Hostilitas atau sikap mencurigai tamu atau "orang asing" dapat menjadi ancaman disintegrasi bangsa jika politik identitas yang serakah itu berhasil mendapat legitimasi yang lebih luas---tidak hanya lingkup pilkada, tetapi mencapai skala nasional. Indikasi ancaman hostilitas dapat ditelusuri jika kelompok mayoritas merasa paling berhak memegang singgasana.Â
Kelompok minoritas yang menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia justru dianggap orang asing dalam pandangan hostilitas. Ancaman hostilitas tersebut selalu bekerja dengan cara memperlemah ikatan kebangsaan yang telah ada serta secara bersamaan memperkuat sentimen primordial---ikatan sosial yang dibawa sejak lahir seperti agama, suku, ras.Â
Pemimpin yang lahir dengan strategi hostilitas tersebut pun biasanya tersandera politik balas budi karena dukungan kelompok mayoritas pasti meminta konsesi politik dan ekonomi. Â Â
Hospitalitas sejatinya merupakan sikap memberi ruang bagi perbedaan dan nilai-nilai baru yang mungkin dibawa oleh tamu atau pun orang asing (Michele Hershberger, 2009: 59). Pancasila tidak hanya sekadar gagasan kebangsaan semata. Rumusan pancasila yang kita sepakati dalam pembukaan konstitusi kita justru sekaligus sebagai tindakan hospitalitas.Â
Para pemimpin kita berjiwa besar dengan mendengar serta menyambut hangat kelompok-kelompok yang berbeda agama dan etnik. Para pemimpin kita pada awal kemerdekaan tidak hanya sekadar menampung perbedaan untuk memenuhi asas keterwakilan; mereka meyakini sikap mencintai perbedaan adalah sebuah keniscayaan untuk mendirikan sebuah bangsa dan negara. Â Â Â Â
Burung garuda bukan sekadar lambang negara, tetapi lambang watak bangsa Indonesia yang dipenuhi tekad memelihara kesatuan bangsa. Lambang negara itu berfungsi sebagai pengingat dan petunjuk arah bagi bangsa kita. Tanggal kemerdekaan kita disimbolisasi dengan indah melalui sayap garuda yang berjumlah 17, bulu ekornya berjumlah 8, dan bulu lehernya berjumlah 45.Â
Di dalam dada kita seharusnya terdapat lima prinsip bernegara yang dijiwai semangat merangkul segala perbedaan baik agama, suku, ras, maupun antargolongan. Di dalam pikiran kita hanya ada satu tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur yang divisualisasi tanda gambar padi dan kapas. Pancasila tidak perlu dilafalkan jika hanya sebatas dengan ucapan janji.Â
Kita seharusnya setia mencengkram kuat semboyan negara kita: "Binneka Tunggal Ika" (berbeda-beda, tetapi tetap satu) dalam berbagai situasi.
Mengapa burung garuda itu menoleh ke kanan seolah marah? Ia mungkin tidak sudi melihat Pancasila hanya sebatas slogan indah.*** (Pagar Sianipar, guru sejarah di SMAK 5 PENABUR Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H