Mohon tunggu...
Saifuddin Du
Saifuddin Du Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah apa yang ada di hatiku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia dalam Sungai

10 Desember 2011   13:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:34 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebuah sungai dapat dipahami sebagai sebuah mata air. Ia mengalir, tetap mengalir, dan terus mengalir. Adakalanya arusnya menantang ganasnya air terjun, terjalnya pegunungan dan bukit, namun suatu ketika juga dengan damainya mengarungi sawah-sawah, lembah dan hutan belantara. Ia berjalan dari tempat ke tempat, desa ke desa, kota ke kota. Dan nantinya ia berhenti di ujung hamparan luas samudera. Sebuah sungai dapat menjadi sarana bagi siapa saja yang ingin berjalan seirama dengan alam raya, namun juga dapat menghanyutkan bagi siapa saja yang kurang hati-hati dan waspada. Sungai bisa menjadi tempat bercermin bagi manusia dan bahkan langit di angkasa.

Catatan ini sebenarnya terinspirasi dari dua hal, yaitu pengajian salah seorang budayawan, Emha Ainun Nadjib, dan buku salah seorang pujangga, Sindhunata. Dari keduanya yang saya dapatkan adalah sebuah hikmah, yang terkandung dalam salah satu fenomena alam yang dalam bahasa sehari-hari disebut “sungai”. Sungai ternyata memiliki rahasia-rahasia yang menarik dan sarat makna, baik itu dari arusnya, isi di dalamnya, atau hulu dan hilirnya, yang dapat digunakan sebagai bekal oleh manusia dalam menjalani kehidupan.

Memahami sungai layaknya memahami kehidupan manusia sendiri: berjalan, tetap berjalan dan selalu berjalan. Adakalanya ia damai dan tenang, namun suatu ketika jenuh dan menegangkan. Kehidupan manusia memiliki asal dan tujuan layaknya sungai memiliki hulu dan hilir. Arus adalah peredaran waktu dalam kehidupan, sedangkan kawah adalah tempat atau ruang keberadaannya. Pada saatnya sungai pun akan berhenti oleh kematian di ujung lautan. Terkait sungai adalah kehidupan, ada beberapa pelajaran dan hikmah yang dapat diperoleh darinya:

Pertama. Sungai berhulu di sebuah sumber air kemudian hilirnya pun ke sumber air. Bermula dari mata airnya ia terus saja mengalir, dari waktu ke waktu ia pun semakin mendekati hilir tujuannya. Pada hakikatnya hulu, hilir dan sungai itupun satu: air juga. Ada kalanya sungai terhenti atau diberhentikan, semisal di sawah-sawah, bendungan atau pemandian penduduk, tetapi justru ketika ia berhenti dan tidak mengalir itu ia tidak bisa disebut sungai lagi. Demikian halnya dengan manusia, dalam hidupnya ia mempunyai asal dan tujuan. Asal dan tujuan manusia itu pun satu: Tuhan penguasa ruang dan waktu. Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam dan seterusnya, manusia pun harus senantiasa mendekat untuk kemudian dapat bersatu dengan Tuhannya. Manusia tidak layak dikatakan manusia ketika ia berhenti dari usaha bersatu dengan Tuhannya itu.

Kedua. Sungai itu berjalan, tetap berjalan dan terus berjalan, tetapi sungai itu disana, tetap berada di sana dan selalu berada di sana. Ia tetap menjadi sungai yang itu-itu juga. Dalam arusnya sungai telah melanglang buana, mengarungi gunung, bukit, lembah, sawah dan hutan belantara. Tetapi ia tetap sungai yang itu-itu juga. Perihal ini mengandung maksud bahwasanya manusia selayaknya tetap menjadi dirinya sendiri. Dimanapun ia berada dan kemanapun tujuannya, manusia haruslah tetap mempertahankan dirinya. Buah kenikmatan apapun yang telah manusia petik, karang kebahagiaan apapun yang telah manusia dapat, harusnya tidak pernah merubah ia menjadi orang lain dan meninggalkan dirinya sendiri.

Ketiga. Di balik kesuciaannya, di kedalaman sungai terletak berbagai kekayaan: beribu-ribu ikan yang berenang di antara himpitan bebatuan, atau bahkan juga mutiara, intan dan berlian. Tetapi yang ditampakkannya hanyalah secuil kesederhaan, dan juga arusnya yang kadang berada dalam kekeruhan. Kemudian apa yang ia dapatkan? Langit dan angkasa raya pun berkaca padanya, udara di atas permukaannya juga berenang-renang mencari kesegarannya. Manusia pun demikian, ketika ia mampu bertahan dalam kesederhanaan diri, ia sembunyikan segala kekayaan dan kelebihan yang ia punyai, semua penghuni langit pun akan melihatnya, berguru dan menirunya, mendoakannya, bahkan iri kepadanya.

Keempat. Sungai senantiasa berjalan, tampak ia seperti mencari dan merindukan sesuatu. Akan tetapi justru karena pencarian dan kerinduaannya itu, sungai selalu mendapatkan sesuatu yang baru: teman baru, lingkungan baru, kekayaan baru. Perumpamaan ini paling tidak mengandung dua pengertian. Pertama, manusia haruslah senantiasa berjalan supaya selalu bisa ia dapatkan pengetahuan baru, teman baru dan pengalaman baru yang itu semua merupakan anugrah dan kekayaan miliknya. Kemudian yang kedua, manusia harus selalu berhijrah dari keburukan-keburukan yang ada dala dirinya, sehingga nantinya akan menemui kebaikan dan kemulyaan dalam dirinya.

Kelima. Berbicara mengenai sungai tak ubahnya berbicara mengenai air. Sungai itupun dalam kenyataannya memang berupa air yang mengalir. Telah menjadi sifatnya bahwa air akan mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Ini adalah arti tentang kerendahan hati (tawadhu'). Tetapi kemudian air pun akan menjadi lebih tinggi ketika ia menguap di udara menjadi awan. Ini menunjukkan manusia yang bersedia merendahkan hatinya ia akan diangkat derajatnya oleh Tuhan pencipta alam semesta. Selain itu, banyak juga dijumpai istilah-perumpamaan berkaitan dengan air yang dapat kita jadikan pelajaran dari padanya.

Tentu masih banyak lagi rahasia-rahasia sungai, yang karena keterbatasan saya, tidak saya sebutkan di sini. Paling tidak dari kekurangan-kekurangan tersebut, saya harapkan menjadi semangat dalam diri saya pribadi untuk senantiasa belajar dan belajar, mencari dan mencari: tentang manusia dan tentang alam semesta. Kehidupan manusia di semesta ini diatur oleh hukum alam (sunnatullah). Maka, ketika manusia ingin memenangkan kehidupan, haruslah ia terlebih dahulu belajar dari dan tentang alam. Kemudian dalam keyakinan saya, ketika manusia telah tinggal bersama alam, mengenal alam, dan kemudian merasakan alam, betapa akan terbuka sejuta rahasia tentangnya. (sai)

Pondok Aren
15 Oktober 2011
Diperbaiki pada 06 Desember 2011
Kompasiana | Blogspot

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun