Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah “Dapur, Sumur, Kasur” Tidak Relevan Lagi?

17 Februari 2015   14:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:03 2520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_397458" align="aligncenter" width="430" caption="ilustrasi : www.depositphotos.com"][/caption]

Orang-orang tua Jawa zaman dulu memberikan nasehat agar para istri memperhatikan urusan “dapur, sumur dan kasur”. Pada kehidupan zaman modern yang menghendaki hubungan yang egaliter saat ini, nasehat tersebut seakan-akan bernilai negatif, karena menganggap perempuan hanya berfungsi dalam tiga jenis aktivitas itu saja. Padahal bukan pengertian seperti itu yang dimaksud oleh falsafah tersebut. Terlalu dangkal jika memahami falsafah itu dalam konteks yang sempit, seakan-akan menempatkan perempuan hanya pada sektor domestik saja.

Maksud falsafah “dapur, sumur, kasur” adalah ajaran kepada istri agar memberikan khidmah (pelayanan) kepada suami sebagai bentuk bakti, penghormatan dan cinta kasih kepada suami. Tentu saja istri salihah memiliki banyak peran lain diluar dapur, sumur dan kasur tersebut. Namun jangan sampai istri meninggalkan khidmah yang dianggap tradisional itu, karena merasa sudah bukan zamannya. Terjebak dalam slogan modernitas yang mengajak perempuan meninggalkan rumah, sampai istri menolak terlibat dalam penunaian aktivitas domestik yang dianggap menjadi tugas babu.

Walaupun istri memiliki posisi tinggi di pemerintahan atau perusahaan, walaupun istri memiliki jabatan penting di instansi tempatnya bekerja, namun di rumah ia tetap menjadi istri yang memiliki kewajiban khidmah kepada suami. Khidmah istri kepada suami tidak terkait dengan zaman, apakah seorang istri berada di zaman kuno atau zaman modern. Nyatanya aktivitas memasak dari dulu sampai sekarang tetap ada. Bahkan restoran dan hotel mewah telah mengangkat derajat para juru masak menjadi sedemikian elit dan ngetop, yang disebut chef atau bahkan masterchef. Kini mereka menjadi selebritis di televisi yang dikagumi banyak fans.

Bisa jadi pekerjaan di rumah sudah dibantu dengan berbagai peralatan, mesin canggih, dan tenaga manusia yang banyak, namun tetap ada hal yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun untuk melakukannya. Ada sangat banyak hal teknis bisa dikerjakan oleh pembantu rumah tangga dan sejumlah mesin atau peralatan canggih. Namun ada hal-hal spesifik dimana harus istri yang melakukannya sendiri untuk suami. Ada aktivitas yang tidak boleh diwakilkan kepada siapapun, karena menyangkut hal yang sangat mempribadi pada diri istri.

Mencurahkan cinta sepenuh jiwa, adalah urusan istri secara pribadi kepada suami. Ini hal yang tidak bisa dilakukan oleh pembantu, atau outsourching, atau tender, atau diserahkan kepada pihak lain untuk melakukannya. Curahan cinta seorang istri bisa berwujud aneka jenis aktivitas di dapur, di sumur, di kasur maupun di tempat lainnya.

Khidmah di “Dapur

Konon, banyak suami senang dimanjakan istri dengan masakan istimewa kesukaannya. Istri tidak harus memasak setiap hari, karena bab memasak ini menjadi sangat tentatif, tergantung situasi dan kondisi, dan tergantung kesepakatan dengan suami. Jika memang disepakati istri memasak setiap hari, maka lakukan dengan penuh keikhlasan tanpa merasa diperlakukan sebagai pembantu rumah tangga. Memasak adalah bagian dari khidmah kepada suami, apalagi jika memang suami menghendaki istri memasak setiap hari.

Namun para suami tidak boleh semena-mena mengharuskan istrinya memasak setiap hari, karena kondisi dan situasi setiap keluarga berbeda-beda. Misalnya, ada istri yang fulltime sebagai ibu rumah tangga, tentu berbeda kondisinya dengan istri yang bekerja formal di suatu instansi. Demikian pula, istri yang belum memiliki anak karena masih pengantin baru, berbeda kondisinya dengan istri yang sudah memiliki enam anak. Hendaknya para suami mengerti dan memahami situasi dan kondisi istri, sehingga bisa tepat dalam membuat kesepakatan peran bersama istri.

Kalaupun ada kesepakatan bersama suami, bahwa makanan disediakan oleh pembantu rumah tangga yang digaji oleh suami, atau makanan disediakan melalui jasa catering, bukan berarti istri merasa tidak perlu memasak untuk suami. Sangat berbeda suasananya, antara masakan pembantu dengan masakan istri. Berbeda nilainya, antara masakan pihak catering dengan masakan istri. Masakan istri berasa cinta dan kasih sayang. Masakan istri berasa penghormatan, pemuliaan dan pelayanan yang bermula dari dasar hati. Sedangkan masakan pembatu, terkait dengan gaji. Masakan catering, terkait dengan nilai kontrak bulanan yang disepakati.

Hendaknya ada hari-hari tertentu dimana istri memanjakan suami dengan memasak makanan kesukaan sang suami. Sediakan waktu khusus untuk menyenangkan cita rasa dan selera masakan suami. Jika istri melakukan dengan penuh cinta, masakan yang disiapkan dan dihidangkan untuk suami akan menjadi penyubur cinta serta kasih sayang di antara mereka. Masakan yang dihidangkan istri akan menjadi sarana kuatnya rasa persahabatan antara suami dan istri. Masakan yang disiapkan dengan penuh kesungguhan dan dedikasi dari istri akan menjadi lantaran terwujudnya suasana sakinah, mawadah wa rahmah.

[caption id="attachment_397459" align="aligncenter" width="214" caption="ilustrasi : www.mariamedia.net"]

1424132915427265398
1424132915427265398
[/caption]

Khidmah di “Sumur

Sumur adalah sumber air yang jernih. Biasanya orang tua zaman dulu menjadikan sumur sebagai pusat aktivitas bersih-bersih. Dari sumur, air jernih itu diangkut untuk memenuhi bak di kamar mandi. Di sini semua anggota keluarga mandi dan membersihkan diri. Dari sumur, air yang jernih itu digunakan untuk mencuci pakaian serta peralatan dapur yang kotor. Dari sumur, air yang jernih digunakan untuk berwudhu sehingga bisa menunaikan berbagai ibadah.

Sumur adalah simbol kebersihan dan kebaikan. Para istri diharapkan suka menjaga kebersihan diri, pakaian, serta peralatan rumah tangga. Sumur juga menjadi simbol kesucian, karena air jernih itu digunakan untuk bersuci dari hadtas besar dan kecil. Para istri diharapkan memiliki selera kebersihan, kesucian dan kebaikan dalam segala hal. Para istri hendaknya bisa menjaga kebersihan badan, kebersihan pakaian, kebersihan tempat tinggal, kebersihan peralatan rumah tangga, serta kesuciannya.

Secara teknis, kegiatan memberihkan rumah, mencuci baju, membersihkan peralatan dapur, memberihkan perlengkapan rumah tangga, membersihkan kendaraan dan lain sebagainya, bisa dikerjakan oleh pembantu rumah tangga atau pihak lain yang dikontrak untuk melakukan hal-hal tersebut. Tidak harus istri yang melakukannya secara teknis. Namun istri bertindak sebagai manajer yang mengelola seluruh sisi rumah tangga yang memerlukan sentuhan kebersihan dan kesucian. Agar istri bisa mengontrol dan memastikan bahwa rumah dan isinya sudah berada dalam kondisi yang bersih, rapi dan suci.

Khidmah di “Kasur

Kasur adalah simbol aktivitas ranjang suami istri. Hal ini mengajarkan, istri harus pandai melayani suami untuk urusan ranjang. Urusan yang satu ini bersifat sangat privat. Tidak boleh ada pembantu, atau mesin, atau pihak yang dikontrak untuk melayani suami di ranjang. Ini adalah tugas khusus istri yang tidak boleh diwakilkan kepada siapapun atau kepada alat apapun. Hanya istri yang boleh melakukannya.

Untuk itu hendaknya istri salihah mengerti cara menyenangkan suami dalam urusan ranjang. Ketidakpuasan suami dalam urusan ranjang bisa berbuntut panjang. Keengganan istri dalam memberikan pelayanan optimal di ranjang bisa menyebabkan suami menjadi uring-uringan. Layani suami dengan sepenuh hati. Tanyakan kepada suami apa yang diinginkan darinya saat di ranjang. Jangan malu dan enggan melakukan demi menyenangkan suami, sepanjang keinginan suami tersebut tidak melanggar aturan agama dan etika kepatutan yang berlaku di masyarakat.

Urusan kasur ini harus menjadi hal yang bisa dinikmati bersama-sama antara suami dan istri. Jangan sampai menjadi agenda yang monoton dan membosankan, sehingga melakukan hubungan suami istri hanya semata-mata dalam konteks menunaikan kewajiban. Tanpa disertai dengan perasaan dan gairah saat melakukannya. Istri harus pandai menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan suami untuk urusan hubungan biologis ini, sehingga tercipta kenyamanan bersama.

Di luar dapur, sumur dan kasur, para istri memiliki lahan kontribusi yang sangat luas dan sangat strategis nilainya. Para istri bisa berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan saat ini, bersama dengan pihak-pihak lain untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara. Namun perkara khidmah, menjadi kewajiban istri saat di rumah yang harus dikerjakan dengan sepenuh kesadaran dan cinta terhadap suami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun