Mohon tunggu...
Akhmad Sugiyono
Akhmad Sugiyono Mohon Tunggu... wiraswasta -

Manusia Biasa, bagian terkecil dari masyarakat Indonesia yang selalu menginginkan perubahan masyarakat hari ini menuju masyarakat madani

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karakter Pemilih 9 Juli 2014

30 Juni 2014   22:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:06 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Pilpres 2014 (sumber: http://img.okeinfo.net)"][/caption]

9 Hari lagi Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 akan segera berlangsung. Eskalasi politik Pilpres 2014 semakin mendekati babak final. Debat Capres-Cawapres tinggal sekali lagi. Masa Kampanye mendekati menit-menit akhir. Masyarakat terpolarisasi sebagai akibat dari perang verbal terbuka antara kedua tim sukses dan para pendukung fanatik. Dan 9 Juli menjadi hari yang menegangkan bagi kedua kubu, baik kubu Prabowo-Hatta maupun kubu Jokowi-JK. Dan 9 Juli menjadi pesta demokrasi bagi masyarakat sekaligus penentu nasib mereka 5 tahun mendatang.

Sebagai akibat dari konstelasi politik ke-kini-an dalam menyambut Pilpres 2014 ini, masyarakat terbelah menjadi beberapa bagian, khususnya masyarakat pemilih atau pemilik suara. Pilpres 2014 yang hanya menempatkan dua pasangan calon Capres-Cawapres yaitu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, membentuk karakter tersendiri di dalam masyarakat. Bentukan karakter inilah yang akan menjadi landasan bagi pemilih dalam menggunakan hak suaranya.

  1. Pemilih Loyalis, karakter dari pemilih loyalis ini adalah masyarakat yang mempunyai fanatisme tersendiri kepada Partai Politik (Parpol) tertentu. Kebanyakan pemilih loyalis ini adalah mereka-mereka yang menjadi kader atau non-kader dari partai yang sudah lama malang melintang di dunia politik Indonesia yaitu Golkar, PDIP dan PPP. Seiring semakin beragamnya Partai Islam sebagai kompetitor partai PPP, maka sangat sedikit loyalis disini, berbeda dengan PDIP dan Golkar yang sudah mengakar. Di dua partai ini masih cukup lumayan simpatisan yang loyalis. Maka latar belakang pemilih dalam memberikan hak suaranya bukan karena figur Capres-Cawapres, tetapi karena Parpol tersebut, sehingga dimanapun Parpol berlabuh, maka pemilih loyalis ini akan sama pelabuhan pilihannya dengan Parpol tersebut.
  2. Pemilih Pro-Prabowo, Sudah pasti pemilih pro nomer 1 ini adalah mereka yang fanatik dengan Prabowo. Tetapi latar belakang mereka sebagai orang yang fanatik dengan Prabowo hanya di dasari oleh kulit luar dari Prabowo saja, seperti yang sering di tampilkan oleh media dan beberapa promosi-promosi tentang figur Prabowo. Kebanyakan pemilih Pro Prabowo ini adalah kelompok orang yang secara tidak langsung tergiring opini media untuk menjatuhkan pilihannya kepada Prabowo, atau secara tidak langsung hanya partisan musiman yang terbawa euforia pesta demokrasi dalam negeri. Dan hanya segelintir dari mereka, yang benar-benar menjadi loyalis (bukan musiman) yang di dasari dengan figur Prabowo yang dilatarbelakangi dari dinas kemiliteran.
  3. Pemilih Pro Jokowi, pendukung fanatik Jokowi ini hampir sama halnya dengan mereka yang Pro Prabowo, mereka adalah masyarakat yang tergiring oleh opini pencitraan Jokowi selama ini. Patut di akui kemunculan Jokowi di Pilkada DKI Jakarta telah membuat kelompok masyarakat baru, yaitu Jokowi Lovers. Tetapi juga harus di akui jika kemunculan Jokowi di Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres 2014 ini merupakan By Design kelompok tertentu. Kesuksesan membentuk figur Jokowi yang merakyat dan suka blusukan membentuk pula kelompok masyarakat yang fanatis kepadanya. Umur dari fanatisme kelompok ini juga tidak akan lama, karena musiman dan di landasi denga figur instant yang latar belakangnya bukan karena faktor ideologis, hanya kulit luarnya saja.
  4. Pemilih Anti Prabowo, latar belakang orde baru dan peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) membentuk kelompok masyarakat pemilih baru, yaitu pemilih Asal Bukan Prabowo. Mereka akan memberikan hak suaranya kepada Capres yang paling berpotensi bisa menggagalkan Prabowo menuju RI 1. Karena kompetitor dari Prabowo hanya satu, maka sudah pasti menjatuhkan pilihannya kepada lawan dari Prabowo. Kelompok ini lebih mempunyai landasan sejarah dan masa lalu dalam menentukan hak pilihnya. Paradigma anti orde baru menjadi landasan dari kelompok ini untuk menghadang jalannya Prabowo menuju istana, mereka memilih menjadi partisan rival demi penghadangan tersebut. Dan pasti kelompok ini lebih mempunyai alasan yang kuat (faktor sejarah dan ideologis) dalam pengambilan keputusannya daripada kelompok yang musiman.
  5. Pemilih Anti Jokowi, faktor “batu loncat” dari Wali Kota Solo ke Gubernur DKI Jakarta hingga Capres RI di tahun ini turut membentuk kelompok anti Jokowi ini. Belum tuntas mengawal DKI Jakarta, yang sesuai dengan janjinya untuk 5 tahun mengabdi malah meloncat menjadi capres menjadi alasan tersendiri bagi kelompok ini untuk menjadi anti Jokowi. Selain itu asumsi sebagian masyarakat yang merasa Jokowi merupakan figur boneka yang di dandani (Pencitraan) sedemikian rupa juga menjadi faktor terbentuknya kelompok ini. Pencitraan yang semakin hari semakin berlebihan membuat faktor determinan kelompok ini semakin menguat, terbukti dengan elektabilitas Jokowi yang semakin menurun dibandingkan pada saat Pilkada DKI Jakarta. Pemilih ini, turut mewarnai proses pemilihan umum 9 Juli nanti.
  6. Swing Voter, pemilih mengambang atau yang belum menentukan pilihannya sampai saat ini turut mewarnai setiap perhelatan Pemilu dimanapun berada. Cenderung kelompok ini yang dijadikan objek untuk menarik simpati para Capres-Cawapres yang bersaing di pentas demokrasi Indonesia. Kelompok ini rata-rata lebih objektif dan rasional dalam memandang kedua kubu, baik Prabowo maupun Jokowi. Mereka para swing voter ini lebih memilih bilik suara sebagai saksi dalam menetukan hak pilihnya.
  7. Golongan Putih (Golput), kelompok golongan ini kemungkinan besar pada Pilpres 2014 kali ini sedikit dapat tertekan, di karenakan polarisasi di dalam masyarakat yang membentuk kubu-kubuan menjadikan atmosfer persaingan di dalam masyrakat menarik massa apatis ini. Tetapi bukan berarti golput ini akan lenyap begitu saja, prosentase penurunan Golput mengkin hanya kecil, karena pertarungan media yang merupakan faktor utama informasi tentang Pilpres 2014 ada disini. Tidak salah kemudian, jika penyakit apatisme di dalam proses demokrasi tetap menjadi ancaman yang berarti.

Jember, 30 Juni 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun