[caption id="attachment_395433" align="aligncenter" width="420" caption="ilustrasi : www.pinterest.com"][/caption]
Hidup di zaman sekarang yang penuh dengan tuntutan kehidupan dan aneka persoalan, membuat suami dan istri harus semakin menguatkan hubungan untuk bersama-sama menghadapi setiap bentuk permasalahan dan tantangan. Ada peran yang sangat besar bagi para istri, dalam menjaga dan menguatkan kebaikan suami, agar suami selalu berada di jalan yang benar. Agar suami tetap tegar menghadapi berbagai bentuk godaan yang datang silih berganti, tidak mudah terbujuk oleh situasi, tidak mudah tergoda oleh suasana, yang membawanya melakukan tindak pidana.
Sejak zaman dulu kala, banyak orang menyatakan bahwa godaan manusia yang sangat berat adalah harta, tahta dan wanita. Tentu ini bagi kaum lelaki. Sedangkan kaum perempuan, mungkin tidak jauh beda, yaitu harta, tahta dan pria. Godaan ini sepertinya bersifat abadi, sudah ada sejak zaman pra sejarah, hingga di zaman cyber saat ini, dan bahkan sampai akhir zaman nanti. Untuk itu, istri salihah harus menyadari sepenuhnya, tugas dan peran yang sangat besar untuk menjaga dan menguatkan kebaikan suami.
Sayangnya, tidak semua istri bisa berkarakter salihah. “Tidak semua isteri itu bidadari. Ada istri yang teracuni oleh nilai-nilai hedonisme”, ujar Meuthia Hatta, saat menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Kalimat itu diungkapkan Meuthia saat berbicara di depan peserta diskusi yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sementara Wakil Ketua KPK, Moh. Jasin menambahkan, “Kami mengimbau agar para isteri tidak terlalu konsumtif dan lebih mengedepankan pendidikan moral”.
Sesungguhnyalah upaya pencegahan korupsi harus dimulai dari keluarga. Istri harus berperan aktif untuk mencegah suaminya dari perbuatan korupsi. Jangan sampai isteri justru menjadi faktor pendorong suami untuk melakukan perbuatan korupsi dan perbuatan tercela lainnya. Keluarga harus dijadikan menjadi benteng agar suami dan isteri tidak tersangkut perkara korupsi, secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama.
Peran Istri dalam Menjaga Suami dari Tindak Pidana Korupsi
Ada hal yang menarik dan menggelitik dari buku Quraish Shihab “101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui”, saat menjawab pertanyaan apakah isteri harus melaporkan atau mendiamkan perbuatan korupsi suaminya. Menurut Quraish, jika isteri benar-benar menjalankan perannya mencegah, perbuatan korupsi suami tak akan terjadi. Kebersamaan suami isteri dalam keluarga menjadi hal yang sangat penting dalam menolak berbagai perbuatan jahat, termasuk korupsi. Suami dan isteri digambarkan sebagai ‘pakaian’ bagi pasangannya. Salah satu fungsi pakaian adalah menutup apa yang tidak baik dilihat.
Menurut Quraish Shihab, korupsi bisa saja terjadi karena dorongan individu suami. Suami berinisiatif sendiri melakukan korupsi untuk kepentingan gaya hidup, memenuhi permintaan sumbangan, atau kepentingan lain. Namun, adakalanya suami melakukan korupsi karena permintaan dan tuntutan yang berlebihan dari isteri. “Tidak jarang, isteri terlalu banyak meminta dari suaminya,” ujar Quraish saat peluncuran buku tersebut.
Sebenarnya isteri bisa mengetahui indikasi suami melakukan korupsi atau tidak. Misalnya dengan membandingkan gaya hidup dan jumlah penghasilan suami dari kantor. Tentu saja istri tidak boleh berburuk sangka atau menuduh suami melakukan korupsi, namun harus ditanyakan dengan cara yang bijak dan baik-baik. Jika sudah yakin suami melakukan kejahatan korupsi, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah mengingatkan suami bahwa tidak baik memberikan makanan dari uang haram kepada istri dan anak-anak.
Jika tidak mempan dinasihati, isteri bisa memberitahu kalangan terbatas. Misalnya, kepada orang tua suami. Bisa jadi dengan nasihat ibu atau ayahnya, suami bisa berubah. Jika tidak mempan, sebaiknya isteri mengambil langkah tegas, misalnya menolak pemberian uang dari suami dan berusaha mencari uang sendiri dengan jalan yang halal. Bisa juga untuk sementara meninggalkan suami, dan tinggal di rumah orang tua atau mertua. Pada prinsipnya, sikap diam isteri terhadap perbuatan korupsi suami tidak dapat dibenarkan. Apalagi ketika isteri mati-matian membela suami padahal sang isteri tahu suaminya benar-benar melakukan korupsi.
Bahkan Quraish Shihab menganjurkan agar isteri melaporkan suaminya ke polisi atau aparat penegak hukum lain. Hal ini demi kepentingan yang lebih luas, demi menjaga kebaikan suami, serta menjaga kepentingan bangsa dan negara. Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan oleh istri. Kondisinya sangat rumit. Oleh karena itu, agar tidak perlu sampai terjadi kondisi yang demikian, hendaknya istri bisa menjaga dan mendampingi suami agar selalu berada di jalan yang benar, terjauhkan dari perbuatan kejahatan yang dilarang agama dan melanggar hukum negara.
Korupsi : Memenuhi Gaya Hidup Istri?
Psikolog Anna Surti Ariani mengungkapkan, dalam menjalani hidup, manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian pula dalam kehidupan berumah tangga, ada kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kebutuhan yang paling besar dari seorang suami adalah need of power. Sementara bagi istri, kebutuhan yang besar adalah need of affection. Yang dimaksud dengan “power” bentuknya bisa bermacam-macam, salah satunya adalah uang.
Sedangkan “affection” bisa berbentuk hadiah atau pemberian dan perhatian istimewa dari suami. Kebanyakan istri akan merasa senang jika mendapatkan hadiah oleh suami, apalagi yang harganya mahal dan langka. Biasanya, istri pun akan bersikap lebih patuh dan lebih romantis di hadapan suami, ketika mendapatkan hadiah istimewa. Karena itu, suami yang merasa memiliki power akan berusaha mempertahankan perhatiannya terhadap istri dengan rajin memberikan hadiah untuk menyenangkan sang istri. Lingkaran ini bisa menciptakan peluang korupsi, jika sang suami memiliki posisi yang memungkinkannya melakukan tindakan korupsi.
Sampai saat ini, paling tidak sudah ada tiga pasang suami istri yang terjerat kasus korupsi secara bersama-sama. Bukan hanya suami saja, atau istri saja, namun keduanya terjerat kasus korupsi. Korupsi di Indonesia telah terjadi di hampir semua level, apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004. Korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada level daerah dan bahkan menjalar sampai ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah.
Wahyu Hidayat dalam tulisannya di Kompasiana “Jangan Dorong Suami Korupsi” menyatakan, uang hasil korupsi biasanya akan “mengalir” ke rumah. Dan, tangan pertama yang menerima barang haram tersebut tidak lain adalah istri. Oleh karena itu dituntut peran istri untuk mencegah suami dari tindakan korupsi. Menurutnya, seharusnya istri tidak hanya mempersoalkan kenapa sang suami membawa pulang sedikit uang, tapi istri juga sepatutnya mempertanyakan kenapa sang suami membawa pulang uang lebih, di luar pendapatan yang biasanya.
Tugas istri adalah menjaga dan mengingatkan suami, bukannya justru mendorong sang suami jatuh ke kubangan korupsi. Menurut Wahyu Hidayat, ada istri yang terkesan mendesak sang suami untuk mendapatkan penghasilan “jumbo”. Golongan istri macam ini seolah tidak mau tahu caranya bagaimana, sumbernya darimana, yang penting ia menerima banyak rupiah. Urusan halal tidaknya, mungkin tidak pernah menjadi bahan diskusi. Nah, inilah yang kadang-kadang memaksa suami memutar otak bagaimana memenuhi hasrat materi sang istri. Korupsi biasanya menjadi jawabannya.
