Pendaftaran Calon Presiden yang dibuka tanggal 18 – 20 Mei ini oleh KPU memaksa Partai Politik untuk segera menetapkan pasangan Capres yang di usungnya. PDIP dengan Jokowinya meskipun belum mengumumkan secara resmi siapa pasangannya tentu sudah mengantongi nama – nama yang akan menjadi pendamping Jokowi nanti. Golkar dengan Abu Rizal Bakrie (ARB) nya pun sama, saat ini mereka lebih fokus pada peninjauan kembali ARB apakah masih tetap menjadi Capres atau tidak. Sedangkan Gerindra dengan Prabowonya lebih mencuri peluang kegamangan Golkar dengan melakukan pendekatan secara intensif untuk dijadikan koalisi.
Waktu yang semakin dekat dengan pendaftaran juga dimanfaatkan oleh para politisi ini segera menerapkan strategi pencitraan. Jalan satu – satunya penerapan strategi pencitraan adalah dengan merangkul salah satu media televisi. Diketahui bersama bahwa media televisi yang segmentasinya ke media pemberitaan adalah Metro TV dan TV One. Kedua stasiun televisi itulah yang menjadi bagian dari target para capres ini. Dan semakin terbukti dengan gerak cepatnya Jokowi merangkul Partai Nasdem sebagai salah satu koalisi partai menuju pencapresan. Selain membangun kekuatan suara politis untuk memenuhi Presidential Threshold (PT), koalisi dengan Nasdem juga memanfaatkan sosok Surya Paloh sebagai pemilik Metro TV sebagai bagian dari strategi pencitraan lewat media nantinya. Prabowo pun tidak mau kalah, dengan mengambil kesempatan kegamangan Golkar atas pencapresan ARB, Prabowo menjalin komunikasi intens dengan ARB yang notabene juga pemilik stasiun televisi TV one. Dua pertemuan telah dilakukan, yang pertama di rumah ARB dan dibalas oleh ARB untuk ganti bertamu di rumah Prabowo.
Manuver politik para Capres itu pun semakin nyata ditangkap dengan mata telanjang oleh pemirsa di rumah. Selama tiga hari terakhir ini sudah jelas pemberitaan di televisi tidak terlepas dari manuver-manuver politik para capres tersebut yang tersegmentasi. Manuver politik Jokowi ketika harus “blusukan” ke Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mengamankan suara-suara NU dan Muhammadiyah menjadi Headline News Metro TV. Di sisi lain intensitas komunikasi ARB dan Prabowo dengan istilah “Penunggang Kuda”-nya menjadi santapan utama media TV One. Dan yang membuat menjadi bosan adalah tayangan berita tersebut terkesan di ulang-ulang selama tiga hari ini.
Perseteruan para Capres ini akhirnya tidak saja di ranah membangun teman koalisi saja. Persaingan merebut simpati lewat media pun turut serta menjadi perseturuan para Capres. Hari ini yang nyata adalah vis a vis antara Jokowi dan Metro TV dengan ARB – Prabowo dan TV One-nya. Tidak ada yang salah dalam hal ini, tetapi yang patut dipertanyakan adalah independensi dari media tersebut. Apakah porsi pemberitaannya sudah proporsional atau tidak? Pemirsa televisi yang bisa menjawab itu. Tetapi yang lebih penting lagi adalah, jangan makan porsi berita-berita lain yang dibutuhkan masyarakat demi keterbukaan informasi kepada publik. Masyarakat tetap butuh informasi yang itu dilandasi kebenaran, kejujuran dan keterbukaan.
Jember, 6 Mei 2014