Lelaki itu adalah yang terindah yang berikan Tuhan kepada Rus, sekaligus penebusan sebuah dosa karena sakit dan luka yang ia berikan.
Lelaki itu datang sebagai dewa penolong saat Rus terpuruk, dalam keterputus--asaan, bahkan nyaris mengakhiri hidupnya. Uluran tangan, perhatian, dan limpahan materi Rus terima tanpa curiga. Memang suatu keterpaksaan, ia tak punya pilihan lain.
Entahlah, sebuah anugerah, atau sebuah cobaan, Rus tak memahami apa yang ia rasakan. Dilema berkepanjangan, antara sakit, tertekan batin dengan rasa hutang budi yang ia terima.
Untunglah air mata itu pemberian Tuhan, hingga tak pernah habis walau setiap saat ia tumpahkan. Malam, baginya adalah hujan yang mengiris dingin, membelah sepi, kemudian membasuh luka yang abadi.
"Mengapa kau masukkan aku ke dalam sangkar materimu, El? Tidakkah kau tau, itu sama artinya dengan membunuhku secara perlahan? Apa yang kau mau dariku?" Tanya Rus pada dirinya sendiri.
Ia berusaha mencari jawaban pada sepi, pada malam yang sunyi, berharap ada solusi untuk memecahkan masalah yang menimpanya.
"Apa yang selalu kamu lamunkan, Rus?" Suara Selsa membuyarkan lamunannya.
Karena melamun, Rus tak mendengar langkah Selsa memasuki kamarnya.
"Bukan apa-apa, Bu. Hanya merasakan kesia-sian hidup yang aku jalani."
"Bila sudah garisNya, jalani dengan iklas, pasrah dan selalu berdoa, Nduk."
"Iya, Bu. Seandainya ayah masih ada, tentu aku nggak harus seperti ini."