Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Istri Kecanduan Gadget

30 Januari 2015   15:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422580458368978848

[caption id="attachment_393975" align="aligncenter" width="468" caption="ilustrasi : www.dailymail.co.uk"][/caption]

"Istri saya kecanduan gadget," ujar seorang suami di ruang konseling beberapa waktu yang lalu.

"Seperti apa kecanduan yang Anda maksud?" tanya saya.

"Ia tidak bisa lepas dari gadget. Ke mana pun selalu membawa gadget. Ia lebih peduli gadget daripada saya. Bahkan tidur pun selalu 'ngeloni' gadget," ujarnya.

"Apa yang dilakukan dengan gadget itu?" tanya saya.

"Ia mengobrol dengan teman-temannya di grup. Ia punya 25 grup WhatsApp aktif, 5 grup BBM, 2 grup Line, belum lagi grup di fesbuk. Ia aktif berkomunikasi dengan Twitter, blog, dan email. Ia rutin update status di fesbuk dan Twitter menggunakan gadget. Belum lagi yang komunikasi lewat SMS. Ia juga tilawah Al Qur'an menggunakan gadget. Saat ini ia memiliki tiga gadget yang selalu dibawa ke mana pun pergi," tambahnya.

"Masalahnya lagi, ia tidak merasa kecanduan. Ia tahu istilah nomophobia, namun ia merasa itu tidak menimpa dirinya. Saat saya tegur, ia selalu membela diri. Katanya, semua komunikasi yang ia lakukan itu penting. Ia merasa punya alasan untuk selalu berkomunikasi melalui gadget," tambahnya.

Ya, itulah gejala yang nyata dari kecanduan gadget. Saat ini sangat banyak orang mengalaminya, dan hampir sebanyak itu pula orang yang tidak sadar bahwa mereka pengidap nomophobia. Para pengidap ini membenarkan perilaku lengket dengan gadget dengan berbagai macam alasan. Misalnya karena ingin mengobrol dengan teman kerja, teman pengajian, teman alumni, atau dengan tetangga bahkan grup keluarga, dan sekaligus bisa mengaji serta tilawah lewat gadget.

Masih sangat banyak alasan lain seperti ingin mendapatkan informasi terbaru tentang hal yang menjadi konsentrasi atau kegiatan dan pekerjaannya. Atau karena ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dan alasan-alasan lain. Sangat banyak alasan seseorang kecanduan gadget. Dengan sejumlah alasan yang menurut mereka "penting" dan "masuk akal" inilah yang membuat mereka merasa tidak mengalami kecanduan.

Uniknya, seakan-akan yang memiliki sejumlah alasan itu hanya dirinya. Mereka mengira, orang lain tidak memiliki alasan "sebaik" atau "sekuat" dirinya. Padahal, semua orang pasti memiliki alasan mengapa selalu berinteraksi dengan gadget dan tidak mau meninggalkan gadget. Bahkan rela kembali ke kantor atau ke rumah setelah pergi sangat jauh, demi mengambil kembali gadget-nya yang tertinggal. Orang memilih ketinggalan dompet atau ATM atau KTP dan paspor, daripada ketinggalan gadget.

Gejala Umum Para Pengidap Nomophobia

Ketika muncul rasa cemas setiap kali lupa membawa ponsel merupakan salah satu gejala nomophobia, alias ‘No Mobile Phone Phobia’. Istilah nomophobia pertama kali dikemukakan oleh para peneliti Inggris pada tahun 2008. Jumlah penderita nomophobia tampaknya terus meningkat hingga sekarang akibat makin menjamurnya smartphone.

Kecemasan yang timbul jika tidak memiliki akses ke ponsel dinilai mengganggu kondisi psikologis dan hubungan sosial, sehingga membutuhkan rehabilitasi. Menurut sebuah studi yang dilakukan perusahaan pengesahan keamanan, SecurEnvoy, nomophobia kini telah menjadi penyakit yang umum dan mudah dijumpai. Studi menunjukkan perempuan lebih memiliki rasa ketakutan yang berlebihan bila kehilangan ponsel mereka ketimbang laki-laki.

Hasil penelitian di Personal and Ubiquitous Computing menemukan bahwa para responden mengecek ponsel mereka rata-rata 34 kali sehari. Lookout Mobile Security juga melakukan penelitian yang menemukan bahwa 50% responden mengaku merasa gelisah jika ponsel tidak berada di dekat mereka. Ketika mereka ditanya mengenai barang yang akan diselamatkan saat terjadi kebakaran, mereka mengaku ponsellah yang jadi prioritas utama, menyusul kemudian dompet dan paspor.

Nomophobia ditandai dengan perilaku kecemasan yang berlebihan seperti, tidak mampu menonaktifkan ponselnya untuk beberapa waktu, rasa khawatir yang berlebihan jika kehabisan daya baterai, terus-menerus memeriksa gadget untuk mengetahui pesan masuk, panggilan, email baru, fesbuk, Twitter, Line dan jejaring sosial lainnya. Bahkan penderita nomophobia membawa ponselnya hingga ke ranjang tempat tidur dan juga ke kamar mandi karena terlalu cemas ketinggalan informasi. Hal inilah yang membuat kondisi psikologis seseorang terganggu karena kecemasan berlebihan, dan dapat mengubah suasana hati serta perasaan menjadi tidak aman.

Penderita nomophobia akan membatasi kontak dengan orang lain yang dapat mengganggu aksesnya terhadap ponsel. Dr. Elizabeth Waterman dari Morningside Recovery Center di California mengemukakan bahwa hubungan penderita nomophobia dengan dunia luar juga akan mengalami gangguan, karena saat berkomunikasi dengan orang lain, matanya tertuju kepada gadget. Orang lain merasa tidak nyaman dengan itu, sehingga mengganggu komunikasi sosial dengan orang-orang di sekitarnya.

Penelitian yang dilakukan tim dari MIT Sloan School of Management tahun 2007 menunjukkan penggunaan BlackBerry memiliki dampak negatif di lingkungan kerja, seperti tidak terpenuhinya tenggat kerja akibat konsentrasi yang terbagi antara pekerjaan dan si ponsel pintar. Psikolog di University of Bedfordshiren, Dr. Emma Short menyatakan, teknologi dapat membuat seseorang sulit untuk mengelola batas-batas dalam kehidupannya. Semakin sering terlibat dengan aktivitas di jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook, semakin berkurang pula waktu berkualitas yang diberikan pada pasangan hidup, teman, keluarga, dan rekan kerja.

Nah, inilah yang SANGAT MEMBAHAYAKAN kehidupan rumah tangga. Suami dan istri yang pengidap nomophobia lebih banyak mengobrol dengan orang lain melalui gadget daripada mengobrol langsung dengan pasangannya. Lebih asyik dengan gadget daripada dengan pasangannya. Lebih lengket dengan gadget daripada dengan suami atau istrinya. Lebih betah dengan gadget daripada dengan pasangannya.

Dengan gadget, dengan mudah ia mendapatkan pujian dari orang lain, para fans, atau dari teman di grup. Ia menikmati berbagai sanjungan dan pujian di dunia maya, seperti posting-annya yang diakses jutaan orang, di-"like" ratusan ribu orang, mendapatkan tanda jempol dari puluhan ribu orang. Sementara di rumah tidak ada yang memujinya. Ia merasa besar ---padahal itu kebesaran dunia maya-- sehingga berubah sikap terhadap pasangannya, yang riil berada di dekatnya.

Ia menikmati canda tawa, bahkan "bullying" dari teman di grup yang mem-bully karena persahabatan dan menambah akrab pertemanan. Ia tertawa-tawa sendiri dan bicara sendiri setelah membaca posting-an di grup. Saat dalam perjalanan berjam-jam di mobil atau kereta api, para nomophobi menghabiskan waktu dengan gadget. Saat di ranjang menjelang tidur malam, para nomophobi lebih intim dengan gadget, hingga dipeluk sampai tertidur. Bahkan terbangun di waktu malam karena merasa ada notifikasi di gadget, dan segera ia membukanya. Ritme tidur pun terganggu. Komunikasi dengan pasangan terganggu.

Suami dan istri saling asing, jika salah satu atau keduanya mengidap nomophobia. Perlahan tapi pasti, mereka semakin menjauh satu sama lain. Namun mereka semakin mendekat kepada gadget.

Perempuan Lebih Rentan Nomophobia

Sebuah studi yang dilakukan terhadap 1.000 orang menunjukkan bahwa persentase orang-orang yang takut kehilangan ponselnya telah meningkat dari 53% menjadi 66%. Dari persentasenya, perempuan lebih rentan nomophobia daripada laki-laki, yakni sebesar 70%, sementara kalangan laki-laki 61%. Untuk kategori umur, pengidap nomophobia 77% berusia 18 – 24 tahun, sedangkan responden berusia 25 -34 tahun sebesar 68%.

Saya menyimak tulisan mbak Ella Zulaeha di Kompasiana beberapa waktu yang lalu tentang perempuan dan nomophobia. Mbak Ella mengutip survey yang digelar perusahaan retail HSN melibatkan 2.000 orang laki-laki dan perempuan, didapati hasil bahwa ternyata pengguna gadget lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki. Ini bisa menjelaskan mengapa semakin banyak gadget yang diproduksi dengan bentuk mini dan dibalut dalam warna-warna khas perempuan, seperti pink, putih, atau ungu.

Perempuan menjadi target nomer satu bagi para produsen gadget, demi mendukung gaya hidup perempuan di era digital yang sudah mulai melek teknologi. Segala kemudahan yang ditawarkan fitur gadget, baik dari ponsel, smartphone, notebook dan tablet menyebabkan banyak orang menjadi ketergantungan terhadap benda-benda tersebut. Menurut mbak Ella, perempuanlah yang paling rentan ketergantungan dengan teknologi ini, bahkan kini bisa dikatakan ketergantungan mereka terhadap ponsel sudah pada taraf yang mengkhawatirkan.

Bisa kita lihat di berbagai tempat, seperti di kendaraan umum, di kantin, di kantor, di tempat antrian apa pun, bahkan di toilet pun, perempuan paling sering membawa gadget. Untuk mengatasi kejenuhan dalam perjalanan, gadget menjadi hiburan yang mengasyikkan.

