Mohon tunggu...
Akhmad Sugiyono
Akhmad Sugiyono Mohon Tunggu... wiraswasta -

Manusia Biasa, bagian terkecil dari masyarakat Indonesia yang selalu menginginkan perubahan masyarakat hari ini menuju masyarakat madani

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini dan Perempuan Indonesia

20 April 2014   19:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.” (R.A. Kartini)

Ada nada optimisme dari kutipan di atas, kutipan yang lahir dari sosok perempuan ningrat nan sederhana ini, perempuan yang memperjuangkan hak-hak kaumnya, perempuan cerdas yang gemar membaca, perempuan yang mempunyai cita-cita besar untuk kaumnya dan Indonesia, dialah Raden Ajeng (R.A.) Kartini anak ke-5 dari 11 bersaudara dari kalangan bangsawan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A Ngasirah. R.A. Kartini adalah pahlawan nasional yang dikenal karena jasa-jasanya memperjuangkan kaum wanita, melawan keadaan pada zamannya dimana budaya patriarki menjadi belenggu bagi wanita. Perjuangan Kartini bermula dari antusiasnya terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan, tetapi antusias Kartini terhadap pendidikantidak bersambut dengan baik, Kartini hanya mengenyam pendidikan sampai tamat sekolah dasar. Orang tua kartini masih berpegang kuat terhadap budaya yang ada di masyarakat, dimana perempuan pada waktu harus dirumah, di pingit dan menunggu untuk di pinang seseorang pada waktunya. Dalam masa “pingitan” inilah Kartini menjalankan rutinitasnya dengan membaca, menulis dan mengajari teman wanitanya untuk belajar membaca dan menulis. Semangatnya yang tak pernah padam terhadap pendidikan dan ilmu pengetahuan serta keahliannya berbahasa Belanda, membuat Kartini rajin membaca surat kabar dan majalah eropa, dari sinilah cakrawala awal Kartini untuk memajukan wanita Indonesia. Perjuangan atas nama emansipasi wanita Indonesia.

Dari kegemaran Kartini dalam dunia tulis menulis, menjadikan korespondensi sebagaian dari rutinitas Kartini selain membaca, korespondensi dengan teman-temannya di negeri Belanda semakin menambah wawasan Kartini tentang hak-hak perempuan, pemikiran – pemikiran Stella Zeehandaler seorang feminis sosialis asal Belanda, teman korespondensinya, banyak menjadi referensi Kartini dalam menginspirasi untuk memajukan wanita Indonesia, memberikan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan. Dalam kesempatan lain, Kartini sempat mendapat beasiswa setelah berinteraksi surat menyurat dengan Mr. J.H Abendanon untuk mengajukan beasiswa ke negeri Belanda, sayangnya sebelum hal itu terwujud, Kartini dipaksa menikah dulu oleh orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat sebagai istrinya yang ke-4. Meskipun keinginan menempuh pendidikan di negeri Belanda tidak terwujud, bukan berarti menyurutkan semangat Kartini untuk memperjuangkan persamaan hak wanita di lingkup pemikiran Jawa yang patriarkat. Hubungan dengan Mr. J.H. Abendanon inilah yang akhirnya tercipta buku “Habislah Gelap, Terbitlah Terang”, Abendanon mengumpulkan surat – surat Kartini dengan teman – temanya di eropa tentang keinginannya memajukan wanita Indonesia dan membukukanya yang di beri judul “Door Duisternis, Tot Licht

Sekelumit tentang R.A. Kartini di atas hanya sebuah catatan sejarah tentang perjalanan perempuan di Indonesia di masa kolonialisme, berangkat dari ketertindasan baik dari penjajah hingga budaya partiarki masyarakat Jawa sendiri, lahirlah sosok Kartini yang membawa semangat emansipasi wanita Indonesia. Bagaimana dengan perempuan Indonesia hari ini? Dinamika perempuan Indonesia hari ini terbilang sangat kompleks, kompleksitas permasalahan perempuan di Indonesia ditunjukan dengan masih lebarnya gap atau diskriminasi terhadap perempuan Indonesia. Indeks Ketimpangan Gender (IKG) Indonesia tahun 2013 masih di kisaran angka 0,5 ke atas, artinya terjadi ketimpangan yang sangat tinggi antara kesempatan laki-laki dan perempuan dalam bidang kesehatan, pendidikan dan standar hidup layak. IKG menempatkan Indonesia dalam 3 besar negara yang memiliki ketimpangan gender di ASEAN bersama Laos dan Kamboja. Ketimpangan ini dibuktikan dengan realitas yang terjadi, pada tahun 2012 kekerasan terhadap perempuan mencapai 12.649 kasus, dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih mendominasi dengan 8.315 kasus (66%), di ikuti dengan kekerasan dalam ranah komunitas 4.293 kasus (34%) dan kekerasan dalam ranah negara 41 kasus (<1%) (Data : Catatan Tahunan 2013 Komnas Perempuan).

Dalam kesempatan memperoleh pendidikan sebagai salah satu indikator dari IKG, masih terlalu lebar kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Proporsi 23,50% laki-laki yang memiliki ijasah SMA disbanding dengan 18,46% perempuan yang memiliki ijasah SMA menunjukan masih ada dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam kesempatan memperoleh pendidikan. Hal ini disebabkan masih kentalnya anggapan di masyarakat bahwa perempuan berada di wilayah domestik dan laki-laki berada di wilayah publik. Laki-lakilah yang bekerja dan menafkahi keluarga. Anggapan tersebut juga memperlebar kesenjangan dalam Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) tahun 2012, perempuan yang bekerja sebesar 47,91% dibandingkan laki-laki sebesar 79,57% (Data: Susenas 2012). Demikian juga dalam kesempatan perempuan dalam pemerintahan, meskipun mengalami kenaikan dari tahun 2004, keterwakilan perempuan dalam DPR RI menjadi 98 orang dari 65 orang sebelumnya.

Kompleksitas permasalahan perempuan di atas yang ditunjukan dengan angka IKG yang menyatakan ketimpangan gender masih terlalu lebar, membuktikan bahwa perjuangan Kartini belum selesai. Masih perlu sosok Kartini – Kartini lainnya yang wajib memperjuangkan hak – hak perempuan, baik itu perjuangan dalam menekan angka kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi kesempatan memperoleh pendidikan, partisipasi kerja hingga partisipasi di wilayah publik lainnya. Tentu kita tidak ingin ada Wilfrida Soik, Tuti Tursilawati, Satinah, Zaenab dan masih banyak lagi, yang harus terpaksa bekerja di luar dan mengalami kekerasan disana hingga harus berurusan dengan hukum. Tentu kita tidak ingin ada kekerasan seksual lagi yang terjadi di transportasi publik hingga berujung pada hilangnya nyawa seseorang, dan tentu kita tidak ingin lagi ada kekerasan sosok Ayah yang memukuli Ibu di depan anak-anaknya hanya dikarenakan masalah kecil. Tetapi tentunya kita ingin ada kesetaraan antara perempuan dan laki – laki di mata publik, dan hilangnya asumsi bahwa perempuan berada di wilayah domestik, laki – laki di wilayah publik. 21 April adalah hari kelahiran R.A. Kartini, bisa dijadikan momentum kita bersama untuk merenungi perjuangan Kartini dalam membebaskan kaumnya dalam belenggu bias gender.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun