Hujan tiba-tiba mengguyur kawasan pedesaan yang masih asri itu. Bukan hanya itu, petir menyertainya, menyambar-nyambar seolah mencari mangsa.
Lelaki paruh baya dan perempuan remaja yang dalam perjalanan mencapai puncak bukit di sebelah desa tersebut harus terbirit-birit agar tak basah. Ada sebuah bangunan, menyerupai villa, atau sebuah rumah joglo, mereka menyingkir ke bangunan tersebut.
Aku mengikuti langkah mereka, berteduh di bangunan tua itu. Masih kokoh, tapi tak terawat karena dibiarkan dalam keadaan kosong.
Di puncak bukit ada sebuah candi, peninggalan kerajaan kediri. Walau sudah masuk kawasan cagar budaya, tapi tak banyak yang tahu, atau memang keberadaan candi kurang menarik minat wisatawan. Hanya sesekali orang luar kota yang berkunjung, itu pun mereka hanya mengadakan penelitian, bukan wisatawan.
Mungkin juga karena letaknya yang di puncak bukit, jalan pendakian yang terjal dan sulit, membuat orang enggan mengunjunginya. Aku kebetulan berkunjung ke rumah saudara di desa itu, penasaran dengan cerita para saudara, aku ingin melihat dari dekat.
Lelaki dan perempuan itu seperti sepasang kekasih, terlihat dari sikapnya yang mersra. Agak janggal juga, menginggat perbedaan usianya. Selayak orang dimabuk asmara, kepayang, tak peduli sekitarnya, sikap mesra, saling manja, sesekali bertingkah genit, mengairahkan hasrat birahi.
Mereka tak menganggapku ada, walau langit semakin gelap karena kumpulan awan hitam semakin menebal, mereka tak acuh, asal berdua, tak ada yang perlu dicemaskan.
"Pintunya bisa dibuka, Sayang. Kita masuk, yuk," Si Lelaki mengajak masuk setelah mengecek pintu.
Si Perempuan tanpa menjawab langsung masuk, mendahului Si Lelaki. Aku hanya memerhatikan mereka dari sudut lain.
Suara-suara mesra mereka terdengar dari luar. Semakin lama semakin lirih, ah, bikin merinding, apa lagi dingin menusuk kulitku.
"Ah..., dasar pada ganjeng, cuaca menyeramkan gini, masih saja sempat," gerutuku sedirian.