Semisal angin, ia tak pernah ingin beringsut dari sudut ke sudut dunia, semisal hujan, ia tak ingin jatuh menimpa bumi. Kalau cinta telah mengajarkan kasih, tak pernah ada rupa. Kadang, pemahaman yang salah, seribu rupa terbentuk.
Ketika merah luka tersaput di langit, sangat kontras dengan hijaunya sendu, pun birunya rindu yang mencuatkan ego dalam bingkai rakasasa durjana. Masihkah ada yang sesempurna Sang Pencipta?
Pernah air berhenti mengalir, angin berhenti bertiup ketika melihat Adam pertamakalinya melakukan dosa, jatuh cinta yang menjadikannya diturunkan ke bumi.
Mereka tersentak ketika mendengar teriakan Hawa di balik rumpun ilalang. Sejak itu mereka bergerak lagi, mengebara, mencari ujungnya dunia dan tak pernah kembali.
"Kau tak pernah mengerti, setiap inci sepiku, setiap tetes mimpiku, mungkin di matamu salah, mungkin di matamu aku hanya sebongkah batu, tapi, Wan, ini terjadi bukan atas kehendakku," perempuan berkerudung itu meraba hatinya yang kadang terasa perih.
Sejak awal, muasal dosa adalah cinta, tapi ia bagai anggur, bagai candu yang selalu diinginkan. Entah mengapa tak pernah bisa menolak ketika ia hadir.
"Seumpama ada cinta yang melebih cintanya Romeo kepada Juliet, aku akan meminum racunmu agar melegenda, Wie."
***
Malang, 9 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H