Konfigurasi peta koalisi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 semakin mengental. Manuver – manuver Calon Presiden (Capres) semakin memanas, baik di internal partai hingga antar partai. Bangunan koalisi Partai Politik semakin jelas dikotominya. Tidak lagi ada pembeda seperti dulu kala ini partai islam itu partai nasionalis, semakin beragam dan kompetitif. Atmosfernya lebih menggairahkan tahun politik kali ini daripada tahun – tahun sebelumnya pasca reformasi.
Seiring dengan eskalasi politik menuju Pilpres yang semakin memanas di tingkatan elite, di tingkatan bawah (masyarakat) pun ikut memanas. Masyarakat saling pro – kontra terhadap capres yang maju menjadi kontestan tahun ini. Jikalau lahan pertarungan para elite di ruang praksis politik langsung, masyarakat bertarung di ruang imajiner hanya untuk menyalurkan hasrat semu belaka. Para elite sudah jelas, kursi dan jabatan yang diperebutkan, masyarakat apa yang diperebutkan?
Hari ini yang terjadi di masyarakat mengiringi konstelasi yang terjadi di tingkatan elite adalah pro – kontra yang di wujudkan dalam bentuk “debat kusir” belaka. Masyarakat pro – kontra ini bertransformasi menjadi pendukung fanatik para Capres tersebut.dengan nalar subjektif dan logika terbalik. Trend yang terjadi sebagai akibat dari “debat kusir” pendukung fanatik para Capres tersebut adalah lahirnya “tukang fitnah”, “komentator abal – abal”, “kritikus destruktif”. Jika ketiga hal tadi ditarik benang merahnya, lahirlah para pendukung fanatik bermental “pengecut”.
Kita tinggalkan sejenak persaingan jajaran elite politik di atas, sejenak kita lihat persaingan pendukung fanatik ini. Arena “debat kusir” mereka bisa dimana saja, warung kopi, pos ronda, ruang – ruang diskusi intelektual muda (mahasiswa), media cetak hingga dunia maya seperti sosial media dan sebagainya. Patut di soroti dan menjadi ironi adalah arena di dunia maya, kebebasan yang kebablasan dalam berpendapat menjadikan pendukung fanatik tadi juga menjadi seorang “tukang fitnah”. Siapapun Capres yang di dukungnya sudah pasti memfitnah Capres lawan, padahal tuduhan mereka selama ini tanpa dasar yang kuat hanya bersumber dari asumsi – asumsi belaka.
Tidak jauh beda, ada pendukung fanatik yang selalu berkomentar negatif terhadap segala sesuatu yang menjadi tindak tanduk Capres dalam kesehariannya. Di sini saya menyebutnya “komentator abal – abal”. Dan yang lainnya ada pendukung fanatik yang sok menjadi kritikus tetapi dengan kritik – kritik yang menjatuhkan nama dari orang yang di kritiknya (sasaran kritik : lawan debat atau Capresnya). Inilah kelompok pendukung fanatik yang harus disebut dengan “kritikus destruktif”.
Melihat apa yang terjadi di masyarakat pro – kontra hari ini, mari kita bersama – sama melawan “Fanatisme” yang terjadi seperti di atas. Sudahi dukungan yang berlebihan ini terhadap para Capres tersebut, pun kita tidak dapat apa – apa dari fanatisme ini, malah kita menambah daftar musuh di dalam hidup kita. Mari mendukung para capres tersebut dengan nalar yang lebih logis lagi. Tidak perlu saling memfitnah, menjatuhkan, mendikreditkan siapa saja untuk memperjuangkan sesuatu yang kita sendiri tidak tahu nilai perjuangannya. Bukan lagi “debat kusir” tetapi Diskusi secara dialogis dan konstruktif, karena kita Saudara, karena kita Bangsa Indonesia.
Jember, 15 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H