Mohon tunggu...
Saifuddin Du
Saifuddin Du Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah apa yang ada di hatiku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mendaki Gunung Kehidupan

6 Maret 2012   13:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:26 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Saifuddin Du

Aku sudah memikirkannya masak-masak, pelan-pelan ia telah dapat kuterima sepenuhnya. Bukan sebuah kebetulan, tetapi memang karena telah ada sekenario yang pasti. Aku pun mulai meyakini tak ada satu kejadian pun di jagad raya ini tanpa campur tangannya. Betul adalah benar, maka kebetulan sama halnya dengan kebenaran. Sekarang aku mencoba untuk menuliskannya, untuk sedapatnya memetakan isi dalam kepalaku. Memang tak akan pernah ada rumusan yang pasti, tapi paling tidak menulis itu untuk mengaktualisasi yang asalnya cuma bayang-bayang, yang hanya lintasan-lintasan yang tiba-tiba muncul dalam pikiran, menyapa di lembutnya perasaan, yang kemudian secara perlahan membentuk suatu keyakinan.

Paling tidak itulah bunyi gejolak hatiku sebelum mulai menulis catatan ini. Catatan ini sendiri berawal dari sebuah testimoni yang ditulis salah seorang teman ketika acara makrab di Puncak Bogor. Bukan berarti sebelumnya aku tak pernah memikirkannya, jauh hari sebelum itu ia telah menghantui pikiranku, kemudian aku dapatkan sedikit demi seikit jawabannya. Maksudku adalah bahwa testimoni itulah yang merangsang otakku untuk memikirkannya kembali, kemudian menginspirasi untuk mengaktualisasikannya dalam bentuk tulisan. Kebetulannya (baca: kebenarannya) adalah tiba-tiba muncul lintasan ghaib di otakku memberikan jawaban dengan gambaran baru yang unik dan menarik hatiku. Dan kebetulannya juga, gambaran itu adalah sebuah gunung, tempat di mana aku dapatkan inspirasi tentangnya.

Pada secarik kertas, di antara 33 testimoni yang diberikan teman-temanku ada satu kalimat berbunyi demikian: “Bang, jangan diam-diam aja! Jangan jadi kebiasaan suka nulis tapi tidak suka sosialisasi, karena menganggap orang lain gak ngerti omongan, Abang.” Terkhusus untuk temanku, Dolly Nasution, aku ucapkan terima kasih atas sarannya, hehe. Sedikitnya catatan ini memberi gambaran tentang alasan-alasan yang mendasari kebiasaanku itu.

Aku terjemahkan sendiri bahwasanya penyebab hal itu adalah karena aku terhitung jarang berbicara mengenai kebiasaan menulisku dan menyampaikan gagasan-gagasan yang kutuliskan kepada orang lain. Atau, karena beberapa kali aku menjawab enggan ketika beberapa teman memintaku untuk mengirim tulisan-tulisan ke media tertentu. Atau barangkali karena aku beberapa kali menolak ajakan teman untuk mengikuti lomba tulis-menulis. Atau mungkin juga karena alasan-alasan lain yang banyak, yang semua itu mengarah pada sifatku yang “kurang terbuka”.

Bagiku, sebaik-baik perjalanan hidup seseorang ketika telah mencapai kematangan usia (dewasa) adalah yang seperti pendakian gunung, dimana puncak gunung itu adalah tujuannya. Gunung itu sendiri secara umum dari kejauhan tampak berbentuk segitiga. Bagian bawahnya lebar, semakin ke atas semakin sempit, dan akhirnya sampai di titik puncaknya. Pendakian gunung itu bukanlah perjalanan yang ringan, selain karena jalannya yang menanjak, pendakian juga terkadang harus melewati rintangan yang sulit dan penuh teka-teki.

Perjalanan hidup seseorang setelah dewasa adalah perjalanan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Tentu saja itu sama sekali bukan perjalanan supaya menjadi terkenal, atau dalam rangka mencari ketenaran. Justru sebaliknya yaitu perjalanan yang menuju diri sendiri untuk mencari jati diri, sampai akhirnya mencapai titik mengenal dan bersatu dengan Tuhan. Perjalanan hidup tersebut menyempit dan terus menyempit, dari yang asalnya bersama dan tergantung pada orang tua, teman atau yang lain, menuju kesunyian hidup yang berlatih untuk tidak lagi bersama dan tergantung pada mereka. Inilah yang kumaksudkan dengan penjalanan hidup yang seperti pendakian gunung.

Adapun kepopuleran atau ketenaran itu hanyalah salah satu efek dari perjalanan yang menyempit tadi, bukan tujuan. Ketika seseorang mendaki gunung, ada kemungkinan bahwa ia akan tampak dan dipandang oleh banyak orang atau bahkan makhluk lain karena ketinggian tempatnya. Dan kalaupun tidak ada yang memandang, itu tidak menjadi masalah juga, karena memang bukan tujuannya. Yang pasti adalah ketika seseorang berada di atas gunung, banyak yang akan ditampakkan untuknya, semakin dekat ia dengan langitnya, dan semakin dekat ia dengan puncak tujuannya.

Perjalanan hidup seseorang yang menuju dirinya sendiri adalah perjalanan yang mengambil jarak dari kehidupan itu sendiri, dari kesenangan-kesenangan sementara di dalamnya yang menggiurkan. Tentu saja ini bukan perjalanan yang ringan, tapi menanjak seperti pendakian gunung, membutuhkan tekad yang kuat dan perjuangan yang keras. Adapun mengambil jarak dari kehidupan itu dimaksudkan untuk dapat melihat dan menilai kehidupan itu secara lebih objektif. Seperti halnya ketika melihat sapi, tidak akan terlihat sapi kalau jaraknya terlalu dekat dengan sapi itu, dan akan terlihat sapi jika dilihat pada jarak tertentu. Maka seseorang yang ingin mengenal dan mengerti hidup, harus bersedia mengambil jarak dari kehidupan itu.

Dalam perjalanan hidup manusia setelah dewasa menuju paripurna, jika itu merujuk pada pribadi Muhammad, lihatlah kebiasaan dan perjuangannya sebelum menjadi nabi. Lihatlah ketika ia menjauhi kaumnya yang berbuat kerusakan dan maksiat, lihatlah ketika ia menyendiri di gua Hiro’, lihatlah ia dalam kesunyiannya. Kalau setelah kenabian ia banyak bergaul dangan kaumnya, ia begitu dikenal bahkan oleh dunia, itu hanyalah efek dari perjalanan menuju dirinya sendiri dan Tuhan. Bahwa setelah perjalanan itu, “panggilan jiwanya” adalah sebagai rasul yang menyampaikan pelajaran dan hikmah bagi umatnya. Pemahaman yang sama pun didapatkan jika perjalanan hidup tersebut merujuk pada pribadi besar dan hebat lain, seperti nabi Ibrahim, Sidharta Gautama, atau tokoh-tokoh yang lain.

Sebagai wujud dari kekagumanku kepada tokoh-tokoh di atas, juga alasan-alasan lain yang tidak kusebutkan, aku bertekad meneladani mereka, dengan cara dan pemikiranku sendiri tentunya. Kalau aku harus melakukan sesuatu, sedapat mungkin itu adalah karena perintah, karena panggilan jiwa, tidak sekedar inginku. Bukan lantas dapat diartikan aku tak punya keinginan dan cita-cita. Bagaimanapun ia adalah bagian dari fitrahku, dan biarlah terselip di pojok kesunyian kalbu. Dan akhirnya kukatakan, “Aku adalah apa yang ada di hatiku.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun