Mohon tunggu...
Saprudin Padlil Syah
Saprudin Padlil Syah Mohon Tunggu... profesional -

Visit me on padlilsyah.wordpress.com I www.facebook.com/Padlil I\r\n@PadlilSyah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tidak Haji Karena Belum Bagus Ibadah?

16 September 2014   06:43 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:34 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam tulisan sebelumnya “Haji, Kok memaksikan diri?”, penulis menelaah tentang orang yang belum mampu secara materi kemudian berusahakan melayakkan diri menjadi orang yang mampu untuk berangkat haji. Pada tulisan kali ini penulis mencoba menelaah keengganan untuk beribadah haji padahal secara materi sudah mampu.

Sering sekali penulis mendengar alasan kengganan atau tidak mulai mendapatarkan diri untuk berhaji dengan ungkapan-ungkapan seperti berikut “saya masih banyak dosa”, “amal saya masih kurang”, “saya masih terlalu muda”, “saya gak enak, orang tua saya aja belum” dan alasan-alasan yang lainya.

Kewajiban Haji Seperti Zakat

Haji dan Zakat adalah kewajiban bersyarat. Tidak semua muslim diwajibkan haji dan zakat. Bagi kelompok yang tidak memenuhi syarat, tidak ada kewajiban melakasanakannya. Bagi mereka, tidak melaksanakan haji dan tidak mengeluarkan zakat bukan sebuah pembangkangan atas perintah Allah.

Zakat diwajibkan kepada orang yang sudah mempunyai harta yang sudah mencapai jumlah yang tertentu (nisab) yaitu sebanding dengan harga emas seberat 85 gram. Bukan sekedar mencapai ketentuan jumlah namun juga sudah mencapai batas waktu satu tahun (haul). Kewajiban zakat (harta) adalah satu tahun sekali bagi orang yang memenuhi syaratnya.

Ibadah haji tidak diwajibkan kecuali kepada orang-orang yang telah mampu. Salah satunya mampu dari sisi materi (harta). Kewajiban ini pun hanyalah satu kali seumur hidup manusia. Kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak mengeluarkan zakat karena ibadahnya masih buruk. Kualitas dan kuantitas ibadah bukanlah syarat seseorang dikenai kewajiban mengeluarkan zakat. Sama halnya dengan haji, kualitas dan kuantitas ibadah kita bukan syarat seseorang dikenai kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji.

Yang perlu menjadi renungan adalah bahwa setiap saat, menit, dan momentum dalam kehidupan merupakan kesempatan yang Allah berikan untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Terlebih kalau sebuah hal tersebut adalah perintah Allah. Allah tidak memberikan satu perintah pun kecuali untuk kebaikan manusia. Justru amal sholeh (ibadah) bisa mengikis kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) yang lalu.

Haji adalah bentuk ibadah (bentuk penghambaan) manusia kepada Allah. Salah satu tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Jadi tentu salah, kalau mengakatan bahwa menangguhkan berangkat haji atau tidak memulai mendaptarkan diri untuk berangkat haji karena alasan belum bagus ibadah, baik kualitas maupun kuantitas.

Haji bukan jalan untuk menjadi malaikat. Manusia yang berangkat haji pada usia berapapun tetap menjadi seorang manusia yang diberikan akal, hati dan nafsu. Perbuatan maksiat bukan hanya haram bagi orang-orang yang telah melaksanakan ibadah haji. Perbuatan maksiat dilarang kepada semua muslim mukallaf.

Lantas setelah ibadah haji, kemudian seseorang menjadi lebih baik dalam ibadah individual maupun ibadah sosial, itulah tujuannya ibadah haji. Dan hal itu bisa menjadi indikasi bahwa ibadah hajinya benar (haji mabrur). Namun tujuan ibadah yang memberikan pengaruh -setelah dilaksanakannya- baik untuk dirinya maupun sosial bukan hanya ibadah haji. Pelaksanaan Sholat yang benar bisa menghindarkan pelakunya untuk berbuat keji dan munkar.

Bahwasannya banyak yang sudah melaksanakan sholat atau haji namun tidak mempunyai efek yang baik untuk pribadi dan sosial tidak lantas menjadikan sholat dan haji tidak wajib. Selain itu, haji dan sholat yang tidak memberikan pengaruh positif bukan karena hakikat sholat dan hajinya, tapi lebih karena pelakunya tidak melaksankan haji dan sholat dengan benar. Bukankah Allah pun mengingatkan ada juga kelompok yang melaksankan sholat namun diancam dengan neraka wail?

Makna ‘Mampu’ untuk Berhaji

فيهِ ءايٰتٌ بَيِّنٰتٌ مَقامُ إِبرٰهيمَ ۖ وَمَن دَخَلَهُ كانَ ءامِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النّاسِ حِجُّ البَيتِ مَنِ استَطاعَ إِلَيهِ سَبيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ العٰلَمينَ ﴿٩٧﴾

Artinya: Di situ ada tanda-tanda keterangan yang nyata (yang menunjukkan kemuliaannya; di antaranya ialah) Makam Nabi Ibrahim. Dan sesiapa yang masuk ke dalamnya aman tenteramlah dia. Dan Allah mewajibkan manusia mengerjakan ibadat Haji dengan mengunjungi Baitullah iaitu sesiapa yang mampu sampai kepadanya. Dan sesiapa yang kufur (ingkarkan kewajipan ibadat Haji itu), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak berhajatkan sesuatu pun) dari sekalian makhluk. (Q.S: Ali-Imron; 97)

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah nya menjelaskan makna ‘mampu’ yang menjadi syarat hadirnya kewajiban haji bagi seorang muslim.


  1. Mampu secara harta. pertama, harta untuk biaya berangkat dan pulang serta selama melaksankan ibadah haji. Kedua, harta yang ditinggalkan untuk biaya anak, istri dan sepulang dari ibadah haji. Tidak disebut mampu (dalam harta), seseorang yang dengan hartanya bisa pergi dan pulang dari ibadah haji namun kan mendapatkan kesusahan setelah pulang haji baik bagi dirinya maupun keluarganya.
  2. Mampu secara fisik. Bagi yang kesehatan kurang baik karena usia lanjut ataupun penyakit maka sesunggahnya tidak bisa dikatakan ‘mampu’. Tentunya ia tidak (belum) dikenai kewajiban ibadah haji. Bahkan jika keberangkatan pergi ibadah haji akan menjadikan kesehatannya lebih buruk lagi terlebih bisa menimbulkan ancaman nyawa maka walaupun sudah punya harta, maka orang tersebut tidak dikenai kewajiban haji.
  3. Aman dalam perjalanan. Kemampuan pulang dan pergi tentu bukan hanya sekedar mempunyai harta, karena di jaman sekarang biaya haji sudah dibayarkan di awal. Namun juga situasi dan kondisi di perjalanan. Yang dimaksud aman di perjalanan adalah tidak adanya peperangan di daerah-daerah yang dilalui untuk berangkat haji yang bisa membahayakan nyawa dan harta milik.


Jika salah satunya tidak terpenuhi maka seseorang belum memenuhi syarat; mampu. Lantas kemudian ia berusaha melayakkan diri menjadi seorang yang mampu, maka Allahlah yang akan membalasnya.

Allahberfirman dalam hadits qudsi: Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu jengkal maka Aku akanmendekatinya satu hasta, dan jika dia mendekati-Ku satu hasta Aku akan mendekatinya satu depa. Jika dia datang pada-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari (HR. Bukhari)

Kesimpulan


  1. Makna mampu yang menjadi syarat hadirnya wajibnya haji adalah mampu dari sisi material bukan immaterial. Jadi tidak ada alasan bahwa tidak pergi haji karena kurang ibadah. Namun bisa jadi, bahwa keengganan untuk pergi haji karena kita tidak yakin dengan Allah. Seperti halnya seseorang tidak melaksanakan ibadah Sholat hakikatnya sebatas itulah keimanannya kepada Allah. Jangan-jangan orang yang tidak berzakat dan berhaji padahal sudah ‘mampu’ sedang menuhankan harta benda. Kalau demikian adanya ‘tiada tuhan selain Allah’ hanyalah di mulut saja. Karena sejatinya ada benda lain yang menjadi tuhannya. Allah menjadi nomor sekian setelah benda-benda yang ia tuhankan. Semoga kita tidak!
  2. Bagi orang yang sudah mampu sebagaimana yang djelaskan diatas. Maka menjadi kewajiban dia untuk ibadah haji. Hubungannya dengan aturan yang ada demi kemaslahatan umat, maka tentunya kita harus mengikuti aturan yang ada. Sebagaimana kita ketahui di Indonesia dan beberapa negara muslim lain, karena peminatnya sangat banyak, seorang calon haji harus mendaptar sambil menunggu. Maka bagi yang sudah mampu, mendaptarkan diri untuk haji merupakan sebuah kewajiban. Proses inilah adalah bentuk seorang hamba melaksanakan proses-proses dalam rangkaian pelaksanakan ibadah haji. Lantas kemudian, pada waktunya tidak bisa berangkat karena urusan syara’ atau karena usia maka itu tidak menjadi kewajiban baginnya. Hakikatnya dia sudah menggugurkan kewajibannya sebagai makhluk. Berbeda dengan seseorang yang sudah mampu secara materi kemudian ia tidak memulai proses rangkaian pelaksanaan ibadah haji (tidak mendapatarkan drinya) maka kewajiban hajinya tidak gugur.
  3. Kita dan Allah yang bisa mengukur apakah kita sudah mampu atau belum. Hanya kita dan Allah yang mengetahui apakah kita sudah terkena kewajiban haji atau belum. Orang lain tidak tahu.

PS. Tulisan penulis yang berhubungan tentang haji lainnya boleh kunjungi http://padlilsyah.wordpress.com/category/haji/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun