Memang secarik pagi telah dirobek paksa siang, tercecer di pekarangan langit cerah hingga ekspetasi indah yang sudah-sudah kini cuma bisaku pandang di sisa-sisa petang.
Indah, bukankah sangat jauh lebih indah ketika seikat gulma enceng gondok milik kita terlepas, lalu menjelma koloni bunga teratai kenangan. Sementara bila hidup se-istana kolam bersama pun belum tentu Tuan capung-capung penjaga menjanjikan selarik rasa tenang.
Kamu masih ingat tidak akan janji rembulan pada katak-katak langguk yang terkutuk di dalam tempurung lupa, Apa coba janjinya? Kenapa malah jadi mengedip-ngedipkan mata!!
Mungkin sudah terlalu lama aku menjadi penunggu kolam air mata sehingga keseringan menghirup oksigen derita; Menjadi terbiasa.
Sering pula menghela napas gerutu panjang dan mengembuskan terpaksa lewat goresan pena yang terus saja merutuki nasib ketika sendal jepit aksara selalu putus di pertigaan lembaran jalan; Tak jadi bertandang.
Sial, kenapa sih aku ini selalu saja kalah nasib!! Bukan, kamu itu hanya kalah bersyukur dan sering mengingat yang telah raib.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H