Mohon tunggu...
Pagar Sianipar
Pagar Sianipar Mohon Tunggu... -

Saya berprofesi sebagai guru sejarah di SMAK 5 Penabur Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asal-usul Manusia

5 Januari 2017   08:50 Diperbarui: 5 Januari 2017   09:08 2247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Asal-Usul Manusia[1]

Hipotesis (jawaban sementara) Darwin tentang asal-usul manusia dibahas dalam The Descent of Man yang diterbitkan pada tahun 1871. Ia mengajukan dua hipotesis, tentang asal-usul manusia. Pertama, ia menunjuk Afrika sebagai tanah leluhur manusia berdasarkan kemiripan anatomi manusia dengan kera Afrika, yaitu simpanse dan gorila. Kedua, ia mengajukan paket prasyarat bahwa ciri makhluk yang sudah dapat dianggap sebagai manusia bipedal (berjalan dengan dua kaki) adalah memiliki otak relatif besar, dan teknologi. Darwin sangat tegas menolak campur tangan tenaga supernatural dalam evolusi manusia, sementara naturalis Alfred Russell Wallace menerima.[2] 

Hipotesis Darwin semula tergolong lemah karena tidak didukung bukti-bukti yang kuat. Pada masa Darwin belum ditemukan fosil hominid (anggota keluarga manusia) dari Afrika. Fosil yang sudah ditemukan hanyalah Homo neanderthalensis dari Eropa. Ilmuwan eropa bahkan belum dapat menerima hipotesis orang “kulit putih” adalah anak cucu orang Afrika. Pada tahun 1931 proposal penggalian fosil di Afrika yang diajukan oleh antropolog Louis Leakey bahkan jadi olokan rekan sejawatnya.[3]

Hipotesis yang menyatakan leluhur Homo sapiens (manusia modern) berasal dariHomo neanderthalensisakhirnya goyah. Temuan fosilHomo sapiens ternyata memiliki umur lebih tua 40.000 tahun dari Homo neanderthalensis. Temuan tersebut mendorong munculnya hipotesis baru yang dikenal dengan Out of Africa (Keluar dari Afrika). Hipotesis ini berpendapat bahwa Homo sapiens hanya muncul sekali di Afrika, lalu berpindah secara besar-besaran ke berbagai penjuru dunia. Mereka tidak banyak kawin campur dan jarang berinteraksi secara sosial-budaya dengan hominid lokal.[4]

Hipotesis Keluar dari Afrika pada tahun 1987 semakin kuat berkat penelitian biologi molekuler yang dilakukan Wallace dan Allan Wilson. Mereka menyatakan bahwa materi genetik manusia modern berasal dari seorang ibu yang hidup 200.000-150.000 tahun yang lalu di Afrika. Temuan tersebut didasarkan kepada kandungan mitokondria atau bagian sel yang bertanggung jawab kepada pasokan energi. Mitokondria hanya diwariskan dari ibu sehingga mereka menamai temuan itu Mitochondrial Eve(Hawa Mitokondrial).[5]

Pada tahun 2001 hipotesis Keluar dari Afrika didukung oleh sejumlah ilmuwan termasuk Sangkot Marzuki, ahli genetika populasi Indonesia. Mereka menolak hipotesis multiregional—manusia modern sekarang tidak hanya berasal dari Afrika, tetapi dari komunitas lokal, seperti Homo neanderthalensis yang hidup di Eropa dan Timur Tengah. Hipotesis baru yang menolak hipotesis multiegional didasarkan pada hasil penelitian meeka terhadap bahan genetik 12.127 lelaki di Asia. Hasil riset mereka menyimpulkan bahwa manusia di Asia Timur berasal dari Afrika bukan dari komunitas hominid lokal.

Manusia dalam Teologi Penciptaan

Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar dan rupa-Nya sehingga manusia memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat agama dan sifat budaya.  Tujuan dari sifat agama dan sifat budaya tidak dapat disejajarkan dnegan alam. Jika sifat agama adalah produk alam, nengapa agama sering kali menentang dan bahkan menggeser alam? Kemudian, jika budaya adalah produk alam, kebudayaan tidak mungkin menjadi alat  untuk menguasai alam. Jadi, bila yang bersifat agama dan yang bersifat budaya bukan berasal dari alam, pasti hal-hal itu berasal dari sifat yang supraalami. Itulah sebabnya para ahli ilmu alam seperti Herbert Spencer dan Thomas Henry Huxley di dalam keheranannya mengatakan kalimat bijak: “Rasio dan hati nurani manusia sama sekali bukan produk evolusi.”[6]

Buku Charles Darwin yang berjudul The Descent of Man and Selection in Relation to Sex yang diterbitkan pada tahun 1871 meremehkan bagian luar telinga manusia. Darwin menganggap semua lekukan telinga luar tidak ada tujuan dan tidak berguna sama sekali. Ia bahkan menilai bagian luar telinga manusia hanyalah peninggalan proses evolusi yang sudah mengalami degenerasi. Oleh karena itu, tonjolan kecil pada pinggir atas bagian luar telinga dikenal sebagai tonjolan Darwin. Generasi peneliti  setelah Darwin pun mengikuti pendapatnya dengan membuta. Namun, hasil penelitian menyatakan bahwa daun telinga kita yang berlekuk-lekuk itu adalah alat presisi  yang diprogram secara genetik, yang mengirim sinyal tambahan ke otak setelah selisih waktu 1/5.000 detik, dan menyebabkan kita seolah-olah memiliki empat daun telinga, yang dua di antaranya sedikit lebih tinggi daripada dua yang lain.[7]   

Sejumlah ilmuwan dan teoritikus berupaya meniadakan peran Allah sebagai Pencipta manusia dan seluruh alam semesta. Allah adalah creatio ex nihilo (pencipta dari yang tidak ada menjadi ada). Yonathan Wijaya Lo dalam kuliah teologi biblika menjelaskan bahwa era postmodernisme sekarang menganggap sesuatu yang supranatural dan yang melampuai akal tersebut tidak relevan. Intelektual postmodenisme lebih suka menjawab pertanyaan: “Bagaimanakah perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis?” Mereka menghindari pertanyaan penting: “Mengapa ada laki-laki dan perempuan?”

Manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah dicatat oleh Kejadian pasal 3 jatuh ke dalam dosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun