“Hidup hari ini kenapa makin crazy, ya?” curhat seorang rekan kantor setelah melihat post SARA di timeline-nya.
“Semenjak ada Facebook nih kayaknya. Dulu perasaan nggak gini-gini amat, di timeline gue isinya pada berantem!” keluh seorang teman dekat yang sebelumnya menjadikan Facebook sebagai medsos favoritnya untuk cari jodoh.
“Gue nggak nyangka, temen yang selama ini gue kenal ternyata pemikirannya kayak gitu!” celoteh sahabat SMA saya di grup Whatsapp almamater. “Wah, tuh kan, mulai kampanye nih dia, sumbernya hoax kayaknya,” lanjutnya sambil mengakhiri pesan dengan emoticon ini: 💩
Beberapa kutipan di atas menggambarkan kegundahan yang dirasakan orang-orang di sekeliling saya saat ini. Mungkin kegundahan ini pun dirasakan oleh Anda atau teman Anda; para pembaca yang saya hormati, yang saat ini bimbang apakah akan terus melanjutkan membaca tulisan saya atau pindah ke saluran atau konten yang lain. Saya ikhlas kalau pembaca ingin skip, tapi saya akan peluk erat kalau pembaca terus melanjutkan.
Pada masa kampanye Pilpres 2014, salah satu capres diserang dengan isu capres boneka, keturunan Tionghoa, buku nikah palsu, dsb. sehingga masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Di tahun yang sama, seorang mahasiswi dilaporkan akibat menghina Kota Yogyakarta di media sosial setelah mendapatkan pelayanan tidak memuaskan saat mengisi bensin sehingga berujung pada penangkapan dan bullying dari netizen.
Pada Pilgub DKI saat ini, kasus dugaan penistaan agama Islam oleh petahana yang berawal dari media sosial berbuntut aksi massa turun ke jalan dalam gelombang besar. Betapa dahsyatnya tsunami informasi yang kita dapat dalam periode aktivitas aksi massa tersebut sehingga menyebabkan perpecahan antarkelompok maupun individu. Selain itu, ada pula pertengkaran antara salah satu istri cagub dengan temannya karena perbedaan opini politik di media sosial dan masih banyak lagi kasus serius yang berawal dari media sosial hanya karena satu atau dua pos atau cuitan semata. Sebagai pengguna media sosial, kita merasa bahwa informasi tersebut terus-menerus hadir melalui pembicaraan teman di media sosial, pemberitaan media, dan kemunculan informasi yang berulang di timeline sehingga informasi tersebut menjadi fakta yang kita yakini.
Bukan Hanya di Indonesia
Pada 2012, masyarakat Kanada terbagi dalam dua kubu akibat perbedaan ideologi antara Partai Konservatif dan Partai Demokrat Baru. Hal serupa terjadi saat Pilpres AS 2016 ketika masyarakat AS terbagi menjadi kubu Republican dan Democratic. Dalam kasus ini, Democratic meyakini bahwa Donald Trump secara rutin mengulang berita palsu dan mencuatkan teori konspirasi terkait warisan Obama, hoax perubahan iklim, kesehatan Hillary Clinton, sampai tuduhan pembunuhan dan pelecehan seksual terhadap anak-anak oleh Clinton.
Pertengkaran semacam ini juga bukan hanya terjadi pada tataran kelompok, melainkan juga individu. Pada 2015, Trump mendapat kecaman dari tokoh dunia terkait cuitannya tentang pelarangan umat Islam ke AS sehingga mengakibatkan twitwar antara dirinya dengan Pangeran Arab Saudi. Pada 2017, pensiunan sipir penjara di AS memilih untuk berpisah dengan suaminya hanya karena perbedaan pandangan politik. Kasus ini memperkuat temuan penelitian yang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah konflik akibat pemilu di AS (dari 33% menjadi 34%). Banyak orang yang mengaku tidak berkomunikasi dengan anggota keluarga dan teman karena pilihan politik yang berbeda.
“In addition to the decline in competition, American politics today is characterized by a growing ideological polarization between the two major political parties.”
- Thomas E.Mann, W. Averell Harriman
Polarisasi Media Sosial
Inilah yang disebut dengan polarisasi media sosial, yaitu pengelompokan yang terjadi pada pengguna internet berdasarkan tujuan tertentu atau pilihan layanan. Media sosial seperti Facebook dan Youtube memiliki layanan dan fungsi yang berbeda sehingga konten yang sama tidak akan menghasilkan tindakan user yang sama pada kedua platform tersebut. Misalnya, video A yang di-share di Youtube akan mendapatkan respon yang berbeda dengan video A yang di-share di Facebook. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan antara user Facebook dengan user Youtube. Fenomena ini melahirkan komunitas terpolarisasi, yaitu kelompok pengguna media sosial yang memilih media, topik, dan grup tertentu dengan tujuan atau pandangan yang sama. Misal, jika Anda pengguna Facebook, maka Anda akan berbicara tentang konten Facebook bersama teman yang juga memiliki akun Facebook dengan kesukaan yang sama. Dalam hal ini, Anda dan teman-teman Anda ini sudah masuk ke dalam kelompok terpolarisasi. Penyebabnya beragam, antara lain difusi informasi, bias konfirmasi, perbedaan pendapat, perbedaan jenis layanan pada tiap media sosial, faktor kognitif, serta pola perilaku.