Belum lagi, kata 'aksi' dan 'demonstrasi', telah memiliki stereotipe negatif di masyarakat karena banyak dikaitkan dengan konteks 'anarkis'. Dengan adanya informasi sedemikian rupa dan penerimaan masyarakat yang cenderung negatif, tentu kemungkinan adanya pandangan yang salah terkait aksi demonstrasi bisa jadi semakin besar.Â
Hal ini juga didukung oleh Berelson, Lazarsfeldm & McPhee (1954) yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap individu akan memperhatikan informasi dalam media yang mendukung preferensi yang sudah ada pada dirinya.
Lalu, pada studi berikutnya, Milbum (1991) berpendapat bahwa media memiliki dampak yang lebih kuat namun tergantung pada konten dan kompleksitas sikap-sikap publik. Bisa kita anggap bahwa media massa akan mempengaruhi individu apabila ada kesesuaian informasi atau pemberitaan yang disampaikan dengan sifat pribadi, suasana hati, konteks, dan situasi tertentu.
Dari proses yang sedemikian rupa, pada dasarnya media massa telah sesuai dalam menjalankan kinerjanya sebagai alat penyampai informasi. Namun, kecenderungan untuk mengambil salah satu sudut pandang yang memang dinilai 'layak jual', dirasa menjadikan timbulnya tarik ulur pada pembaca.
Apalagi bila pembaca yang mereka sasar terlalu melibatkan anggapan pribadi dan enggan mengkoreksi lebih lanjut informasi yang diperoleh, maka pembaca pun juga akan memasukkan informasi yang singkat ke dalam pikirannya, sehingga muncullah pandangan yang cenderung sempit.
Ada baiknya, ketika membaca pemberitaan, pembaca tidak hanya mengacu pada satu media, namun juga melakukan crosscheck sehingga proses kognitif yang terjadi tidak terbatas dan pembaca dapat menilai dari berbagai sudut pandang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H