Matanya merah menyala, emosinya meledak, membuat tampak menyeramkan. Yang sebelumnya lemah--lembut, penuh sahaja dan selalu membuat rasa nyaman siapa pun yang melihatnya, seketika lenyap disapu amarahnya. Seperti singa betina yang terluka, ia melampiaskan dengan dasyat.
Hatiku menggigil saat menatap mata itu. Entah berapa derajat panas yang membakar dada perempuan di hadapanku ini. Aku tak mampu menebak tekanannya.
Beringsut, aku palingkan pandangan pada meja di hadapanku. Diam dan mendengarkan ledakan yang dasyat dan menyimak apa maksud yang terkandung dalam setiap katanya. Sesekali aku melirik wajah perempuan itu yang masih memerah.
Isaknya mulai pecah, perlahan air bening itu menyiram api di dadanya. Ingin aku mengusap, tapi, nyaliku tertikam amarahnya yang masih berkobar.
"Aku mengerti perasaanmu, El. Bersabarlah, pasti ada jalan terbaik buat masalahmu," kataku lirih, mencoba meredakan emosinya.
"Sampai kapan, Mas? Sampai kapan aku seperti ini?"
Aku terdiam. Tak ada jawaban dalam pikiranku.
"Apakah kau akan merasa bahagia bila menikah dengannya, El?"
"Entahlah," El menghela nafas sambil mengusap pipinya.
Semakin sepi, El tertunduk, seakan ledakan amarah tadi masih belum menuntaskan pesasaan yang menyesak dadanya. Ada sesuatu, dan harus di keluarkan segera agar hatinya merasa lega.
Kabut mulai menyuramkan suasana, sinar lapu di taman tampak meredup. Demikian juga dengan perasaanku. Aku menatap wajah El, amarahnya telah hilang. Masih cantik, bahkan semakin memesona walau mendung itu masih menaunginya.