Mohon tunggu...
Akhmad Sugiyono
Akhmad Sugiyono Mohon Tunggu... wiraswasta -

Manusia Biasa, bagian terkecil dari masyarakat Indonesia yang selalu menginginkan perubahan masyarakat hari ini menuju masyarakat madani

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi, Pintu Awal Politik Dagang Sapi?

12 April 2014   05:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil rekapitulasi KPU dalam perhitungan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 memang belum usai, tetapi hasil hitungan cepat (Quick Count) hampir seluruh lembaga survey menempatkan PDIP, Golkar dan Gerindra sebagai 3 besar pemenang Pileg 2014. Hasil yang cukup mengejutkan banyak pihak, karena beberapa prediksi pengamat banyak yang meleset, sebut saja tidak ada dominasi salah satu partai sebagai pemenang, PDIP sebagai pemenang kali ini, hanya terpaut4% dengan Golkar yang menempati urutan ke-2 dan 8% dengan Gerindra yang menempati urutan ke-3. Selain itu Partai Demokrat yang lamban dalam memutuskan Calon Presidennya, harus terjun bebas 11% dari Pileg 2009 kemarin yang memperoleh suara 20,84% dan menempati urutan ke-4. Kejutan lain yang terjadi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pada Pileg 2009 kemarin hanya mendapatkan 4,94% pada Pileg 2014 kali ini melesat dan mendapat perolehan suara di kisaran 9% dan menempati urutan ke-5, beberapa pakar yang menyebut prestasi partai yang di pimpin oleh Muhaimin Iskandar atau yang akrab di sapa Cak Imin ini, akibat dari “Rhoma Irama dan Ahmad Dhani Effect”. Hasil Pileg 2014 kali ini pun juga memastikan tidak adanya Partai yang dapat mengusung sendiri Calon Presiden dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Juli nanti, karena dapat di mungkinkan tidak ada yang dapat memenuhi Presidential Threshold (PT) 20% untuk kursi DPR dari total jumlah kursi di senayan dan 25% perolehan suara nasional dalam Pileg sesuai dengan Undang-Undang (UU) No.42 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Tahun 2008. Artinya untuk mengusung pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) partai butuh dukungan dari partai lainnya untuk memenuhi PT yang disyaratkan, dengan kata lain koalisi menjadi harga mati.

Menarik disimak, ketika dalam Live Event Metro TV (Rabu, 9 April 2014) ketika Najwa Shihab sebagai pembawa acara mempertanyakan kemungkinan koalisi PDIP kepada Calon Presidennya, Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi, disana Jokowi enggan menyebut kata “Koalisi” karena dianggap berkonotasi negatif, konotasi yang lebih mengarah ke bagi-bagi jabatan dan di bahasakan oleh Najwa sendiri “Politik Dagang Sapi”. Sehingga Jokowi lebih memakai pemilihan kata “Kerjasama”. Koalisi terbentuk menjadi konotasi negatif sebagai akibat dari realitas yang terjadi dalam dinamika politik kontemporer, seperti bagi-bagi jabatan atau politik dagang sapi. Meskipun secara harfiah koalisi adalah penggabungan beberapa kelompok individu dalam satu interaksi yang sengaja dibentuk oleh struktur organisasi formal dalam persepsi saling menguntungkan, berorientasi kebijakan, terfokus pada tujuan di luar koalisi dan memerlukan kerja bersama.

Dalam dinamika politik sendiri, koalisi adalah penggabungan dua partai atau lebih untuk tujuan bersama dalam membentuk sebuah pemerintahan. Terlepas dari realitas yang membentuk asumsi masyarakat dalam mengkonotasikan koalisi menjadi negatif, koalisi merupakan konsep yang ideal, karena dalam sistem pemerintahan presidensial multi partai koalisi merupakan keharusan yang terjadi, maka sebenarnya konotasi negatif tadi tidak layak disandingkan. Tetapi alasan dari partai dewasa ini dalam hal membentuk suatu koalisi yang patut dilihat lebih cermat. Dilihat dari latar belakang terbentuknya koalisi dalam dinamika politik saat ini ada dua, yaitu koalisi strategis dan koalisi taktis. Koalisi strategis terbentuk atas dasar kesamaan visi dan ideologi partai politik, tujuan dari koalisi strategis ini untuk membentuk pemerintahan yang kuat dan membagi kekuasaan secara adil dan demokratis. Koalisi taktis terbentuk atas dasar kesamaan relatif, dimana partai yang lebih besar jumlah suaranya lebih mendominasi daripada partai-partai yang lebih kecil dalam hal suara. Dalam kontek koalisi taktis inilah bagi-bagi kekuasaan, politik dagang sapi rentan akan terjadi dan akhirnya membentuk persepsi masyarakat akan konotasi negatif koalisi.

Sejarah Koalisi Pasca Reformasi

Dalam dinamika perpolitikan di Indonesia, koalisi bukanlah hal yang akan terjadi di Pilpres Juli nanti, tetapi sebelumnya koalisi telah mencatatkan sejarah dalam dinamika politik negeri. Tahun 1999 pasca reformasi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mempelopori terbentuknya sebuah koalisi, dan sering disebut sebagai “Poros Tengah”. Koalisi Poros Tengah yang merupakan koalisi partai-partai secara ideologis berbasis Islam pada waktu itu, akhirnya sukses menempatkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia. Koalisi Poros Tengah ini terbentuk sebagai akibat dari PDIP yang pada waktu itu sebagai Partai pemenang di pemilihan umum legislatif tahun 1999 dengan perolehan 153 kursi dari 500 kursi di DPR (33,7%) merasa percaya diri sehingga enggan untuk membuka pintu koalisi kepada partai manapun, akhirnya muncul inisiatif dari PAN dengan Amien Rais-nya bersama PPP membentuk koalisi partai-partai Islam. Meskipun pada akhirnya Poros Tengah ini tidak bertahan cukup lama dan terlalu dini melengserkan kepemimpinan Gus Dur yang sebenarnya masih diharapkan oleh masyarakat kebanyakan.

Di tahun 2004 disaat pemilihan presiden secara langsung pertama kali di Indonesia dilakukan, koalisi dalam pencapresan pun terjadi tidak hanya dalam ruang siding DPR di senayan. Partai Golkar sebagai pemenang pemilu legislatif pada saat itu dan mengusung H.Wiranto SH – Ir.H Salahuddin Wahid harus mengakui keunggulan pasangan H Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (JK) yang didukung oleh partai minoritas pada saat itu (Partai Demokrat, PBB dan PKPI), sehingga pada Pilpres putaran kedua terjadi koalisi yang lebih besar untuk melawan Calon Presiden dari PDIP yaitu Megawati Soekarno Putri dan KH Hasyim Muzadi. Partai Golkar, PAN, PKB, PPP dan PKS pun menjadi sebuah koalisi yang disebut Koalisi Kerakyatan yang memenangkan SBY-JK menjadi Presiden RI ke-6 dan turut serta dalam pembagian kekuasaan di pemerintahan SBY-JK.

Di tahun 2009, ketika dominasi di Pileg di kuasai 3 partai pada saat itu, Partai Demokrat (20,85%), Partai Golkar (14,45%) dan PDIP (14,03%) memunculkan konfigurasi persaingan di Pilpres dengan koalisi pendukungnya sebagai berikut : SBY-Boediono didukung oleh Partai Demokrat, PKB, PKS, PAN dan partai-partai kecil lainnya, JK-Wiranto (Golkar, Hanura, PKNU, Barnas, PDK), Megawati-Prabowo Subiyanto (PDIP-Gerindra serta partai-partai kecil berbasis Nasionalis). Hasil Pilpres 2009 yang terjadi hanya satu putaran dan kembali menahbiskan SBY sebagai Presiden RI pada akhirnya membentuk suatu koalisi besar dalam pemerintahan, termasuk Golkar di dalamnya dengan mempertahankan koalisi ala sekretariat gabungan (Setgab) SBY, meskipun menjelang tahun 2014 Setgab SBY ini harus mengalami kegoyahan, dan beberapa partai melepaskan diri.