Posisi Sentral Istri
Tidak bisa dipungkiri, istri memiliki peran sentral dalam menjaga kebaikan suami. Para istri, apalagi istri para pejabat publik, jangan bosan menjaga dan mengingatkan suami agar melaksanakan amanat sebagai pejabat publik atau penyelenggara negara. Semakin tinggi posisi suami di tempat kerja, semakin besar pula peran dan tanggungjawab istri dalam menjaga kebaikan serta kelurusan suami. Istri yang hampir setiap hari bersama suami wajib menjaga, mengingatkan serta memberikan nasehat, agar suami tidak terlibat tindakan yang melawan hukum agama, hukum negara, maupun kepatutan umum.
Masih menurut Wahyu Hidayat, di negara Cina disinyalir istri ikut berperan aktif dalam membantu suami melakukan praktik korupsi. Dalam sejumlah kasus korupsi, para istri cukup diam di rumah untuk menerima suap dari orang-orang yang membutuhkan jasa para suami yang punya kedudukan penting di pemerintahan atau partai. Itu sebabnya para istri pejabat yang korup dipotret bersama suami untuk dipajang dalam pameran antikorupsi yang digagas oleh Beijing Procuratorate – semacam Komisi Pemberantasan Korupsi. Pameran pertama pada April 2007 menampilkan 134 kasus korupsi. Pameran digelar secara maraton 18 wilayah ibukota, dengan masa pamer masing-masing 10 hari.
Di Indonesia, berbagai langkah untuk melawan dan memberantas korupsi harus semakin ditingkatkan, dan dimulai sejak dari dalam rumah tangga. Langkah KPK meluncurkan gerakan “Saya Perempuan Antikorupsi” patut mendapatkan dukungan dan apresiasi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah menerbitkan rekomendasi yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasioal VIII, agar para wanita selalu mengawasi sumber penghasilan suami sebagai salah satu upaya mencegah perilaku korupsi.
Para istri dan semua anggota keluarga harus benar-benar mengerti serta memahami bahwa tindak korupsi adalah perbuatan kriminal. Hal ini tercantum dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang no. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Hukuman yang lebih mengerikan bagi tindakan korupsi adalah pemberitaan di media massa dan sanksi sosial dari masyarakat. Hal ini akan menimpa semua anggota keluarga. Hidup menjadi tidak tenang dan tidak nyaman karena setiap haru masuk pemberitaan media massa. Menyadari perbuatan korupsi dapat berdampak fatal bagi seluruh anggota keluarga, maka para istri harus selalu berusaha menjaga suami dari keterjebakan pada tindakan korupsi maupun tindak kejahatan lainnya.
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi mengatakan, terlibatnya keluarga terutama istri dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus korupsi yang dilakukan suami, adalah upaya untuk menghilangkan jejak dan mengelabui aparat penegak hukum. Menurutnya, ini adalah modus untuk mengilangkan jejak kejahatan TPPU. Biasanya keluarga tidak tahu menahu darimana asal uang tersebut.
Menurut Akhiar, korupsi biasanya terjadi karena ketidakjujuran pelaku. Kecil kemungkinan suami jujur kepada istri atau keluarganya darimana dia memperoleh harta korupsi itu. Karena tidak jujur itulah tindakan korupsi mudah terjadi. Uang hasil korupsi tersebut bisa jadi diberikan untuk membahagiakan istri dan keluarga tanpa mereka ketahui asal usul uang tersebut. Demikian pula Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi mengatakan, penyebab keluarga ikut terlibat dalam TPPU adalah karena mereka tidak mengetahui pengahasilan suami.
Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso mengatakan, salah satu faktor keterlibatan pihak keluarga seperti anak dan istri dalam TPPU disebabkan mereka tidak memahami pola pendapatan atau penghasilan dari suami sebagai kepala keluarga. Untuk itu, keluarga –terutama istri-- harus memahami pola pendapatan suami. Jangan sampai istri tidak mengetahui berapa penghasilan suami dan dari mana asal usul uang suami.
Memang sangat berat menghadapi godaan kemilau harta serta kemegahan tahta. Pada zaman kita sekarang, keduanya berkelindan saling terkait, bahkan ditambah dengan godaan wanita. Namun untuk godaan wanita akan saya bahas tersendiri di postingan berikutnya nanti, insyaallah. Saat ini, untuk mencapai tahta, harus mengeluarkan harta. Setelah mendapatkan tahta, bisa digunakan untuk mengumpulkan harta. Ada banyak kegunaan harta bagi mereka yang memiliki tahta, di antaranya adalah untuk “balas jasa” terhadap pihak yang telah mendukungnya menggapai tahta, mengembalikan hutang Pilkada, Pemilu atau Pilpres, juga untuk persiapan menggapai tahta berikutnya.
Teori korupsi juga bisa bermula dari sini. Seseorang harus mengeluarkan dana yang sangat banyak demi mendapatkan kursi baik eksekutif, legislatif, maupun untuk kursi-kursi lainnya yang seharusnya tidak memerlukan dana karena melalui mekanisme seleksi atau ujian. Karena habis uang dalam jumlah yang sangat banyak –bahkan lebih banyak dari jumlah total gaji yang akan didapatkan selama periode jabatan—maka memicu perilaku pengumpulan uang untuk memenuhi permintaan timses, konstituen, simpatisan, jaringan bahkan partai yang telah mengusung dan mendukungnya dalam pemilihan.
Dengan harta, seseorang bisa mendapatkan tahta. Dengan tahta seseorang bisa mengumpulkan harta. Setelah terkumpul harta, seseorang bisa kembali mendapatkan tahta. Dan demikian seterusnya. Belum lagi perilaku oknum penegak hukum yang menuntut harta dalam jumlah yang tidak sedikit untuk menutup kasus, atau untuk memunculkan kasus pada pihak lawan politik. “Tidak ada makan siang gratis” menjadi idiom yang sangat tepat untuk menggambarkan situasi perpolitikan di tanah air saat ini. Di lingkungan konstituen, kata “berjuang” dimaknai sebagai pemberian “beras, baju dan uang”. Akhirnya banyak orang harus berkubang dalam ‘perang resources’ demi mendapatkan kursi tahta yang diinginkannya.
Dimana posisi istri pada lingkaran ini? Jika ia menikmati harta dan tahta yang diperoleh suami, maka ia memiliki peran yang sangat signifikan dalam menyuburkan lingkaran tersebut. Namun istri salihah mengerti bahwa kemuliaan dan kehormatan tidak terletak pada harta dan tahta. Untuk itu, istri salihah berusaha menjaga dan menguatkan suami untuk selalu mengutamakan kemuliaan dan kehormatan hidup, dibandingkan memenuhi ambisi pribadi dalam mengejar harta serta tahta. Istri salihah tidak membiarkan suaminya berkubang dalam pertarungan politik tidak sehat yang menyeret keluarga dalam bahaya.
Godaan apa lagi yang harus dihadapi suami, dan apa peran istri?
Insyaallah bersambung.
Bahan Bacaan :
Jhon Allan, Ada Istri di Balik Korupsi Suami, Radarpena, 2014, dalam http://radarpena.com/read/2014/10/11/12095/4/2/Ada-Istri-di-Balik-Korupsi-Suami
Nofi Triana Firman, Bebaskan Suami dari Jerat Korupsi, Pesona, dalam http://www.pesona.co.id/relasi/keluarga/bebaskan.suami.dari.jerat.korupsi/003/001/13
Wahyu Hidayat, Jangan Dorong Suami Korupsi, Kompasiana, 2014, dalam http://hukum.kompasiana.com/2014/09/11/jangan-dorong-suami-korupsi-673752.html
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20140805113209-12-1145/suami-istri-penghuni-tahanan-korupsi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H