Ratusan pasang mata mencengkeram orang yang sedang berbicara di depan. Jangankan badan yang bergerak ke kiri dan kanan sebagai upaya menarik perhatian, bahkan urat-urat di dahipun tidak luput dari tajamnya sorotan mata-mata tersebut. Telinga-telinga yang hadir seolah berlomba memperpanjang dirinya untuk bisa menjadi yang terdekat ke sumber suara. Alasannya karena tidak ingin melewatkan satu hurufpun yang keluar dari lidah konsultan politik ternama.
Saking pentingnya paparan yang disampaikan oleh sang pembicara, raga-raga yang hadir di auditorium hotel elit kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Pusat itu pasti lebih rela menghentikan nafas dan detak jantung mereka jika mengganggu konsentrasi mereka. Sayang itu hal mustahil. Mustahil karena para peserta seminar tersebut adalah orang-orang masih terlalu cinta dunia. Uang mereka tidak cukup disimpan di bank. Mobil mereka tidak muat di puluhan garasi yang mereka buat. Semua rumah, villa, dan apartemen dengan embel-embel mewah bahkan bersesakan di dalam hati mereka.
"Saya dengar para politisi itu hidupnya tidak tenang, benar tidak?" Anak muda yang dianggap konsultan politik sukses tersebut memberikan jeda ucapannya. Ia lemparkan ratusan belati yang keluar dari tatapan matanya agar bisa langsung menembus jantung-jantung dan membongkar isi batok kepala seluruh peserta.
Bersamaan lemparan itu, tidak sedikit peserta yang manggut menyetujui, banyak yang senyum kecut menyadari betapa tidak lucunya fakta tersebut, namun lebih banyak peserta yang mencoba tidak tejebak dengan pertanyaan tersebut, sayang alam menjadi saksi kegelisahan mereka. Aspal di jalanan, bangunan-bangunan rumah sakit dan sekolah, dan bahkan bisa jadi pakaian yang mereka kenakan barang bukti yang tidak ingin mereka lihat.
"Hemat saya, kemenangan terbesar di dunia politik adalah saat visi, misi dan strategi politik Bapak dan Ibu menjadikan hidup dalam ketenangan. Politik itu..." Sang pembicara terpaksa menghentikan kata-katanya demi melihat seorang politisi dari partai pengekor berdiri dan dengan pelantang suara (mikrofon) di genggaman tangannya. Politisi yang wajahnya sering muncul di layar televisi tersebut mencoba menginterupsi sang pembicara dengan gaya tengilnya yang khas.
"Maaf, Anda diminta datang ke acara ini bukan untuk bercerita tentang isu moral. Saya datang ke acara ini hanya ingin mengetahui strategi dan taktik politik hebat era ini. Terus terang saya menyesal datang ke sini."
Kalimat serangannya langsung menukik tanpa kata pengantar tidak kenal belok kiri-belok kanan seperti yang ia selalu tontonkan di media massa. Namun ambisi yang terlalu penuh sulit untuk tidak meluber keluar. Dari tiga kalimat yang ia lontarkan, memang kalimat pertama bentuknya serangan. Namun dua kalimat berikutnya menunjukan siapa dirinya. Sekaligus dua kalimat terkahir itu menafikan kalimat serangan kepada lawan bicaranya.
Moderator yang dari tadi diam saja sepertinya menyadari sesuatu. Ia langsung mencoba mengambil peran untuk mengingatkan aturan main seminar. Namun ia harus kecewa. Ucapannya terpotong oleh sang pembicara yang langsung merespons penanya tadi.
Sang konsultan tahu persis bahwa ia telah menjegal sang moderator. Tapi itu ia lakukan demi sebuah pembelajaran bagi moderator di sampingnya. Panglima dalam sebuah seminar bukan pribadi saya, kamu atau dia tapi aturan. Saat aturan dikesampingkan, maka akan ada yang merasa terdzolimi. Apalagi moderator adalah pengatur dan pengawas ketertiban melalui aturan yang telah disepakati.
"Anda salah alamat," ucap sang konsultan dengan nada suara terkendali namun tegas, dengan tatapan langsung tertuju kepada penanya. "kata siapa saya diminta berbicara seperti apa yang anda katakan? Kalau ingin belajar strategi marketing, seharusnya anda berguru kepada panitia acara ini. Lihat! karena strategi yang dijalankannya, seorang politisi andal seperti anda bisa bertekuk lutut." Suara auditorium mendadak ramai dengan suara ketawa dan suara huuh saling bersahutan.
"Saya tidak butuh penyesalan anda. Kalau menyesal, anda boleh angka kaki dari auditorium ini sekarang juga." Kata-kata itu sebetulnya yang berjalan di benak sang pembicara, tapi mulutnya memilih mengabaikannya. Ia teringat pesan Abah empat tahun silam.