Tengah hari persis, beberapa saat menjelang adzan dzuhur berkumandang kami bersandar di pelabuhan Malinau. Pak Rudolf yang bertugas menjemput kami sudah merapat lebih dulu. Lepas dari Pelabuhan Malinau, rasa capek mengarahkan kami untuk istirahat terlebih dahulu, makan dan sholat dzuhur.
Bandeng tanpa duri goreng tepung, menjadi pilihan menu kami. Es jus melengkapi obat capek, letih, lemah dan lesu yang menghinggapi, maklum Oplet Tua. Sambil menunggu kesiapan menu dihidangkan kami mampir untuk sholat dzuhur di masjid At Taqwa Malinau. Masjid besar cukup megah yang letaknya persis di sebelah lampu pengatur lalu lintas Kota Malinau.
Ternyata di Malinau lampu merah menjadi barang yang langka dan unik yang perlu mendapat catatan tersendiri. Dia langka karena kalau anda telesuri di segenap penjuru Kota Malinau jumlahnya hanya ada dua. Dan unik, karena sekelas Ibu Kota Kabupaten kok lampu pengatur lalu lintasnya hanya ada dua he he he . . . Ala kulli hal itulah itulah Indonesia kita.
Setelah perut kenyang, pikiran tenang dan dengan hati yang lapang kami meneruskan perjalanan menuju basecamp di Desa Langap Kecamatan Malinau Selatan. Kata Pak Rudolf untuk sampai ke sana kami membutuhkan waktu sekitar dua jam. Wouow . . . tidak masalah karena perut kami sudah kenyang, dan fikiran kami sudang tenang . . . tancap mang . . .
Sepanjang perjalanan kembali kami disuguhi hijaunya pohon yang berjejer di sepanjang perjalanan. Pun ketika kita menatap ke seberang. Di sebelah kanan dan kiri perjalanan juga tampak rerimbunan nan hijau membentang. Kebun sawit milik rakyat sesekali menjadi selingan yang memperkaya pemandangan dalam ekspedisi kali ini.
Sekitar satu jam perjalanan saya baru ingat, ternyata jalur menuju Desa Langap ini adalah jalur yang pernah saya lewati beberapa waktu lalu ketika kami melakukan ekspedisi ke desa Long Loreh bersama Bapak Atim Widodo, appraiser senior kami. Sekira seperempat jam perjalanan dari Long Loreh itulah base camp yang kami tuju sekarang ini.
Anjing berkeliaran di jalan-jalan. Sebagian nampak asyik tidur di bahu jalan tanpa tergangu sedikitpun dengan deru mobil ranger yang kami tumpamgi. Sedikitpun tidak terganggu, mobil kami mengalah menepi agar tidak menabrak mereka,"Kalau nabrak, kita kena denda pak," kata pak Rudolf. Ya sudahlah yang waras ngalah saja, dari pada kena denda adat, bisa gawat . . .
Banyaknya anjing yang berkeliaran ini juga sebagai penanda bahwa daerah itu dekat dengan perkampungan penduduk. Karena bagi umumnya masyarakat Dayak, anjing telah menjadi modal kerja yang cukup penting.
Sampailah kami di batas Desa Langap, sebuah desa yang berada di kaki selatan Gunung Sidi. Di luar dugaan, ternyata desa ini cukup semarak. Rumah-rumah kayu tampak berdiri kukuh di pinggiran jalan utama di desa itu. Ada Rumah Sakit Berjalan, Kantor Koramil, Sekolah Dasar Negeri dan warung Makan Ponorogo juga ada di sini. Pak Rudolf bercerita bahwa warga kampung sini memang beragam. Desa Langap kini dihuni oleh beragam orang dari berbagai suku, terutama setelah dibukanya pertambangan batu bara di dekat sini. Mereka datang dari berbagai penjuru Indonesia.
Sesampainya di camp, kami disambut oleh Pak Edi ( biasa dipanggil Pak E), Pak Yulius, Bang Iwan dan Bang Peter. Mereka berempat yang menggawangi base camp sehari-hari. Mereka menyambut kami dengan ramah. "Selamat datang di kamp Bapak-Bapak, jangan kaget di Langap ini matahari ada dua pak." kata pak E mengejutkan kami. Matahari ada dua . . . wah pertanda bakal kiamat ini pak he he he . .. jawab saya sekenanya.
Iya pak di sini memang panas sekali. Setelah seharian kita dipanggang matahari siang, malam haripun sampai jam tujuh atau delapan malam suhu udara masih terasa sangat panas pak. Serasa masih ada mataharinya.