Mengenal Harmoni dari Pesantren Al-Falah
Di sudut tenang Pandeglang, Banten, muncul sebuah cerita tentang kebersamaan yang hangat. Pesantren Al-Falah berdiri di atas lahan luas, memadukan hijau perbukitan dengan kesederhanaan arsitektur pesantren. Sejak 1991, pesantren ini menjadi rumah yang saat ini ditinggali 150 santri, yang tidak hanya menimba ilmu agama, tetapi juga keterampilan praktis. Di kobong, sebuahasrama sederhana yang menjadi tempat tinggal mereka, hidup berdampingan dalam keseharian yang penuh makna.
Saya dan teman-teman dari Kolese Kanisius berkesempatan merasakan kehidupan di pesantren ini melalui Ekskursi Pesantren Kelas XII, sebuah program tiga hari dari Rabu hingga Jumat. Program ini dirancang untuk memperkenalkan kami pada kehidupan santri dan memperkuat nilai pluralisme. Selama tiga hari itu, kami tidak hanya mengamati, tetapi benar-benar terlibat: tidur di kobong, ikut pengajian, dan bahkan ngaliwet, sebuah tradisi makan bersama di atas daun pisang.
Mencari Harmoni dalam Kesederhanaan
Hari dimulai pukul empat pagi dengan panggilan adzan Subuh yang membangunkan seluruh pesantren. Di aula musholla yang sederhana namun bersahaja, santri berbaris rapi untuk sholat berjamaah. Usai doa, kegiatan belajar formal dimulai di sekolah kejuruan yang terintegrasi dengan pesantren. Kami diajak berkeliling kelas, melihat santri belajar desain komunikasi visual (DKV), membongkar mesin motor di bengkel, atau mempelajari manajemen perkantoran.
"Di sini, kami ingin membekali mereka tidak hanya dengan ilmu agama, tetapi juga keterampilan hidup," ujar Kiai Ahmad Halwani, pengasuh Pesantren Al-Falah. "Kami ingin para santri mandiri dan mampu berkontribusi pada masyarakat."
Setelah belajar hingga tengah hari, mereka kembali ke kobong untuk makan siang dan istirahat. Kobong itu sendiri sederhana, dengan karpet yang digulung setiap pagi untuk memberi ruang. Meski sangat sederhana, suasananya penuh kehangatan, terutama ketika para santri berbagi cerita dan tawa di sela-sela kegiatan mereka.
Keseharian yang Penuh Ritme
Hidup di pesantren diatur dengan ritme yang disiplin. Usai makan siang, santri melanjutkan aktivitas dengan berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Ada yang mengikuti pencak silat di halaman, pramuka di lapangan belakang, atau sekadar duduk di bengkel menyelesaikan tugas praktikum. Ketika adzan Ashar berkumandang, mereka kembali ke musholla untuk sholat berjamaah, diikuti pengajian bersama para ustadz.
Kami sempat bergabung dalam sesi pengajian. Para santri duduk rapi, memperhatikan dengan seksama penjelasan ustadz tentang nilai-nilai kehidupan. Di sini, agama bukan hanya soal ritual, tetapi menjadi fondasi yang membimbing setiap tindakan.
Ketika malam tiba, pesantren menjadi tenang. Usai sholat Maghrib dan makan malam, santri berkumpul di kobong untuk membaca kitab atau berbincang ringan. Saya teringat obrolan dengan salah satu santri, Imron, yang bercerita tentang mimpinya menjadi seorang teknisi mesin motor. "Saya ingin pulang ke kampung dan membuka bengkel sendiri," katanya. Di tengah kesederhanaan ini, saya melihat semangat besar untuk masa depan.