Menemukan Darma dalam Banjir Informasi
Hidup bersama membutuhkan setiap anggotanya untuk melaksanakan kewajibannya dalam melaksanakan kepentingan umum. Setiap anggota masyarakat memiliki kewajiban utama untuk mengupayakan keadilan dan kesejahteraan kota dan tanah airnya. Hidup bersama dalam dunia maya dan nyata sejatinya membutuhkan sikap yang mengutamakan kepentingan hidup bersama. Sikap altruis harus mengatasi natur kita yang cenderung bersikap egois.
Hidup bersama dalam dunia maya yang anonim memang cenderung mendorong individu untuk kurang bertanggung jawab. Popularitas melalui sensasi viral sering membutakan individu untuk mengekang hasrat dan emosinya. Komentar yang serampangan dan sarkastik lebih mudah ditemukan di jagad maya daripada dunia nyata. Individu dalam dunia nyata umumnya tidak terlalu berani berkomentar serampangan tanpa pertimbangan etis.
Masyarakat Indonesia yang beradab tentu sangat menghargai darma. Darma dalam pengertian KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) merupakan kewajiban, tugas hidup, kebajikan. Tiap profesi memiliki sumpah atau janji yang sejatinya merupakan kewajiban. Prajurit TNI memiliki sumpah, yaitu sapta marga. Profesi dokter memiliki sumpah dokter yang disadur dari sumpah Hipokrates yang dikenal sebagai bapak kedokteran. Organisasi yang bukan perhimpunan profesi sekalipun memiliki darma yang mengikat setiap insan yang tergabung di dalamnya. Pramuka yang melaksanakan kegiatan kepramukaan yang bersahaja memiliki dasa darma yang begitu mulia.
Mengatasi Banjir Informasi
Masyarakat Majapahit sangat menghargai sumpah mereka. Hal itu dapat dijumpai dalam Kitab Kutara Manawasastra. Dalam jurnal Accounting and Finance Review (2016) dijumpai tulisan Novrida Qudsi Lutfillah dkk. yang mengungkap praktik hutang-piutang pada masa Majapahit (1350 Masehi). Masyarakat Majapahit sangat menjunjung tinggi sebuah sumpah. Mereka sangat serius dengan sumpah yang mereka ikrarkan karena harus dipertanggungjawabkan langsung kepada Tuhan. Orang yang menyangkal pawitan (surat hutang) dan menagih hutang tanpa dasar yang kuat dinilai sebagai orang yang tidak mengenal darma. Pihak kreditur dan debitur yang terlibat dalam prahara hutang-piutang tersebut akan diperhadapkan kepada raja. Raja memerintahkan mereka untuk bersumpah kepada Tuhan.
Infodemi atau banjir informasi pada masa pandemi ini sangat memprihatinkan. Segudang informasi masuk dalam pesan instan di telepon pintar kita. Informasi tersebut berisi obat alternatif mengatasi covid-19, kiat meningkatkan imunitas, dan yang paling mengerikan adalah sejumlah berita bohong terkait covid-19. Infodemi dalam jagad maya menghujam akun media sosial kita tanpa ampun. Informasi dan berita daring yang mengandalkan kecepatan semata-mata tanpa melalui proses jurnalisme yang ketat akan menciptakan kegaduhan dan kekalutan dalam ruang publik. Jutaan berita bohong atau hoaks tersebut tidak dapat dibendung. Otak neo-cortec kita seolah dipaksa untuk memercayainya.
Kita belum dilatih secara terampil untuk melek media dalam abad informasi ini. Logika dalam croc brain seolah lumpuh karena tidak beri ruang memadai untuk memeriksa satu demi satu tiap informasi seputar pandemi covid-19. Opini publik mudah diombang-ambingkan dengan mudah jika nalar mereka biasa terpapar oleh berita cepat saji dan berita sensasional. Cukup miris jika oknum dokter dan sejumlah pesohor tanah air masuk dalam pusaran hoaks. Perang opini tersebut harus dimenangkan oleh akal sehat. Namun, akal sehat dalam situasi infodemi dan pandemi mendapat cobaan besar.
Indonesia memang masuk dalam sorotan Digital News Report karena tingkat penetrasi internet di Indonesia pada tahun ini sangat fantastis, yaitu mencapai 71% dari total 276 juta penduduk. Ironinya adalah kepercayaan publik terhadap berita tergolong rendah, yaitu hanya 39%. Kemauan masyarakat untuk membayar demi mengonsumsi berita hanya 19% menurut laporan Prof. Janet Steele dari George Washington University (Ignatius Haryanto, Kompas, 16/7/2021).
Ada tiga hal yang dapat ditempuh untuk mengatasi infodemi.
Pertama, bersikap skeptis. Sikap yang meragukan segala informasi yang menerpa membuat kita tetap siaga terhadap informasi hoaks yang cenderung bombastis dan sensasional. Kedua, bijak berliterasi. Setiap informasi yang bukan dari media arus utama cenderung mengedepankan kecepatan dan mengorbankan akurasi data perlu diverifikasi. Media cetak, media televisi, media berita daring berbayar yang diasuh media cetak kredibel layak dijadikan rujukan utama.