Tulisan ini saya peruntukkan buat para penikmat dan penghobi burung cucak rawa di seluruh Indonesia, wabil khusus buat teman-teman anggota KPCRI (Komunitas Pecinta Cucak Rawa Indonesia) yang pada tanggal 25 Februari 2017 besuk akan menggelar acara Kopdar. Buat saya pribadi agenda rutin yang rencananya akan digelar di Boyolali kali ini bukan sekedar ajang kumpul-kumpul dan ngobrol sesama penangkar dan penghobi, tapi lebih dari itu kopdar ini memiliki makna yang sangat strategis yaitu upaya pelestarian burung cucak rawa.
Pelestarian burung cucak rawa ? Iya pelestarian burung cucak rawa. Seserius itu kah ? Iya benar seserius itu. Apakah ini berarti burung cucak rawa telah mengalami ancaman kepunahan ? Sangat mungkin iya, mengingat keberadaan burung cucak rawa di alam liar sudah sangat menipis. Penulis telah menggali informasi lapangan sampai ke pelosok daerah yang di masa lalu dikenal sebagai gudangnya burung cucak rawa, yaitu hutan Kalimantan bagian utara.
Berikut ini sebagian cerita dari perburuan saya dalam rangka menghimpun informasi tentang keberadaan burung cucak rawa di Kalimantan Utara, khususnya di Kabupaten Malinau.
Bagi para kicau maniac, seekor burung memiliki magnet. Salah satu burung yang memiliki gaya tarik magnet cukup kuat adalah burung cucak rawa. Makanya dia begitu menarik, di mata kicau maniac. Suaranya yang khas ( terlebih yang ropel ) terasa begitu memikat hati. Bahkan kicauan paginya seakan bisa menambah damainya hari. Apa lagi jika paginya ditemani sepiring goreng pisang kepok kuning yang masih anget, plus secangkir kopi panas. Hhmmm . . . nikmatnya.
Pun kicauan sorenya. Setelah seharian tak bosan-bosannya kita disuguhi lantunan suara emasnya, melodi kicauan sorenya akan menjadi penyempurna penutup hari . . . jiaaa . . lebay ya . . . ? Sempurnalah sudah hidup ini . . . he ... he ... he...
Ya kira-kira begitulah kesan para kicau maniac saat mendengarkan si burung kesayangan berdendang klang . . . kling . . . klung . . . klang . . . kling. . . klung . . . di sangkar emasnya. Makanya tidak aneh jika, si burung bersuara emas khas Kalimantan dan Sumatera ini banyak diburu penghobi dari berbagai daerah di Indonesia.
Berbicara tentang burung cucak rawa, biasanya ingatan kita langsung melayang ke Sumatera dan Kalimantan. Karena kedua daerah inilah yang terlanjur dipercaya memiliki hak paten atas asal moyangnya burung cucak rawa.
Benarkah si burung bersuara emas ini memang menjadi hak paten kedua pulau tersebut ? Kalau dulu sih memang iya, tapi sekarang nampaknya “tak lagi” . . .
Hasil penelusuran saya ke salah satu daerah yang sering disebut sebagai asal moyangnya burung cucak rawa yaitu Kabupaten Malinau Kalimantan Utara, menguatkan kesimpulan “tak lagi” di atas. Iya benar memang di masa lalu, Kabupaten Malinau yang posisi geografisnya hanya beberapa jengkal dari pekarangan rumah Siti Nurhaliza ini dikenal sebagai wilayah yang banyak dihuni burung cucak rawa.
Di masa lalu hutan Malinau bisa dibilang gudangnya burung cucak rawa. Karena hutannya yang masih perawan ini berbagai jenis burung berkembang biak dengan baik di sini. Burung murai batu, cucak ijo dan burung kacer di antara beberapa spesies yang meramaikan hutan Malinau.
Konon menurut mas Iza yang sempat menemani saya ngobrol, ratusan ekor burung murai, cucak ijo dan kacer bisa dijaring oleh para pemburu setiap bulannya. Itu sekitar lima sampai tujuh tahun yang lalu. Tapi lain dulu lain pula sekarang. Cucak Ijo dan kacerpun kini sudah jauh berkurang. Apa lagi burung cucak rawa . . .
Sepuluh atau lima belas tahun lalu, saat menyebutkan burung cucak rawa maka akan selalu mengingatkan kita pada rerimbunan hutan dan rawa-rawa di daerah Sumatera atau Kalimantan. Seperti sekarang saat kita menyebut nama burung jalak suren ingatan kita langsung menerawang kota Klaten di Jawa Tengah.
Saat ini para kicau maniac jika menyebutkan nama burung cucak rawa sudah tidak lagi identik dengan rimba Sumatera atau pepohonan perdu di belantara Kalimantan. Sebagaimana jika kita menyebutkan burung jalak suren jawa yang tidak mesti menunjuk pulau jawa. Perjalanan saya kali ini membenarkan akan hal itu. Karena hutan Kalimantan yang saya tengok, bukannya mempertemukan saya dengan segerombolan burung cucak rawa yang bertengger di dahan-dahan pohon perdu, namun malah mempertemukan saya dengan Mas Iza. Siapa Mas Iza ini?
Beliau adalah salah seorang kicau maniac asal Tanjung Selor Kalimantan Utara, yang di masa lalu pernah mengoleksi belasan burung cucak rawa muda hutan, dengan sangkar-sangkar gantung yang menyesaki rumahnya. Anehnya sekarang beliau merasa kesulitan untuk mendapatkan satu dua ekor materi burung cucak rawa, dan sekarang malah menangkarkan burung jalak suren di rumahnya di Kota Malinau.
Tentu hal ini bisa kita baca sebagai ironi, di mana di tanah moyangnya burung cucak rawa, sang kicau maniac senior ini malah kesulitan mendapatkan materi untuk di koleksi. Yang dia lakukan sekarang malah menangkarkan burung jalak suren. Semoga ini bukan sebagai pertanda akan punahnya burung cucak rawa.
Cuma aneh saja. Lawong saya jauh-jauh melakukan perjalanan dari Klaten, tiga jam perjalanan dari Bandara Internasional Adi Sucipto Jogajakarta – Bandara Juwata Tarakan, nyambung naik pesawat Susy Air ke bandar udara RA Bessing Malinau tambah tiga jam perjalanan darat menembus jalan tanah licin berlumpur pekat membelah hutan belantara sampai di Long Toreh Kecamatan Malinau Tengah. Dalam perjalanan panjang yang selalu dibuai mimpi bertemu dengan gerombolan burung cucak rawa yang nangkring di pohon-pohon perdu hutan Malinau, ternyata yang saya temukan malah jalak suren. Kalau jalak suren sih Klaten itu gudangnya, di rumah saya juga banyak kandang penangkarannya. Oalah nasib-nasib . . .
Begitulah sebagian dari ironi tanah air kita. Tanah tumpah darah yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau We sampai Pulau Rote dikenal sebagai tanah yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi. Kekayaan hutannya yang melimpah, tambang dan cadangan migasnya yang terbesar di dunia, namun jika ditelisik lebih dalam, kondisinya cukup memperihatinkan. Saya sempat singgah di beberapa areal pertambangan batu bara yang sebaian besar dikelola oleh juragan dari China dan India, membelah hutan yang di masa lalu merupakan belantara, namun sekarang telah menjadi gundul, hanya tersisa beberapa pohon madu yang di lindungi adat. Nampak jelas adanya kerusakan alam itu. Dan inilah menurut saya yang menjadi sebab utama menghilangnya berbagai spesies burung tersebut. Tentu di samping perburuan liar yang tak terkendali. Sedih memang . . .
Kabupaten Malinau sebenarnya masih sangat perawan dibandingkan kabupaten sekitarnya seperti Bulungan atau Berau di Kalimantan Timur. Saat ini wilayah Malinau 90 persen berupa hutan yaitu seluas 4,2 juta hektar, lebih dari separohnya berstatus hutan lindung. Sebagaimana umumnya hutan di kalimantan, di mana kehadiran perusahaan kayu dan penambang dan perkebunan kelapa sawit menjadi momok yang mengancam kelestarian hutan.
Konon kehadiran perusahaan kayu melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Alam (IUPHHH-HK) yang dulu disebut HPH turut menyebabkan kerusakan hutan di Malinau. Saat ini tercatat ada 15 perusahaan pemegang IUPHHH-HK dengan penguasaan lahan hutan seluas 1.69.094,71 Ha. Ini setara dengan seperempat luas Kabupaten Malinau. Mereka memegang hak untuk mengeruk hasil hutan selama 55 tahun. Umumnya hak itu baru berakhir pada tahun 2059. Kabar buruknya, tidak sedikit lahan bekas usaha mereka tinggalkan begitu saja tanpa adanya konversi lahan secara memadai.
Selain penebangan kayu yang dilakukan oleh perusahaan kayu, yang diduga turut menggerogoti kelesatarian hutan adalah perusahaan tambang, terutama tambang batu bara. Di Malinau ada 10 perusahaan tambang batu bara yang memiliki ijin penambangan. Kehadiran perusahaan batu bara ini berpotensi menggerus hutan alam seluas 83 ribu hektare. Ditambah lagi dengan keberadaan 18 perusahaan emas yang memiliki ijin penambangan di areal seluas 20.800 Ha. Ini artinya kehadiran perusahaan tambang ini berpeluang menggerus paru-paru dunia dalam luasan ratusan ribu hektar. Menyedihkan ya . . .
Meskipun saya sudah lama mendengar berita tentang kerusakan hutan, yang berakibat pada ancaman kepunahan beberapa spesies flora dan fauna dari hutan-hutan di Kalimantan, namun tak pelak penelusuran saya ke lapangan masih membuat saya mengelus dada. Karena penelusuran ini tambah menegaskan hal tersebut, di mana keberadaan burung cucak rawa di daerah asal moyangnyapun sudah sangat menipis, kalau tidak boleh dibilang telah habis. Dan kali ini saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, dan mendengar penuturan orang-orang dengan telinga saya sendiri.
Kata mereka perambahan hutan yang masif telah merusak ekosistem dengan sempurna. Kerusakan hutan membawa efek kemana-mana, termasuk merusak kekayaan hayati kita; satwa hutan. Dan burung cucak rawa termasuk daftar kekayaan hayati yang terancam punah. Walaupun Kabupaten Malinau termasuk daerah yang masih memiliki hutan terbanyak di antara wilayah lainnya di kalimantan Timur dan Utara. Itupun keberadaan burung cucak rawa sudah menipis, apa lagi di wilayah lainnya. Sedih ya . . .
Dari sini jelas sudah bahwa panggilan pelestarian itu begitu nyata. Dan di pundak teman-teman KPCRI, ada bagian tanggung jawab itu . . . selamat kopdar, selamat melestarikan burung cucak rawa kesayangan kita semua. Salam kalnk . . . klink . . .klunk . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H