalah ketika istri mengajak suami membahas masalah dengan kalimat, “Bang kita harus bicara. Ini ada masalah serius yang harus segera kita selesaikan.” Ungkapan seperti ini cenderung membuat suami merasa tidak nyaman dan cenderung merasa sebagai tertuduh.

Tujuan utama dari pembahasan ini adalah untuk mencari solusi atau penyelesaian masalah. Maka lakukan dengan cara yang baik dan dengan suasana yang baik pula, agar tujuan bisa tercapai. Salah satu cara yang baik adalah dengan awalan yang baik, sehingga membuat pembahasan menjadi lancar dan nyaman.

Contoh awalan yang baik adalah dengan prolog hal-hal ringan dan cenderung lucu. Seperti bercerita tentang kelucuan anak-anak, kejadian lucu dengan tetangga, cerita lucu teman kantor, dan lain sebagainya yang bersifat ringan. Jika suasana sudah cair dan nyaman, barulah bisa masuk ke inti permasalahan yang hendak dibicarakan.

8.Waktu yang tidak tepat

Jangan menyepelekan pemilihan waktu untuk membicarakan permasalahan keluarga dengan pasangan. Walau kelihatan sangat teknis, namun hal ini berpengaruh besar dalam keberhasilan sebuah komunikasi. Ketika pasangan sedang dalam keadaan lelah karena baru saja datang dari tempat kerja dan belum sempat istirahat, lalu Anda memaksanya untuk berbincang serius tentang masalah keluarga, pasti ia merasa tidak nyaman.

Di saat suami atau istri tengah lelah, yang diinginkan adalah rehat sejenak. Berikan waktu tiga puluh menit atau satu jam untuk rileks, buatkan minuman panas atau dingin sesuai kesukaannya, pijit-pijit dengan ringan tubuhnya agar hilang rasa lelah serta penatnya, setelah itu ia akan lebih siap untuk diajak berbincang.

Demikian pula saat pasangan tengah asyik menonton sebuah acara di televisi atau tengah bekerja di depan komputer, menjadi waktu yang tidak tepat untuk mengajaknya berdiskusi tentang masalah keluarga. Tanyakan apakah ia akan menonton acara itu sampai selesai. Jika memang ia menyukai acara itu, biarkan saja ia menyelesaikan menonton agar tidak merusak ‘mood’nya.

Tanyakan apakah pekerjaan di komputer itu masih lama. Jika memang masih lama, mungkin Anda bisa mengerjakan dulu aktivitas lain sambil menunggu pasangan bekerja di komputer. Mungkin juga Anda lebih nyaman berbincang saat anak-anak sudah tidur di malam hari, sehingga suasana lebih kondusif. Pemilihan waktu yang tepat akan mendukung keberhasilan pembicaraan dengan pasangan.

9.Tempat yang tidak tepat

Tempat untuk melakukan pembicaraan masalah keluarga juga sangat menentukan. Kadang suami dan istri merasa terganggu oleh keributan anak-anak di rumah, atau terganggu oleh banyaknya tamu di rumah, atau oleh rutinitas kesibukan rumah tangga, sehingga tidak nyaman untuk berbincang berdua membahas masalah. Oleh karena itu, untuk membicarakan masalah keluarga kadang perlu tempat lain, bukan di rumah, jika memang di rumah tidak kondusif untuk melakukan pembicaraan ini.

Tidak perlu berpikir menyewa tempat seperti hotel atau restoran untuk melakukan pembahasan masalah keluarga, kecuali jika memang sengaja menganggarkan dana. Cukup menyempatkan waktu berdua berjalan ke pantai atau ke taman kota atau ke hutan pinggir kota, yang gratis saja, untuk mencari tempat yang sepi dan jauh dari gangguan orang lain. Di tempat yang kondusif, semua permasalahan bisa dibahas dengan leluasa, tanpa merasa ada gangguan yang menghalangi pembicaraan.

10.Tidak ada variasi

Suami atau istri pasti akan bosan membicarakan masalah yang berulang-ulang dan seperti tidak pernah selesai. Jika ada suatu masalah yang sudah pernah dibahas secara panjang lebar sebelumnya, jangan diangkat lagi dalam waktu yang sangat dekat. Jika tema permasalahannya selalu sama, akan membuat pasangan malas membicarakan kembali karena seakan-akan hidupnya habis untuk satu masalah itu saja.

Selingi pembicaraan dengan tema-tema lain, agar tidak menimbulkan kejenuhan dalam pembicaraan. Variasi dalam tema, cara menyampaikan, pilihan waktu, pilihan tempat, pilihan suasana, gaya komunikasi dan sebagainya, menjadi penting untuk membuat suasana yang selalu segar dan tidak monoton.

Demikianlah sepuluh hal yang menyebabkan suami dan istri merasa malas untuk membahas masalah dengan pasangan. Mereka merasa pembicaraan berdua dengan pasangan cenderung menjadi beban. Maka hindarilah hal-hal di atas agar bisa selalu merasa nyaman dan nyambung berbincang dengan pasangan. Semua masalah bisa dibahas secara baik-baik tanpa perlu pertengkaran dan konflik yang semakin menjauhkan perasaan kebersamaan pasangan suami dan istri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun