BINTANG dan kunang-kunang menari. Malam gelap gulita. Beberapa buah kereta kuda berisi berbagai hasil bumi berjalan beriringan. Kiran duduk dengan posisi agak merunduk. Sesedikit mungkin orang yang melihat mereka, semakin baik. Di hadapannya, terbaring seorang lelaki yang selang beberapa hari terakhir ini berada dalam perawatannya. Laki-laki itu belum sepenuhnya sadar memang, tapi kondisinya stabil.
Angin malam terus menyapu muka, membuat Kiran merasa bibirnya kering. Diambilnya sebuah wadah berisi madu dan dioleskannya madu tersebut ke bibirnya. Diambilnya sedikit madu lagi yang lalu dioleskan ke bibir lelaki dihadapannya. Sekedar menjaga agar bibir itu tak kering dan pecah- pecah.
***
Kereta terguncang. Jalan tak begitu rata tampaknya. Kiran memperhatikan sekelilingnya. Dia juga memasang telinga. Ada suara burung hantu terdengar. Disusul oleh suara derik. Dinantinya sejenak. Tak ada jeda. Derik tersebut terus bersambung. Ular, bukan jangkrik. Jangkrik berderik dengan jeda diantara suara deriknya. Ular tidak. Kiran masih memperhatikan sekitarnya lagi sejenak sebelum kemudian dia mengambil sehelai daun yang memang sudah disiapkannya sejak tadi. Daun itu dibentuknya menjadi sebuah kerucut. Setelah itu dikeluarkannya kendi mungil berisi air embun. Dia meraba tangan laki- laki yang tampak seperti tertidur itu. Dipegangnya pergelangan tangan laki- laki tersebut. Lalu diambilnya sedikit garam dan gula yang kemudian ditaruhnya ke dalam daun berbentuk kerucut yang tadi dibuatnya. Dirabanya sekali lagi pergelangan tangan laki-laki yang hingga kini tak dia ketahui asal usulnya itu sebelum dia menempatkan sudut kerucut daun tersebut pada suatu titik. Lalu dibukanya sumbat kendi berisi air embun. Dituangkannya air itu ke dalam kerucut, bercampur dengan gula dan garam yang telah ditaruhnya lebih dulu di sana. Kiran memusatkan perhatiannya. Segera setelah itu dengan cepat tangannya bergerak membuka dan menutup, mengarah pada urat darah dimana dia menempelkan ujung kerucut daun tadi. Diperhatikannya air dalam daun itu menyusut dan kemudian habis. Cairan di dalamnya sekarang sudah berpindah ke dalam tubuh laki-laki itu. Segera Kiran mengangkat kerucut daun dari pergelangan tangan sang lelaki lalu dia menyentuh sebuah titik dimana tadi diletakkannya sudut runcing daun tersebut. Kiran menanti beberapa saat dan merasa lega ketika dilihatnya tak ada darah mengalir balik keluar dari titik di pergelangan tangan darimana dia memasukkan air ke dalam tubuh pasiennya dengan ajian Halimun Sakti tadi.
***
Kereta terguncang lagi. Kiran memperhatikan kembali pasiennya dan ketika didapatinya laki- laki tersebut tetap tenang, diputuskannya untuk beristirahat sejenak. Dia membuka lagi tasnya dan mengeluarkan sebuah selendang dari sana. Selendang transparan yang terbuat dari sutra yang sangat halus. Saat tertimpa cahaya Sang Surya, selendang tersebut akan membiaskan warna pelangi, sementara di malam hari selendang tersebut bergemerlapan mengeluarkan pendar yang juga berwarna pelangi. Kiran melilitkan selendang tersebut ke pinggangnya, kemudian ujung lain dari selendang pelangi tersebut diikatkannya pula ke pinggang lelaki di hadapannya. Aman sudah, pikir Kiran. Dengan saling terikat oleh selendang seperti itu, jika dalam keadaan mendesak Kiran harus segera melompat keluar dari kereta kuda yang ditumpanginya, laki- laki tak bernama tersebut akan juga terbawa bersamanya. Kiran membaringkan diri, menatap bintang- bintang di langit. Lalu dengan segera, angannya terbang ke sebuah tempat yang damai. Dukuh Wening. Ke pusat pengobatannya. Kemudian ke rumah. Dan rasa rindu mulai terasa menggigit hati. Kereta itu terguncang lagi. Kiran memperhatikan lelaki yang terbaring di sampingnya. Guncangan itu tetap tak mengganggu dia, rupanya. Laki- laki itu tetap tertidur tenang. Kiran sungguh ingin tahu, siapa sebenarnya lelaki ini. Berulang kali dicobanya memasukkan pikiran bahwa Bhayangkara Biru hanya mengejar penjahat, sebanyak itu pula hatinya membantah kemungkinan bahwa laki- laki yang sedang dirawatnya ini seorang penjahat. Dan Kiran selalu mempercayai hatinya. Dia sudah lama belajar bahwa ketika pemikiran berbeda dengan kata hati, maka kata hatilah yang bisanya benar. Karena pikiran seringkali mengambil kesimpulan semata dari informasi yang telah dia ketahui saja, sementara hati menangkap getaran alam juga getaran antar manusia. Ketika semua itu berpadu, maka kesimpulan yang dihasilkannya biasanya lebih tepat dan menyeluruh dibandingkan kesimpulan hasil olah pikir semata. Lalu jika dia bukan penjahat, pikir Kiran, apa yang harus kulakukan setelah dia pulih nanti? Lebam biru dan luka cakaran serta tebasan golok belum lagi hilang dari tubuh laki- laki ini. Kiran tahu, akan perlu waktu cukup lama untuk menghilangkan semua itu. Pertempuran melawan beberapa orang anggota Bhayangkara Biru bukan hal yang dapat disepelekan sama sekali. Lalu… pikir Kiran, apakah benar bahwa setelah dia dengan susah payah mengobati lelaki ini kelak dia akan membiarkannya pergi begitu saja dan menghadapi Bhayangkara Biru kembali… sendiri? Tapi… apa sebenarnya urusan lelaki ini dengan Bhayangkara Biru, pikir Kiran. Tanpa mengetahui semua itu, sulit untuk menentukan bagaimana sikap yang harus diambilnya kelak. Dan tiba- tiba bayangan ayahandanya mengelebat di pelupuk mata. Kiran tersenyum. Ah Rama, pikirnya. Pasti gelombang telepati mengirimkan pesan pada Rama bahwa Kiran sedang merindukannya dan juga sedang memikirkan sesuatu. Sebab saat bayangan Rama mengelebat, sebuah kalimat seakan- akan muncul begitu saja di kepala Kiran, “ Garapen sing kudu digarap urut saka wiwitan, Nduk… “ begitu bunyinya. Hati Kiran menghangat. Baiklah Rama, jawabnya dalam hati. Aku akan melakukan apa yang aku harus lakukan lebih dulu sebelum memikirkan serta melakukan hal lain, seperti yang Rama pesankan ini. Kiran mengerti dengan baik pesan itu, sebab itu adalah pesan yang sangat sering diulang- ulang oleh ayahandanya untuk meredam dirinya. Kiran memiliki banyak energi dan semangat meluap- luap dalam dirinya. Dia seringkali berpikir jauh ke depan dan ingin melakukan banyak hal secara bersamaan. Hal yang kadangkala diredam oleh Rama. Seperti juga kali ini. Rama benar, pikir Kiran. Sekarang tak banyak yang dapat kulakukan selain merawat lelaki ini terlebih dahulu hingga sembuh, baru setelah itu… Kiran terperanjat. Ujung kakinya tersentuh oleh ujung kaki laki- laki di sampingnya. Begitu asyiknya dia melamun sampai tak disadarinya bahwa lelaki itu bergerak. Mungkin mengigau setengah sadar lagi. Yang mengejutkan Kiran bukan semata karena kaki mereka beradu, tapi bahwa sentuhan tak sengaja yang hanya sedetik itu mengirimkan begitu banyak getar hangat ke dalam tubuhnya. Padahal Kiran yakin bahwa kaki lelaki itu masih agak dingin. Apalagi di malam hari semacam ini. Tapi mengapa getaran yang ditimbulkannya terasa begitu hangat? Sekali lagi Kiran terperanjat. Tubuhnya kaku tak bergerak sementara aliran hangat itu mengalir lagi saat tanpa terduga laki- laki di sebelahnya melingkarkan lengan kokoh miliknya yang penuh luka dan lebam biru ke tubuh Kiran. “ Sekar Wangi… “ desah lelaki tersebut. Nama itu lagi. Nama yang telah beberapa kali didengar Kiran dalam igauan lelaki tersebut. Dan sungguh, Kiran tak memahami perasaannya sendiri. Tubuhnya membeku ketika aliran hangat jelas mengalir di urat darahnya. Hatinya berbunga sekaligus nyeri seakan tertusuk ilalang. Perasaan bercampur aduk itu masih pula berpadu dengan rasa kesal dan ingin menangis. Kiran masih diam tak bergerak. Dia tak tahu harus berbuat apa, sebab bukan saja pelukan itu terasa makin erat, tapi rasa manis mulai terkecap lidahnya. Madu yang tadi dioleskan di bibirnya meleleh ketika bibir itu tersentuh oleh bibir lelaki tampan tak bernama yang juga terlapis manisnya madu… (bersambung) ** gambar diambil dari: www.thenightskyguy.com **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H