Mohon tunggu...
Yani Boediantono
Yani Boediantono Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang Perempuan Biasa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tentang Paguyuban Masyarakat Tanpa Partai

24 Mei 2011   10:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:17 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia tidak lahir dari tanah. Darahnya tidak mengalir dari mata air di kaki gunung. Rohnya tidak ditiup oleh Sang Pencipta di atas sana. Dan seluruh takdirnya di masa lalu, kini, dan masa depan tidak tertera dalam kitab-kitab suci masa lampau. Indonesia adalah anak sejarah yang senantiasa mendekap dalam pelukan sang bunda kala yang mengandung dan yang membesarkannya. Sebuah ikatan yang membentuk wajah dan watak Indonesia yang penuh dinamika dan diwarnai oleh ambivalensi. Ikatan itu cenderung dipengaruhi oleh keterikatan persaudaraan, keterikatan lingkungan, keterikatan kedaerahan yang dalam bahasa rakyat disebut Paguyuban. Paguyuban sering diartikan sebagai ikatan kekerabatan tanpa kepentingan politik & kepentingan ekonomi. Karena dasar dari paguyuban adalah solidaritas atau gotong-royong. Saat partai2 politik gagal mengemban aspirasi kaum melarat, maka partai2 politik itu pada hakekatnya tak lagi memiliki akar rumput yang solid sbg basis pendukungnya, dan itu berarti partai politik itu sedang menuju kebinasaannya. Kita ada diluar sistem, sebagian dari kita bukan hanya kecewa, tapi mungkin sdh muak dgn akrobat2 tingkah para politisi dan partai politik yang ada. Maka disinilah kita, suatu komunitas tanpa sekat2 idiologi, tanpa sekat2 suku, agama, ras, aliran & tanpa sekat2 kepentingan, tapi tetap dapat berbuat sesuatu demi Indonesia yang lebih baik. "Jangan sampai kita terjebak pada arena yang dihuni para penjahat yang sedang berlomba membangun peradaban jahat tanpa sedikit pun merasa jahat, karena cahaya tak pernah muncul di kegelapannya. Juga jangan terjebak pada arena terang benderang yang dihuni orang yang merasa dirinya patuh pada Tuhannya, lalu membangun peradaban "cahaya" dari kegelapan keangkuhan spiritualnya". Salam Juang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun