Mohon tunggu...
Takhta Pandu Padmanegara
Takhta Pandu Padmanegara Mohon Tunggu... Strategist -

Lead Strategist, Communicaption

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Renungan Hari Anak Nasional 2015: Belajar Bukan Bekerja

23 Juli 2015   06:39 Diperbarui: 23 Juli 2015   07:57 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak dulu, telah banyak anak Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa di kancah internasional, mulai dari bidang sains, teknologi, hingga olahraga. Apa yang membuat mereka bisa mengukir prestasi sedemikian hebat? Salah satu jawaban paling mendasar adalah pendidikan. Dari generasi ke generasi, institusi sekolah terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup manusia dan memberi dampak bagi kemajuan peradaban.

Namun faktanya, anak-anak di berbagai wilayah terisolasi di Indonesia banyak yang putus sekolah dan mulai bekerja di usia dini karena berbagai faktor, mulai dari ekonomi; geografis; hingga rendahnya pemahaman akan pentingnya pendidikan. Secara sosial, mereka mengalami stigma dan diskriminasi. Secara ekonomi, mereka tergolong rentan dan terancam pemiskinan.

Masalah tersembunyi: pekerja anak perkebunan

Salah satu masalah tersembunyi yang terjadi sejak dulu hingga kini adalah fenomena pekerja anak di sektor perkebunan. Mereka dipekerjakan sebagai buruh perkebunan dengan beban pekerjaan orang dewasa. Dalam Konvensi ILO (International Labour Organization) 182, pekerjaan ini dikategorikan sebagai Bentuk Terburuk Pekerja Anak (BPTA) karena terpapar pestisida, tak terlindungi, dan terekslusi. Pada dasarnya, tidak ada toleransi untuk jenis pekerjaan ini bagi anak.

Cerita inspiratif dari Sambas

Dari Desa Sei Deden, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, seorang ayah tiga anak yang merupakan mantan pekerja anak, mengisahkan fenomena pekerja anak perkebunan di lingkungan sekitarnya. Belajar dari pengalaman masa kecilnya yang bekerja setiap hari untuk menyambung hidup, kini ia berjuang agar generasi selanjutnya tidak mengalami hal serupa. Bersama Komite Pendidikan Masyarakat Desa (KPMD), ia melakukan usaha-usaha untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya mencegah anak putus sekolah dan melindungi anak dari pekerjaan orang dewasa. Ia mengajak perusahaan-perusahaan sawit setempat untuk menyediakan berbagai fasilitas yang dapat mewujudkan hal tersebut.

Film dokumenter HAN 2015

Cerita dari Sambas tersebut terangkum dalam sebuah film dokumenter yang dibuat oleh gerakan #IDInklusif dalam rangka Hari Anak Nasional 2015. Film ini memberi contoh nyata bagaimana praktik inklusi sosial dapat dilakukan oleh masyarakat sipil dengan dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah.

Film ini mengingatkan kita semua bahwa anak Indonesia seharusnya belajar bukan bekerja. Film berdurasi 3,5 menit ini tersedia secara daring (online) melalui kanal Youtube Program Peduli, dilengkapi dengan teks bahasa Inggris untuk khalayak internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun