Mohon tunggu...
pahlawan bertopeng
pahlawan bertopeng Mohon Tunggu... -

pahlawan bertopeng

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pemilu, Dialektika dan Kompasiana

7 April 2015   11:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:26 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Maksud hati menulis judul sesuai buku legendaris Tan Malaka, apa daya akhir suku katanya tidak berima yang sama. Ini bukan tulisan yang terlalu serius, hanya mencoba mencermati fenomena yang ada di Kompasiana, mungkin sejak berbulan lalu ketika Pileg dan Pilpres dilaksanakan. Saya yang masuk belakangan mungkin hanya mendapat cerita dan pemahaman dari Kompasiner senior yang menceritakan bagaimana 'pertempuran' antar kubu yang terjadi saat itu sedemikian seru, yang kemudian agak mereda setelah pemenang Pilpres ditetapkan. Hal ini tidak terlepas dari sikap legowo yang ditunjukkan oleh Prabowo dan kubu KMP untuk hadir dan mendukung pemerintahan Jokowi JK.

Namun kemudian, pemerintahan ini sepertinya banyak melakukan kesalahan tanpa tekanan (unforced error), seperti yang ditunjukkan dalam pengangkatan Kapolri yang berlarut-larut yang terkesan malah bermusuhan dengan PDIP sebagai partai pengusungnya, kemudian seolah tidak memiliki pertimbangan yang matang dalam memutuskan berbagai kebijakan yang berimplikasi pada kenaikan harga dan beratnya beban rakyat. Terakhir, pemerintah sepertinya seolah membangunkan macam tidur, dengan mengacak-acak partai-partai yang berafiliasi kepada KMP, seperti yang terjadi pada PPP dan Golkar. Fenomena-fenomena ini akhirnya membangkitkan sentimen negatif kepada pemerintah, bukan hanya dari orang-orang yang dari dulu memang tidak memilih Jokowi JK, namun juga dari mereka yang dulu begitu mengagungkan mereka.

Fenomena ini dapat juga kita cermati di Kompasiana. Secara garis besar terdapat 3 blok besar, yaitu mereka yang pro pemerintah, netral dan kontra, tentu dengan mudah kita dapat mencermati bagaimana isi dari masing-masing blok tersebut melalui tulisannya. Namun demikian, dapat kita temui juga Kompasioner yang cukup ekstrim dalam mendukung pemerintah. Sikap-sikap seperti inilah yang kemudian seperti menemukan imbangannya dengan hadirnya Kompasioner yang menentang dengan ekstrim. Akibatnya seolah terdapat blok pemuja tanpa batas dan blok pembully tanpa peri kemanusiaan.

Kedua-duanya sebenarnya sama-sama dalam posisi tidak enak, karena sesuatu yang ekstrim tentu sebenarnya menetang logika dan rasa. Mereka yang memuja tanpa batas cenderung mengabaikan nalar yang rasional, mengharapkan bayangan-bayangan indah yang disusunnya sendiri menjadi kenyataan.  Sebaliknya mereka yang menentang cenderung mengabaikan perasaan, hanya menilai dari sisi negatif yang tentunya menimbulkan rasa tidak nyaman bagi dirinya sendiri.

Namun menurut saya, inilah hidup yang harus dijalani. Ada dialektika, ada dialog, ada respon, dan selanjutnya berputar terus hingga menemukan titik akhirnya. Saya cukup senang dapat turut berdiskusi di blok keroyokan ini, namun tentunya dengan semangat untuk berdialektika dan menemukan kebenaran dan kebaikan bagi semua, Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun