"Di  Indonesia, banyak mana antara Islam tuntunan atau Islam Turunan?" Di  usia 14 tahun, Sukun berusaha memunculkan daya berpikir kritis. Hanya  sebatas defensif, ia tidak bisa melakukan counter attack atas  serangan-serangan bertubi-tubi dari berbagai lini.
Sang  senior cerita pengalaman dirinya yang sudah masuk sebuah gerakan suci.  Gerakan bawah tanah dalam mengislamkan orang Islam. Ia cerita bahkan  kantornya berhadapan dengan kantor kepolisian. Ia mengingatkan ketika  sudah berbaiat maka hakikatnya kita sedang berjuang, seperti perjuangan  Rosul dan Sahabat Mekkah saat pertama hijrah ke Madinah. Ia mengingatkan  bahwa Alloh pasti akan menjadi penolongnya. Buktinya aktivitas mereka  tidak terendus oleh penegak hukum. Ia menambahkan, seperti hal  perjuangan awal Rosul, kelompok mereka masih sedikit.
Tambah  Yuswandi bercerita, Sukun menjadi tambah tidak mengerti. Ada logika  yang salah dalam cerita-cerita dan penjelasan seniornya. Namun, ia tidak  punya amunisi apapun untuk menangkal rudal-rudal yang ditembakkan Kakak  kelasnya itu. Ia hanya bisa berusaha menghindar agar selamat dari  serangan lawan bicaranya, "Terus, bagaimana kalau saya tidak ikut  baiat?" Pertanyaan cukup cerdas yang bisa mengembalikan kepercayaan  diri. Kalau dalam main catur, mengorbankan Fatih pun gak masalah, yang  penting raja musuh tertangkap.
"Ya, berarti tidak masuk Islam Tuntunan. Berarti kamu masih kafir," jawab senior merasa menang.
Walaupun  belum banyak belajar tentang tafsir, hadits, sejarah dan kajian  keislaman lainnya, Sukun adalah anak yang sudah dilatih berpikir kritis  oleh Abah di rumah. Ia selalu belajar melaah keselerasan antara satu  kalimat dengan kalimat yang lain yang diucapkan seseorang. Ia diajarkan  melihat hubungan sebuah kalimat dengan konteks kehidupan. Ia belajar  keras untuk bisa memahami kesingkronan kalimat dengan logika berpikir.  Yuswandi tidak menyadari pertanyaan-pertanyaan Sukun bukan sebagai  konfirmasi kesetujuannya. Namun ia ingin melihat sekuat apa dasar yang  disampaikan Yuswandi.
Pertanyaan  itu merupakan jurus pamungkas sebetulnya. Kalau bisa nebak arah  pertanyaan itu, mungkin Yuswandi tidak akan menjawab seperti tadi.
"Kalau  begitu, bagaimana dengan Pak Kiayi kita? Bagaimana dengan ustadz-ustadz  di pesantren kita? Mereka kan tidak pernah dibaiat. Apakah kamu berani  mengatakan mereka juga Kafir? Kalau mereka kafir, kenapa kamu belajar  Islam dari orang-orang kafir?"
Mendengar  pertanyaan bertubi-tubi, Yuswandi baru paham bahwa Sukun masih cukup  terjal untuk ia panjat. Ia bisa menghitung apa yang akan Sukun lakukan  kalau ia teruskan obrolan malam itu. Apalagi tentang kiayi, guru-gurunya  dan pesantrennya. Ia memutuskan untuk mengakhiri obrolan malam itu  dengan mengajak tidur kembali sampai fajar menjemput.
===
Mendengar  argumen-argumen Sukun dan cerita sukun tentang Seniornya, Abah tampak  lebih tenang sekarang. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari anakku,  Alhamdulillah." Ucap Abah dalam hati.
"Kamu yakin, Abah Kafir?" Tanya Abah menguji Sukun.