Karya Widya Merpati Suwito dan Pairunn Adi
Pov Kartika, pada pukul 18.00 WIB
Sekali lagi kutatap bayangan pada cermin besar di hadapanku. Nice, sudah rapi dan tampak perfect seperti yang kuharapkan. Mata Nania memang jeli. Pilihannya selalu tepat dan belum pernah gagal untuk membuatku tampil percaya diri. Tidak rugi rasanya punya adik pemilik butik. Paling tidak, untuk keperluan tertentu aku bisa mendapatkan advice gratis dan bisa ambil baju dulu di tempatnya, bayarnya belakangan.
"Maumu yang seperti apa?" Dia menatapku seksama. Selalu seperti itu pertanyaan Nania tiap kali aku datang ke butiknya dan minta dipilihkan baju yang cocok.
"Yang bisa membuat seorang penyair terkesan."
"Penyair?" tanyanya dengan nada tak percaya. Pandangan kami bertemu. Kulihat kedua alis tebalnya nyaris bersinggungan.
"Yup!" Aku mengangguk seraya bangkit dari duduk, berjalan menghampiri deretan baju yang tergantung manis pada kapstok. Sejujurnya itu kulakukan untuk menghindari tatapannya yang menuntut penjelasan. Persetan apa pun yang sedang bergumul di dalam pikirannya. Aku sedang tidak ingin membahasnya.
"Sejak kapan?" Nania bertanya lagi, beberapa saat kemudian. Sebenarnya tak mengherankan juga jika sekarang dia menjadi penasaran. Sebab dia tahu betul seperti apa seleraku.
"Jadi yang cocok baju yang bagaimana?" Aku berbalik badan, melihat kembali padanya yang masih terbengong-bengong di tempatnya duduk.
"Ish ..., sejak kapan kau tak mau membagi cerita padaku?" gerutunya sambil berdiri dan mulai mencari-cari. Kukulum senyum. Geli rasanya melihatnya melakukan apa yang kuminta dengan mulut yang menggerutu tak jelas.
Aku tersentak. Sesuatu di dalam genggamanku tiba-tiba bergetar. Menggulung layar tak kasat mata yang sesaat lalu tergelar dan memutar kembali slide peristiwa pagi tadi di Kawai Boutique--nama butik milik Nania. Sebuah pesan WhatsApp masuk. Kusentuh gambar pesawat telpon dalam lingkaran berwarna hijau pada layar handphone.