Perhatikan di sekitar Anda, para perempuan dengan tekunnya menyimak, bahkan senyum-senyum sendiri melihat gadget mereka. Nampak mereka begitu menikmati. Kata mbak Ella, "Melihat pemandangan itu, saya jadi malu sendiri dan buru-buru memasukkan smartphone saya ke dalam tas." Membaca bagian ini, saya juga tersenyum sendiri.... :)

Perempuan dan gadget seolah tak bisa dipisahkan. Di mana ada perempuan, di situ pula gadget tergenggam. Nomophobia mudah menjangkiti kaum perempuan di era digital ini, karena perempuan adalah makhluk yang komunikatif. Ingin banyak mengobrol dan bersosialisasi. Maka mereka mudah mengalami kecemasan yang berlebihan bila tak membawa gadget. Saat menyadari gadget terlepas dari genggaman, reaksi yang terjadi adalah ketakutan akan kehilangan gadget, atau kepanikan yang terjadi saat seseorang mencuri gadget-nya. Bahkan sampai membawa gadget ke toilet, untuk memastikan gadget selalu dalam genggaman.

Mbak Ella menceritakan teman kerjanya, seorang perempuan yang teringat smartphone-nya tertinggal di laci meja kerja. Ia menjadi sangat panik dan cemas, segera meminta mbak Ella menghubungi orang kantor agar menyimpan smartphone-nya. Terlihat raut wajah teman itu yang penuh dengan kekhawatiran. Bahkan pengalaman pribadi mbak Ella juga serupa walau tak sama. Tersadar bahwa ponsel tertinggal di rumah, langsung nekat balik lagi ke rumah hanya untuk mengambil ponsel tersebut. Bukan karena apa-apa, semua nomor hape rekan kerja dan klien kantor tersimpan di sana.

Puasa Gadget: Menuju Penyembuhan

Ramani Durvasula, psikolog dan profesor dari Universitas Negara Bagian California menyebutkan, gejala ini menjadi masalah psikologis atau patologis jika ketakutan tersebut berubah menjadi gangguan yang membuat penderita mengalami kecemasan yang tidak beralasan. Karena kondisi yang sudah mengkhawatirkan seperti itu, Dr. Elizabeth Waterman menyatakan gagasan untuk membentuk pusat rehabilitasi guna pemulihan penderita nomophobia yang bertujuan untuk membantu mengenali tanda-tanda nomophobia, mengeksplorasi akar psikologis dan kerentanan emosionalnya, dan kemudian memulihkan kembali kondisi psikologis penderita.

Penelitian yang dilakukan tim dari Rutgers University menyebutkan, untuk menyembuhkan pecandu smartphone, terapi yang digunakan sama seperti terapi untuk pecandu narkoba. Waaaahhhh..... :) Terapi narkoba, sebagaimana terapi rokok, adalah dengan jalan paksa. Yaitu total menghindari candu itu. Berhenti total, bukan bertahap.

Saya menyarankan, Anda yang merasa mengalami gejala nomophobia segera melakukan PUASA GADGET. Yang saya maksud puasa gadget adalah mematikan smartphone dalam waktu tertentu. Tidak peduli dengan grup, tidak peduli dengan pesan masuk, tidak peduli dengan jejaring sosial. Anda tidak akan mati karena puasa gadget. Anda tidak akan menjadi gila karena melakukan puasa gadget.

Berapa lama melakukan puasa gadget? Tergantung tingkat kecanduan Anda, maka selama itu pula waktu yang diperlukan untuk berpuasa. Mungkin sehari, mungkin sepekan, mungkin sebulan, atau bahkan setahun. Sampai Anda sembuh dari kecanduan. Gunakan telepon sederhana saja sekedar untuk bisa dihubungi dan menghubungi dalam situasi penting. Tidak untuk intens komunikasi atau "intens iseng".

Sayangi suami Anda, sayangi istri Anda, sayangi keluarga Anda. Biarkan gadget Anda digunakan seperlunya saja, tanpa ada kecemasan, tanpa ada ketakutan, tanpa ada kekhawatiran ketinggalan berita. Nikmati hidup normal bersama keluarga tercinta. Jangan biarkan keluarga Anda berantakan karena intervensi teknologi. Jangan biarkan kebahagiaan dan keharmonisan bersama pasangan menjadi hilang dirampas gadget.

Walaupun untuk tujuan yang sangat baik dan mulia, gadget tidak boleh merampas dan merenggut kebahagiaan dalam keluarga Anda.

Bahan Bacaan :

Amalia Virnanda Putri, Dampak Negatif Penggunaan Smartphone, http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2013/11/26/dampak-negatif-penggunaan-smartphone-611515.html

Ella Zulaeha, Benarkah Perempuan Menikmati Nomophobia? http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2012/08/03/benarkah-perempuan-menikmati-nomophobia-483010.html

http://doktersehat.com/kecanduan-hp-perlu-direhabilitasi/

http://bidanku.com/jenis-penyakit-yang-bersumber-dari-gadget

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun