Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Ketentuan-ketentuan tersebut tersurat dalam UUD 1945 pasal 31.
Siapapun pemimpin negara Indonesia harus paham dan melaksanakan amanat UUD 1945 di atas, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Tulisan ini mencoba menelaah kebijakan-kebijakan yang ditelorkan pada masa pemerintahan presiden SBY selama 10 tahun dalam bidang pendidikan beserta kelemahan-kelemahanya. Tujuannya adalah menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan pendidikan Indonesia kedepan.
Ada dua intisari dari ketentuan-ketentuan UUD 1945 pasal 31 tersebut;
Pertama, hak warga negara mendapatkan pendidikan.
Yang dimaksud dengan warga negara dalam UUD 1945 tentunya adalah Warga Negara Indonesia (WNI). Bagaimanapun keadaannya dan dimanapun tinggalnya. Setiap WNI dijamin oleh UUD 1945 untuk mendapat pendidikan. Kewajiban pemerintahlah untuk memberikan pendidikan dasar.
Dalam UU nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
Untuk merealisasikan hak pendidikan warga negara, pemerintahan SBY telah membuat banyak kebijakan strategis, beberapa diantarnya adalah;
1.Pendidikan untuk daerah terpencil
Kita tidak bisa menutup mata, bahwa pendidikan di kota-kota besar berbeda jauh dengan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Tahun 2009 penulis pernah mengajar di Sangatta, Kalimanta Timur. Dengan mata telanjang, penulis melihat banyaknya kendala untuk mencapai target pendidikan. Sarana prasarana dan infrastruktur yang serba kurang adalah fakta yang harus dihadapi. Selain itu, ketersediaan guru dan rendahya tingkat pendidikan guru menjadi kendala lainnya.
Pemerintah tidak tinggal diam. Selain dana BOS, pemerintah menggelontorkan bantuan-bantuan khusus untuk daerah terpencil. Untuk memberikan motivasi para guru dalam pengabdiannya, pemerintah membuat kebijakan tentang tunjangan khusus bagi guru-guru yang bertugas di daerah terpencil. Bahkan demi terwujudnya pemerataan pendidikan, pada tahun 2011 pemerintah melahirkan program Sarjana Mengajar di daerah Terluar, Tertinggal dan Terdepan (SM3T).
2.Pendidikan untuk anak-anak TKI di Sabah-Malaysia
Tidak banyak yang tahu tentang program ini. Hemat penulis, masyarakat Indonesia perlu mengetahui tentang program ini. Program ini tidak akan bisa terwujud tanpa ada political will dari pemimpin negara. Untuk mewujudkan program ini, bahkan presiden SBY yang turun tangan untuk melakukan kesepakatan dengan PM Malaysia.Tanpa ada kesepakatan antara kedua pemimpin negara tentunya anak-anak TKI tidak akan mendapatkan pendidikan.
Di Sabah, banyak warga Indonesia (anak-anak TKI) yang tidak mendapatkan haknya; pendidikan. Konsekuensinya mereka menjadi masyarakat yang tuna; tuna baca, tuna tulis, tuna agama, dan tuna kebangsaan. Banyak warga Indonesia yang tidak pernah menghirup udara Indonesia. Banyak diantara mereka yang tidak pernah menginjak tanah airnya. Turun temurun mereka menjadi buruh kasar dan pelayan untuk kemakmuran negara lain.
Hal bisa terjadi demkian karena factor-faktor berikut; 1. Rendahnya pendidikan mereka. Banyak dari mereka tidak lulus sekolah dasar. Karena rendahnya pendidikan, mereka tidak mementingkan pendidikan anak-anaknya. Selain itu, tidak adanya penyuluhan yang mereka dapatkan dari pemerintah tentang pentingnya pendidikan untuk masa depan anaknya. 2. Sejak tahun 2002, Malaysia melarang warga asing untuk belajar di sekolah pemerintahannya. Hal ini membuat peluang warga asing (termasuk anak-anak TKI) tidak bisa mendapatkan pendidikan dasar.
Menurut data dari KJRI Kota Kinabalu tanggal 09 pebruari 2012 terdapat 401.771 TKI yang ada bekerja di Sabah. Karena Sabah adalah negeri perbatasan, maka banyak juga TKI illegal yang masuk lewat kalimantan. Berdasarkan pengamatan penulis, banyak sekali TKI illegal di perusahaan-perusahaan sawit. Termasuk di perusahan-perusahan tempat penulis dan guru-guru dari Indonesia bertugas. Dari jumlah TKI yang terdata oleh KJRI KK tersebut terdapat 50.000 anak-anak Indonesia yang tidak tersentuh pendidikan. Di lapangan bisa jadi jumlahnya lebih besar.
Untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak-anak TKI di Sabah, ada tiga cara yang dilakukan oleh pemerintah;
Pertama, melakukan kerja sama dengan LSM pendidikan yang ada di Sabah.
Langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah dengan menempatkan satu guru Indonesia di LSM pendidikan yang berdiri di perusahaan-perusahaan sawit di Sabah. Hal ini mulai dari tahun 2006 sampai dengan sekarang.
Kedua, mendirikan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK).
SIKK mulai beroperasi tanggal 1 Desember 2008 setelah mendapatkan ijin dari kementerian pelajaran Malaysia. Pendirian SIKK merupakan hasil pertemuan bilateral antara presiden SBY dengan PM Malaysia Abdullah Badawi di Kuala Lumpur pada tanggal 11 Januari 2008. SIKK merupakan sekolah resmi pemerintah Indonesia untuk anak-anak Indonesia di Sabah. Kedepannya SIKK menjadi sekolah induk bagi sekolah-sekolah terbuka yang ada di Sabah untuk menjangkau jumlah anak-anak TKI tadi.
Ketiga, menyelenggaran pendidikan sekolah terbuka di luar negeri, yang kemudian disebut Community Learning Center (CLC).
Pada tanggal 20 Oktober 2011 pada acara The 8th Annual Consultations Between The Republic Indonesia and Malaysia di Lombok, Presiden SBY dan PM Dato’ Sri Najib Tun Razak membuat kesepakatan tentang pendirian CLC bagi anak-anak TKI di Sabah.
Menempatkan guru di LSM pendidikan yang menggunakan kurikulum Malaysia tentu tidak bisa maksimal; terutama pendidikan kewarganegaraannya. Sedangkan keberadaan SIKK tidak bisa menjangkau anak-anak Indonesia di pelosok Sabah. Oleh karena itu, melalui guru-guru yang ditempatkan di LSM tadi, dibukalah akses pendidikan dengan kurikulum Indonesia. Layanan pendidikan resmi yang memungkinkan adalah model sekolah terbuka. Saat ini, di Sabah sudah berdiri 185 CLC.
Kepedulian pemerintah tidak hanya di Sabah saja. Bahkan saat ini, pemerintah sedang menjajaki dua proses kerja sama untuk pelayanan pendidikan anak-anak TKI di Sarawak dan Mindanau, Philipina.
Kedua, prioritas negara dalam sistem anggaran pendidikan.
Untuk merealisasikan amanat UUD 1945 tentang anggaran pendidikan yang minimalnya 20% dari APBN dan APBD. Maka pemerintahan SBY menelurkan beberapa kebijakan, diantaranya;
1.Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Salah satu konpensasi dari pengurangan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2005 pemerintah merealokasi sebagian anggarannya untuk bidang pendidikan. Salah satu program di bidang pendidikan adalah BOS.
Dalam buku petunjuk pelaksanaan tahun 2005 dituliskan bahwa Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bertujuan untuk memberikan bantuan kepada sekolah dalam rangka membebaskan iuran siswa, tetapi sekolah tetap dapat mempertahankan mutu pelayanan pendidikan kepada masyarakat.
2.Sertifikasi
Program sertifikasi pendidik dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat UU nomor 20/2003 tentang sistem pendidikan nasional, UU no 14/2005 tentang guru dan dosen dan PP no 74/2008 tentang guru.
Program sertifikasi pendidik merupakan kebijakan yang baik untuk meningkatkan kualitas guru-guru Indonesia. Dengan meningkatnya mutu dan profesionalitas para guru diharapkan pendidikan Indonesia bisa maju.
3.Bantuan-bantuan pemerintah dan tunjangan-tujungan
Untuk siswa dan operasional pendidikan, ada bantuan beasiswa untuk siswa miskin (BSM), ada Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dan yang lainnya. Untuk gurunya ada tunjungan kabupaten, tunjangan provinsi, ada tunjungan daerah terpencil dan yang lainya.
Beberapa Kelemahan
1.Program SM3T
Penulis melihat program ini cukup bagus untuk mengisi kekurangan guru-guru di daerah terpencil. Namun, jangan sampai program ini justru bisa mematikan putera daerah. Karena umumnya yang dikirim pada program ini, adalah sarjana-sarajna muda yang berasal dari kota-kota besar. Alih-alih memperbaiki system yang sudah ada, mulai tahun depan program sudah tidak ada.
2.Program pendidikan untuk anak-anak TKI
Selama ada warga Indonesia yang tidak mendapatkan pendidikan maka pemerintah wajib memberikan pendidikan. Namun sebaiknya program tersebut dibarengi dengan visi dan misi yang jelas dan terukur. Dengan pendidikan diharapkan para TKI menyadari dan mengerti atas haknya sebagai individu dan sebagai warga negara dan sekaligus menyadari kewajibannya.
Selain itu program tersebut seharusnya mempunyai target jangka panjang; memberikan pengaruh atas kehidupan sosial-ekonomi mereka. Untuk masalah ini harus ada kerjasama dengan kebijakan di bidang lain, salah satu nya dibidang ketenagakerjaan.
Idealnya ada target yang jelas kapan program ini berakhir. Berakhirnya program ini bukan karena pemerintah tidak melaksanakan tanggung jawabnya. Namun karena tugas pemerintah sudah selesai. Berakhirnya program ini adalah indikasi bahwa program ini sudah tepat sasaran. Dengan pendidikan yang mereka dapatkan, para TKI memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan memajukan negaranya sendiri.
Penulis tidak melihat adanya visi seperti ini. Justru yang bahaya program ini menjadi kontra produktif dengan program pemerintah yang lain.
3.BOS
Dengan kebijakan BOS yang sudah dimulai dari tahun 2005, faktanya masih banyak sekolah yang sarana prasarana pendidikannya kurang. Masih ada sekolah yang memungut biaya dari siswanya dengan alasan bahwa BOS tidak menutupi semua aspek pendidikan. Bos dengan perangkat aturannya menjadi bahan mainan oknum-oknum tertentu; Kepala sekolah, dinas pendidikan kabupaten, dan jajaran petinggi di kabupaten. Bos menjadi lahan bisnis bersama untuk memakmurkan para oknum tersebut. Yang anehnya, hal seperti ini seperti tidak terendus oleh pemerintah pusat.
Harus ada sistem yang tegas dan berwibawa untuk mengawal program ini. Laporan pertanggung jawaban bukan hanya melihat dari laporan di atas kertas. Laporan harus dilihat dari rasionalistas dan bukti-buktinya. Kalau dalam laporan itu tidak rasional dan tidak bisa dibuktikan, maka ada baiknya di usut tuntas.
4.Sertifkasi
Tujuan hadirnya program sertifkasi adalah mewujudkan guru-guru yang professional. Guru-guru yang professional akan berimbas pada kualitas pendidikan dan anak-anak didiknya. Keprofesionalan ini dibuktikan dengan sertifikat professional. Konpensasi dari keprofesionalan adalah tunjangan sertifikasi.
Fakta di lapangan, tujuan baik seperti ini justru banyak diakali oleh para oknum pejabat. Program ini lagi-lagi menjadi proyek kelompok-kelompok tertentu. Proyek membuka kelas jauh untuk penyetaraan S1, proyek diklat-diklat, dan proyek-proyek lainnya. Akhirnya bukan lagi kualitas pendidik yang dikejar. Namun berlomba mendapat ijazah S1 dan memperbanyak sertifikat.
Presiden SBY mungkin tidak tahu fakta-fakta lapangan seperti ini. Program ini tidak perlu dihilangkan karena masih banyak guru yang professional. Namun yang harus dibenahi adalah sistem penilaiannya dan sistem evaluasi berkelanjutan.
5.Bantuan-bantuan
Seperti halnya BOS, di lapangan banyak sekali bantuan-bantuan tersebut tidak kena sasaran. Bantuan-bantuan tersebut lebih banyak masuk ke kantong para oknum penjabat.
Penutup
Dalam 10 tahun terakhir, sudah banyak kebijakan yang baik untuk pendidikan. Seharusnya kalau semua kebijakan tepat sasaran, pendidikan Indonesia sudah maju. Kebijakan-kebijakan dalam pendidikan seperti itu adalah modal besar untuk pemerintah berikutnya. Tentunya sejumlah terobosan dan kebijakan harus diambil juga untuk menguatkannya agar tepat sasaran.
*Penulis adalah pendidik untuk anak-anak Indonesia di Sabah, Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H