Pernahkah kalian menikmati makan minum di warung, yang penjualnya tidur sepanjang ia jualan?
Baiklah. Tidak benar-benar tidur hanya saja ngiler. Tapi lihatlah di angkringan: si Mas Bro yang tubuhnya besar sehat bagai pegulat profesional itu duduk terkunci di antara meja-meja jualannya, dan begitu seterusnya dari sore hingga subuh. Ia meladeni kalian sambil terkantuk-kantuk sejak menit-menit pertama. Kalau kalian bilang: Teh nasgithel satu, Mas! {nasgithel itu panas legi kentel}, ia spontan mengangguk tanpa ekspresi dan dengan mata yang selalu hampir terpejam. Ia lalu meraih gelas dan sendok, mengambil gula dan memasukannya dengan mata terpejam pula. Dalam kantuknya ia lupa sudah berapa sendok gula yang dimasukkan ke dalam gelas kalian. Sehingga kalian akan beruntung menyaksikan gula hampir memenuhi separo gelas the kalian. Lantas ia meraih ceret air panas dan mengucurkannya ke dalam gelas-juga sambil terkantuk-kantuk-----sehingga air panas itu akan tumpah dan menciprat ke pahanya , dan kagetlah ia. Di angkringan kalau kalian mau makan tinggal meraih sendiri dan ini merupakan kesempatan yang sangat terbuka untuk berbuat korupsi. Kalian bisa bilang menghabiskan nasi kucing empat bungkus meskipun kalian sesungguhnya telah memakan sepuluh bungkus.
Juga makanan-makanan khas angkringan yang lainnya. Si Mas Kantuk ini sama sekali tak keberatan. Baginya berjualan tidak persis sama dengan berdagang, apalagi konsep dagang yang dipahami oleh pengertian profesionalisme kita yang modern. Berjualan itu menjalani hidup, sama dengan buang air atau sembayang di hari minggu. Yang penting bagaimana ia menjalani ibadah itu dengan jujur, ikhlas dan apa adanya. Perkara kita korupsi, bukan urusan dia.
Dengan gula hampir separo gelas, kita bisa tambah air lagi dan lagi, sehingga kita memerlukan duduk hampir separo malam di situ. Itu namanya “Jog”. Gelas kita jog dan jog lagi dengan air the baru. Kita bisa membeli kebahagiaan nongkrong beberapa jam-kalau perlu sampai pagi-cukup dengan beberapa krincingan rupiah.
Saya dan kawan-kawan bahkan hampir semua seniman punya kebiasaan mampir nglaras {santai, relaksasi} di malam hari kota Yogya. Kita tahu makanan dan minuman Yogya itu manis-manis. Orang Yogya tak suka kepahitan. Kalau ada yang pahit ya bagaimana caranya dimanis-maniskan. Itulah sebabnya kebudayaan Yogya sangat eufimisme (ahli dalam menutup-nutupi sesuatu yang buruk dengan tabir yang baik, menutup derita dengan tertawa.)
Pasti kita semua tak suka kepahitan.
Tapi orang-orang Yogya punya takaran lebih.
Yang manis-manis bukan hanya makanannya, tapi juga pola ungkap budaya. Itulah sebabnya ada fenomena “lesehan” : suatu “teater” untuk menikmati kehidupan.
Ngasem, Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H