Florencje menjadi terkenal akhir-akhir ini karena statusnya di path yang menghina warga Jogja. Penulis mencoba melihat kasus ini dari semua sisi. Agar kita tidak menjadi bangsa yang merasa benar karena mayoritas. Kita tidak menjadi hakim jalanan karena merasa jadi pribumi. Ada norma dan aturan yang mengikat kita dalam berbangsa dan bernegara.
Kita harus menyamakan persepsi dulu. Adalah hak seseorang untuk membeli item yang dia inginkan, ketika ia datang ke sebuah toko. Tidak boleh si penjual memaksakan pembeli apa yang tidak dia inginkan.
Florencje yang menghina orang jogja adalah sebuah kesalahan. Baik secara etika maupun secara logika ilmiah -seharusnya mahasiswa S2 berfikirnya ilmiah. Menghina dan melecehkan orang lain, apalagi komunitas adalah sebuah perbuatan yang tidak mempunyai etika yang baik. Karena kekesalannya ke penjaga SPBU dan orang-orang yang menyorakinya, kenapa harus menyalahkan masyarakat Jogja? Apakah semua orang yang hadir saat itu ikut menyoraki? Belum tentu. Apakah yang menyorakinya semua warga Jogja? Tidak pasti. Bahkan andaipun semua orang hadir saat itu menyoraki, mereka bukanlah representasi warga jogja. Dalam Rekayasa Sosial Jalaludin Rahmat, kesalahan cara berpikir seperti ini disebut Fallacy of Dramatic Instance. Lebih mudahnya kita sebut over generalisasi. Kalau menurut nenek moyang saya 'nyakompet daunkeun.'
Sekarang penjaga SPBU yang menolak menuangkan pertamax. Apakah ada aturan bahwa pertamax hanya untuk yang berkendaraan mobil? Kalau tidak ada maka penjaga SPBU itu pun bersalah. Bahkan sebaiknya Florencje melaporkannya ke pihak yang berwenang. Namun jika tidak ada, yang bersalah adalah pertaminanya. BBM itu bukanlah barang seperti mainan anak. Warga negara mempunyai untuk mengkonsumsinya dan pihak pertamina tidak boleh melarang dan mengahalangi warga negara untuk membelinya. UUD 1945 pasal 33 ayat 3 telah menjaminnya "bumi dan air dan kekayaan alam di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Dalam kasusnya Florencje, dia bukan menorobos. Dia memilih untuk antri dengan deretan mobil. Dia tahu resikonya, bahwa yang akan dia beli adalah pertamax yang non subsidi. Tentu ia mengeluarkan ongkos lebih mahal.
Yang menyoraki. Perbuatan sorak menyoraki memang bukan perbuatan kesatria, tidak jentel. Bukan hanya itu, menyoraki hanya membuat orang lain dipermalukan. Sikap seperti ini memang bukan sikapnya orang yang terdidik; mempermalukan orang lain menjadi kebanggaan. Ya, para penyorak itu sama-sama tidak beretika dan tidak terdidik.
Langkah Florencje seharusnya bukan menghina warga Jogja di media massa, namun laporkan pihak Pertamina atau petugas SPBU ke kepolisian karena mereka telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang dijamin oleh UUD 1945. Justru inilah sikap yang mendidik. Indonesia adalah negara hukum. Hukumlah menjadi panglima bermasyarakat dan bernegara. Pendidikanya adalah maka setiap warga agar berpikir dulu sebelum berbuat. Apakah perbuatannya sesuai aturan atau tidak?
Atau apakah memang mereka semua mencerminkan kita, bangsa Indonesia? Semoga tidak.
Sumber:
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H