Hari ini, aku bertengkar dengan matahari. Ia merampas mimpiku, semalam, ketika sedang bercumbu denganmu. Padahal, mimpi itu untukmu, yang pernah aku janjikan itu.
Kuharap kau tak marah, Dik. kalaupun marah, marahlah pada waktu. Waktu yang telah mempermainkan kita. Aku pun juga jengkel padanya.
Dik, ketika waktu itu, harusnya tak memberi cerita. Tapi, entah mengapa semua berjalan tanpa sketsa. Sampai kini aku masih menunggu, di gerbang kota itu, ketika kau tinggalkan.
Pada sepi, selalu kubercerita rindu. Pada angin selalu kucari kabar. Pada malam selalu kuberkata menunggumu.
Tapi, Dik, itu sia-sia. Aku tahu itu, tapi hati tak mau mengerti. Haruskah selamanya bermimpi? Karena kau jauh di sana dalam penjara janji, terikat selembar kertas yang distempel KUA.
Mau apa lagi, tak mungkin melipat jarak, tak mungkin bisa. Tapi, tak apalah, cinta akan selamanya cinta, aku akan menunggumu di kehidupan berikutnya.
Di batas kota
Bulan separuh pergi
Tinggalkan resah
Sepasang embun bisu
Sepi memagut rindu
Jalanan lengang
Kunang kunang menangis
Sesali rasa
Menanti bara ungun
Tanpa sebatang kayu
Malang, 7 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H