Mohon tunggu...
sudahsore.com
sudahsore.com Mohon Tunggu... Lainnya - Coram Deo

pembayar pajak, rakyat biasa...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Laporan Harta Kekayaan-Kenapa Takut Terbuka?

20 September 2022   13:08 Diperbarui: 20 September 2022   13:57 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagai pejabat publik, yang fasilitas dan penghasilannya dibayar oleh negara dari uang pajak yang dikumpulkan tentu ada konsekuensinya. Salah satunya adalah membuka kepada publik harta kekayaannya. Laporan harta ini termasuk juga kekayaan pendampingnya-suami atau istri dan anak-anak yang masih dalam tanggungannya. Konsekuensi logis ini diatur dalam UU 28 tahun 1999 dan berlaku bukan untuk semua pegawai negeri, melainkan hanya untuk penyelenggara negara.

Siapa itu penyelenggara negara? kalau di tingkat pemerintah daerah kabupaten/kota, mereka adalah kepala daerah, sekda, kepala dinas dan anggota DPRD. Demikian juga untuk tingkat provinsi, gubernur, sekda, kepala dinas dan DPRD. Mereka ini wajib menyerahkan LHKPN selama masih belum pensiun setiap tahun sekali. Kalau di tingkat pusat, Menteri, dirjen dan sekjen plus para direktur atau disebut biasanya pejabat eselon 2. Direksi dan komisaris BUMN pun termasuk mereka yang wajib menyampaikan LHKPN setiap tahun. Anggota DPR tentu saja, seluruh hakim dan jaksa, demikian juga para penyidik pada lembaga aparat penegak hukum. Jadi spirit yang terkandung pada UU 28/1999 sebagai dasar bagi transparansi pejabat publik sudah sangat baik. 

Bahkan dibuka juga kesempatan jika pimpinan lembaga menginginkan perluasan. Artinya selain yang disebut UU maka boleh diminta pejabat publik pada tingkatan yang lebih rendah untuk juga wajib lapor harta kekayaan. Beberapa lembaga bahkan perluasannya mencakup seluruh pegawainya, tidak pandang jabatan. Misalnya Komisi Pemberatasan Korupsi, seluruh pegawai yang terdaftar harus menyampaikan LHKPN

Sayangnya, UU 28/199 ini tidak mencantumkan sanksi yagn keras bagi mereka yang sengaja mangkir alias tidak lapor dengan lengkap. Jadi sanksinya hanya administratif dari atasan saja. Itu yang membuat ada pejabat negara yang secara terbuka membangkang. Tidak melaporkan harta kekayaannya. Sayang seribu sayang, tidak ada tindakan apapun dari atasannya. Jadi masyarakat ragu, apa benar komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia ini ada dan masih ada. Karena seharusnya ini dimulai dari penegakan kewajiban transparansi harta kekayaannya. Tidak tergantung pada ada tidaknya sanksi.

Kenapa UU tidak memuat sanksi yang tegas dan menghukum? konon sejarahnya pada awal reformasi satu paket dengan UU 28/1999 ini sudah disiapkan sanksi pada UU lain yaitu perampasan harta. Jadi, kewajiban lapor pada UU 28/1999 kalau mangkir tersedia sanksi di UU perampasan harta. Karena yang terakhir belum terbit hingga kini, jadilah UU 28/1999 'berjuang' sendirian agar dipatuhi. 

Bandingkan di US untuk pejabat yang tidak menyampaikan laporan harta langsung dikenakan denda uang. Bayangkan malunya didenda sebagai pejabat yang mau menikmati fasilitas dan gaji dari masyarakat, tapi tidak mau terbuka untuk hartanya ke masyarakat. Di Indonesia sangat tergantung pada atasannya.

Pada beberapa lembaga, sekali lagi terlepas dari sanksinya, bila pimpinan lembaganya keras dan tegas, mewajibkan LHKPN ini untuk dilaporkan tepat waktu, maka bisa kok tercapai kepatuhan 100%. Bahkan pada beberapa instansi dijadikan syarat untuk promosi jabatan. Nah, sekali lagi pencegahan korupsi memang tergantung pada komitmen para petinggi lembaga. 

Problem lanjutan sesudah kepatuhan adalah kebenaran isinya. Dari 350 ribuan laporan per tahun yang artinya tingkat kepatuhan pejabat sudah mencapai 97% untuk penyampaian laporan, kini issuenya bergeser ke isi laporannya. Kebenaran harta yang dilaporkan.

Ini menjadi issue krusial karena kepatuhan saja tidak cukup. Kebenaran isi laporan mencerminkan bahwa seluruh harta sudah dilaporkan. Selanjutnya asal usul dari harta tersebut.  Tentu tidak dilarang pejabat publik memiliki harta yang melimpah. Beberapa pengusaha sekarang menjadi pejabat publik, tentu saja hartanya banyak. Demikian juga pejabat publik yang aslinya memang keluarga kaya. Banyak properti berupa tanah dan kini harganya melambung. Semua itu bisa membuat laporan hartanya melonjak drastis. Jadi LHKPN yang bernilai tinggi bukan haram, sepanjang dapat diterangkan asal usul dan kewajarannya.

Untuk itulah KPK melakukan pemeriksaan terhadap isi dari laporan harta. Umumnya yang dilakukan adalah melakukan cross-check ke lembaga lembaga keuangan seperti bank misalnya. untuk mendapat rincian transaksi perbankan, asuransi dan sejenisnya di lembaga keuangan di Indonesia. Demikian juga pengumpulan data untuk kendaraan yang dimiliki wajib lapor LHKPN dari kantor samsat seluruh Indonesia, properti dari kementerian ATR/BPN dan sebagainya. Untuk itulah para wajib lapor melampirkan surat kuasa. 

Mengetahui pentingnya peran surat kuasa ini, beberapa pejabat publik lagi lagi main mata. Mereka menyampaikan LHKPN setiap tahun, karena tahu bahwa masyarakat bisa melihat kepatuhannya dari website e-announcement. Namun tidak melampirkan surat kuasa. Akibatnya oleh KPK dikategorikan sebagai laporan belum lengkap dan tidak bisa tayang untuk publik. kira kira bila disebutkan kepatuhan mencapai 97% untuk 350 ribuan wajib lapor maka yang lengkap berkisar pada 90% an saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun