Untuk  muslim dan muslimah, menikah bukan hanya sekedar penyatuan dua pecinta.  Bukan juga sekedar mencari keturunan. Namun yang harus menjadi prinsip  utama adalah keyakinan bahwa menikah merupakah ibadah. Menikah merupakan  salah satu bentuk kepatuhan manusia sebagai hamba Allah. Menikah adalah  untuk mencari rida Allah.
Mendirikan  sebuah bangunan rumah tangga merupakan ladang amal. Oleh karenanya,  bagi yang berpegang pada prinsip tadi, saat memulai atau menjalani  pernikahan maka ia siap menghadapi kenikmatan dan sekaligus  permasalahannya.
Bukan  sekedar siap, namun siap menjadikan kenikmatan dan permasalahan menjadi  sebuah tabungan amal ibadah. Bagaimana bisa? Tentu bisa. Dengan syarat  mengelola kenikmatan dan permasalahan berdasarkan aturan-aturan Allah.
Allah  mengingatkan kepada kita dalam Surat Al-Baqoroh Ayat 187, "Mereka  adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka." Isteri  merupakan pakaian suami dan suami pakaian isteri.
Ada  beberapa fungsi pakaian; pertama, menutupi aurat dan kekurangan  pemakainya. Kedua, melindungi badan dari terik matahari. Di saat yang  lain, ia pun melindungi dari dingin yang memilukan tulang-tulang.  Ketiga, memperindah pemakainya.
Dengan  tamsil ini, tugas suami dan isteri adalah; pertama, saling menutupi  kekurangan pasangannya, baik yang dhohir maupun batin. Ketika isteri  punya aib, maka suami harus menutupinya. Suami tidak boleh menjadikan  aib seorang isteri menjadi bahan obrolan, bahkan hanya sekedar candaan.  Jika suami memiliki kekurangan dalam pengetahuan, isteri harus  mengajarinya.
Kedua,  saling memberikan pelayanan terbaik kepada pasangannya. Saat isterinya  sakit, suami harus memberikan pengobatan. Saat suami terpuruk, isteri  harus membangkitnya. Ketiga, saling memperindah pasangannya. Suami tidak  boleh membiarkan isteri menjadi orang yang tidak dihargai di  lingkungannya. Isteripun tidak boleh membuat suami menjadi orang yang  kehilangan wibawanya di hadapan para koleganya.
Ayat  diatas menjelaskan bahwa pernikahan adalah hubungan antara dua orang  yang mempunyai fungsi yang sama. Tidak ada satu pihak yang lebih  superior dari pihak yang lain.
Namun  demikian, tanggung jawab suami memang lebih besar sebagaimana firman  Allah dalam surat An-Nisa ayat 24; "Kaum lelaki adalah qowwam (pemimpin)  bagi perempuan."
Disini,  untuk menunjukan kata pemimpin, Quran memilih menggunakan kata Qowwam  dari pada kata Aamir. Qowwam merupakan derivasi dari kata Qooma  (berdiri), sedangkan Aamir berasal dari kata Amaro (memerintah). Hal ini  menegaskan bahwa peran yang lebih besar ada pada suami adalah tanggung  jawabnya, bukan superioritasnya dalam memerintah ini dan itu. Tugas  suami adalah menjadikan isterinya mampu bangun dan berdiri bergandengan  tangan bersamanya.
Tanggung  jawab suami tidak hanya dalam bentuk sikap dan perbuatan, namun juga  dalam sebuah ucapan. Untuk keberlangsungan tali pernikahan, Allah  memberikan tanggung jawab lebih kepada suami untuk memutuskan atau  mempertahankan pernikahan dalam sebuah ucapan; TALAK.