Penulis tidak tahu pasti kapan istilah golput mulai lahir, konon lahir pertama kali menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Golput adalah akronim untuk golongan putih yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak memilih saat pemilu. Untuk lebih mudah penulispun menggunakan kata golput untuk menyebut yang kelompok yang tidak memilih ini. Ada bermacam alasan dan motivasi yang berbeda saat memutuskan untuk tidak memilih. Sama seperti orang-orang yang memutuskan untuk memilih. Bisa karena alasan disuap oleh uang, barang, makanan, jabatan, atau mungkin alasan-alasan lain yang lebih baik dan ideal dari sekedar suap tadi.
Di saat-saat mendekati pemilu -pestanya para politisi- sepeti bulan-bulan ini, orang-orang yang –berpotensi- tidak memilih menjadi target yang tampak seksi dan menggoda untuk di bujuk dan di rayu agar memilih partainya. Tentu pendekatan yang dilakukan oleh setiap kader partai akan berbeda. Tergantung keberadaan sang target dan disesuaikan dengan tingkat keahlian sang kader. Ada target yang hanya cukup dengan pendekatan ‘materi’, ada juga yang harus di ajak untuk ‘duel’ logika. Ada kader yang bisanya sumuhun dawuh (pengekor); Saat telunjuk senior ke utara, tanpa perlu berpikir ia akan pergi ke utara. Ada juga kader yang punya kemampuan berbicara dan berpikir lebih dari yang lainnya, namun umumnya kemampuannya hasil training dari senior atau partainya, sehingga argumentasi-argumentasi yang ia jadikan senjata mudah ketebak, karena menggunakan argumentasi-argumentasi yang sama.
Ijtihad Politik?
Ijtihad adalah kata arab yang berasal dari kata jahada yang mengandung arti ‘sungguh-sungguh’. Ijtihad Politik mengandung arti adanya kesungguhan (serius dan mendalam) memikirkan pilihan berpolitik berdasarkan argumentasi-argumentasi yang sahih. Saat hasil pemikiran itu adalah memutuskan tidak memilih satu partaipun ketika pemilu, maka itulah hasil ijtihadnya. Karena berpolitik bukanlah berpartai.
Sama seperti orang-orang yang memutuskan untuk berpartai, menjadi simpatisan atau hanya sekedar untuk memilih saat pemilu. Keputusan-keputusan mereka merupakan ijtihad politik mereka, selama keputusanya melalui hasil pemikiran yang matang. Oleh karenanya berusaha mengajak atau mempengaruhi yang sudah mempunyai ijtihad politik sama dengan mengusik hasil ijtihad seseorang. Konsekuensi logisnya mengajak orang yang golput, sama dengan mengajak kader partai A untuk masuk partai B.
Menurut H. Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985), demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat atau diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintah.
Pemilu adalah salah satu bagian dari berdemokrasi. Sedangkan memilih adalah bagian kecil dari proses pemilu itu. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa yang tidak memilih tidak berdemokrasi, maka ia harus belajar banyak.
Terus terang sampai saat ini, penulis baru sekali ikut memilih di bilik suara. Pilihannya berlabuh kepada ke partai demokrat, dan itupun waktu pemilihan presiden. Alasannya 1. Saat itu track record demokrat dan pemerintahan SBY sebelumnya tampak bagus, beliau menjalankan penuh pungsi kepala pemerintahannya, 2. Partainya salah satu partai yang berani berbeda dengan yang lain; berani “KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI”.
Namun apa faktanya? betapa kecewanya penulis saat tahu ternyata partainya di huni oleh-oleh koruptor-koruptor kelas kakap. Betapa marahnya ketika tahu sang presiden, di saat tugas kenegaraan malah menyempatkan diri untuk mengurusi partainya dengan membawa pesan-pesan kepada lembaga negara (KPK), betapa malunya saat sang presiden yang penulis pilih menggunakan fasilitas kenegaraan hanya untuk mengurus kelompok dan partainya. Sebagai orang yang beragama, penulis merasa berdosa karena ikut memilih partai dan orang yang berbuat kejahatan –menurut keyakinan penulis, walaupun versi hukum Indonesia mungkin tidak.
Penutup
Harapan penulis ada dua dengan skala prioritas;
Pertama, penulis berharap partai-partai saat ini terus memperbaiki diri menjadi organisasi yang baik yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia, bukan hanya untuk perut-perut kader-kader partainya. Tentu baik buruknya organisasi bergantung kepada para pemimpin dan kader partai tersebut. Kalau partai-partai ini berevolusi menjadi partai-partai yang baik, maka masyarakat akan dengan senang hati memilih partai yang terbaik dari yang baik-baik.
Kedua, Kalau memang tidak demikian, semoga 99 % warga negara Indonesia memutuskan untuk tidak memilih. Kalau demikian faktanya maka saatnya merevolusi hukum dan ketatanegaraan Indonesia.
Penulis yakin kelompok golput bisa merubah ijtihad politiknya saat ada pigur atau partai yang baik. Contoh yang masih hangat dipikiran kita adalah bagaimana saat Jokowi-Ahok menjadi pasangan yang lolos ke putaran ke-2. Dua sosok itu membuat malu lembaga-lembaga survey yang saat itu sama sekali tidak ada yang menjagokan mereka. Mereka dihantam oleh isu agama, isu primordial bahkan para tokoh politik turun tangan untuk memfitnah dan menghambat mereka, namun faktanya mereka sekarang menjadi DKI 1 dan 2.
Fenomena ini menjelaskan kepada kita bukanlah orang yang paling hebat berdalil atau orang yang paling terkenal yang akan menjadi panutan rakyat. Tapi integritas seorang pemimpinlah yang menjadi dambaan rakyat.
Keterpilihan mereka bukan hanya karena dua partai pengusungnya, bukan juga karena swing voter dari partai kalah di putaran pertama, tapi karena banyak kelompok golput yang merubah ijtihad politiknya.
Ada beberapa dasar kenapa golput menjadi pilihan yang benar saat ini, penulis tuliskan di 6 Alasan yang Mewajibkan Anda Golput
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H