Menuju Indonesia 5 Tahun Kedepan

Melihat sejarah koalisi dalam peta perpolitikan di Indonesia sejak era reformasi dan hasil Pileg 2014, menjadi ramai diperbicangkan konfigurasi koalisi beberapa partai menuju Pilpres bulan Juli nanti. PDIP sebagai pemenang pun berhitung dengan crmat dengan siapa mereka akan berkoalisi. Kemungkinan yang akan terjadi sangat sulit antara PDIP, Golkar dan Gerindra akan bertemu, karena ketiga besar pemenang Pemilu ini sama-sama punya kans dalam persaingan menuju RI 1. PDIP dengan tokoh populernya Jokowi dan dengan 15 tahunnya beroposisi merasa sekaranglah waktunya memimpin Indonesia. Golkar dengan Abu Rizal Bakrie (ARB) merasa sudah saatnya Golkar kembali berkuasa setelah rakyat merindukan era pemerintahan Soeharto dan Gerindra bersama Prabowo subiyanto dengan mengusung kerakyatannya juga merasa Indonesia perlu perubahan yang diperuntukan untuk rakyat yang sejahtera. Tetapi yang perlu dicermati dalam proses penjajagan koalisi ini, hal yang patut diperhitungkan sebuah Partai bukan bagi-bagi jabatan ataupun “Dagang Sapi”, proses koalisi berlandaskan persamaan visi dan ideologi untuk kepentingan rakyat harus dikedepankan. Latar belakang koalisi strategis ini yang patut menjadi utama, bukan koalisi taktis yang harus dikedepankan. Mencermati koalisi yang akan terjadi, aspek-aspek teoritis pun wajib dicermati oleh beberapa partai politik pelaku koalisi, menyadingkan aspek teoritis bersaama latar belakang koalisi strategis tadi, akan membentuk koalisi yang kuat, bertahan lama dan berorientasi kepada kebijakan yang memihak rakyat. Menurut Arend Lijphart (1984:48-49) di Indonesia ini ada empat teori yang memungkinkan untuk diterapkan, yaitu:


  1. Minimal Winning Coalitions, Prinsip dasar dari koalisi ini adalah maksimalisasi kekuasaan atau sebanyak mungkin memperoleh kursi di cabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu. Koalisi tersebut dibentuk tanpa terlalu memperdulikan posisi parta dalam spectrum ideologi (Cipto, 2000 : 25)
  2. Minimum Size Coalitions, koalisi ini terbentuk bila suatu partai yang memperoleh suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekedar mencapai suara mayoritas (Cipto, 2000 : 25)
  3. Bargaining Propotion Coalitions, prinsip koalisi ini adalah memudahkan proses negoisasi dan tawar menawar karena anggota atau rekanan koalisi hanya sedikit. Akan tetapi jumlah rekanan koalisiyang sedikit bukan merupakan jaminanan bahwa koalisi akan berjalan lancer tanpa gangguan (Cipto, 2000 : 26)
  4. Minimal Range Coalitions, dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis memudahkan partai-partai berkoalisi membentuk kabinet (Cipto, 2000 : 26)

Dari keempat teori yang dikemukakan oleh Lijphart di atas, partai yang sedang melakukan proses penjajagan wajib umtuk mengkaji dan nantinya memilih prinsip dasar koalisi yang mana yang akan diterapkan dan disandingkan dengan alasan pembentukan koalisi tadi, yaitu koalisi strategis. Berangkat dari hal di atas sebenarnya dapat disimpulkan bahwa pembentukan koalisi yang tidak terlalu besar/gemuk lebih efektif dari koalisi yang lebih besar/gemuk. Karena dengan semakin banyaknya partai pendukung koalisi, berebut jabatan hingga tawar menawar posisi cenderung lebih terbuka. Koalisi terbatas atau tidak terlalu besar/gemuk merupakan pilihan yang tepat bagi partai-partai yang akan menjadi kontestan di Pilpres bulan Juli kedepan. Semoga dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan yang tepat oleh para Calon Presiden dan Pemimpin Partai membuka sebuah dinamika koalisi yang sehat, bukan koalisi yang menjadi pintu awal terbukanya Politik Dagang Sapi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun