Mohon tunggu...
Paiman
Paiman Mohon Tunggu... Pustakawan - Karyawan

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Toleransi Tak Semudah yang Dibayangkan

11 Desember 2022   22:50 Diperbarui: 11 Desember 2022   23:09 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sering dengan mudah mengatakan sudah bertoleransi, memang untuk melakukannya tak semudah mengatakan. Toleransi bisa diartikan sikap membiarkan, mengakui, serta menghormati apa yang menjadi keyakinan orang lain, tanpa memerlukan persetujuan (Imam Musbikin: 2021).  Mengajarkan toleransi tak semudah yang dibayangkan. Bagaimana tidak, ketika orang tua memaksa anaknya untuk berpakaian sesuai dengan keinginan orang tua tanpa menanyakan nyaman atau tidak, suka atau tidak apakah ini bisa dianggap dengan bertoleransi terhadap pemikiran anak?. Ketika seorang guru mengajarkan materi ajar khususnya agama yang sesuai dengan kurikulum yang ada tanpa memberikan gambaran akan perbedaan, apakah ini tidak dikatakan menggeneralisir sebuah aliran saja?.

Orang tua yang memaksakan kehendaknya dengan harapan agar sang anak taat dan patuh, tanpa disadari telah merenggut kemerdekaan diri seorang anak. Bisa jadi anak tersebut menjadi baik sesuai dengan tahapan yang sudah direncanakan orang tua sampai anak tersebut dewasa, bisa jadi sebaliknya yakni merasa takut ketika mengambil keputusan ketika orang tuanya tidak ada karena kebiasaan yang selalu disuguhi, dilayani, disiapkan serta yang selalu menunggu perintah oleh orang tuanya.

Demokrasi setidaknya harus dibiasakan sejak dini, biarkan mereka memilih bajunya sendiri, untuk menumbuhkan rasa percaya diri atas pilihannya serta memimpin dirinya. Diwaktu tidur, anak justru mengambil baju seragam sekolah, jangan dilarang, tetapi bertanya mengapa memilih?. Terkadang sang anak memiliki jalan pikiran yang berbeda, bisa jadi anak tersebut bahagia dan bangga ketika memakai baju sekolah. 

Cerita singkat ketika anak ditanya, "Buah apa yang dilarang untuk dimakan oleh Nabi Adam as ketika di surga.?". Dengan polosnya anak menjawab "buah Naga". Sontak jawaban tersebut dianggap salah-salah, karena yang benar adalah buah khuldi. Dari jawaban tersebut justru muncul pertanyaan, ada apa dengan buah Naga, apakah ada yang aneh dari buah tersebut sehingga anak menancap buah tersebut pada pikirannya dengan  mengelompokkan buah yang dilarang? Mungkin tidak suka atau pernah dilarang oleh seseorang ketika mau memakannya atau anak tersebut pernah melihat film atau video yang memberikan gambaran tentang bahaya buah Naga (pada dasarnya buah memiliki bahaya pada kondisi kesehatan tertentu), atau mungkin bisa jadi cara belajar yang kurang tepat. Tetapi apa yang diucapkan oleh seorang anak biasanya polos dari apa yang mereka lihat, dilakukan, dan dirasakan. 

Berbicara terkait bahan ajar, merujuk pada materi pelajaran agama Islam, bisa kita amati bahwa buku yang ditulis dan diajarkan kepada siswa hanya mencakup Mazhab mayoritas. Mazhab minoritas dipaksa untuk ikut mazhab mayoritas, seakan ini memberikan gambaran secara politik bahwa bahan ajar disekolah dicetak untuk menyeragamkan aliran tertentu. Indonesia bukan negara agama, Islam memiliki banyak aliran atau mazhab, sangat wajar ketika Indonesia dari Merauke sampai Sabang khususnya umat Islam memiliki perbedaan mazhab. Menjadi terkesan aneh ketika bahan ajar hanya merujuk pada mazhab tertentu.

Bagaimana mengajarkan toleransi kepada anak?. Hemat saya, demokrasi itu penting, hargai pendapat anak walaupun mungkin kita anggap salah, tanyakan dahulu alasannya, ajak diskusi kalau memang itu tidak sesuai, karena apapun pilihan anak, mereka memiliki alasannya. 

Bagaimana mengajarkan materi ajar kepada siswa (khususnya agama Islam)?. Hemat saya, siswa yang sudah bisa shalat, bisa membaca Alquran tak perlu diajari. Biarkan mereka shalat dengan cara yang diajarkan oleh orang tuanya, walaupun mungkin bacaan (Sunnah), cara takbir berbeda dengan kita. Berikan gambaran perbedaan dalam setiap hukum, karena hukum dalam Islam tidak hanya satu, semisal yang membatalkan wudhu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun