Termenung resah, Al, lelaki yang rambutnya mulai memutih, menatap sebuah foto di tangannya. Ia duduk di atas batu besar yang biasa ia tempati saat hatinya gundah. Setiap kali pikirannya bimbang, ia menghela nafas beratnya.
"Kamu laki-laki, Al. Jangan pernah meyerah!"
"Aku tak bisa, aku ..., aku sangat mencintainya," setelah menjawab, kembali Al menghela nafasnya.
Kusut, seakan tak bisa terurai, pikiran Al tak mampu memecah kebuntuannya.
"Cintamu konyol, Al. Seakan tak ada lagi wanita di dunia ini."
"Kamu tak mengerti apa yang kurasakan. Jangan samakan aku dengan yang lain," lirih suara Al, ia masih membela diri.
"Berpikirlah rasional, Al. Jangan negatif."
Al menundukkan mukanya. Sementara, semilir angin mengoyang ilalang di sekeliling batu besar itu. Mungkin Al bertanya padanya, dan ilalang itu mengeleng, pertanda tak setuju atau tak tahu.
Hening, tak ada suara, hanya alunan bisikan lembut Sang Bayu mengusik telingga Al. Ia menikmati dengan pandangan menerawang jauh.
"Pulanglah, Al. Selesaikan masalahmu. Jangan biarkan berlarut, lihatlah apa yang terjadi di rumahmu."
Al tak menjawab, perlahan ia bangkit sambil meraih sehelai bunga ilalang kemudian digigit tangakinya.